Back
Chapter 582

Bab 581

Antara Dendam dan Penyesalan

Bab 581

Sontak. Selena bergerak mundur, hanya untuk menyadari bahwa di belakangnya adalah lemari yang terbuka lebar, menjebaknya dalam ruang yang lebih sempit.

Tangannya menempel di dada Harvey, wajahnya terlihat memerah.

Sayangnya dia tidak bisa meraih ponselnya untuk bertanya kepada keluarganya apa yang seharusnya

dia lakukan sekarang.

Harvey menyentuh ujung hidungnya dengan lembut, “Diluar dingin, saranku kamu pakai baju yang lebih

tebal.”

Setelah selesai berbicara, Harvey melepaskan tangannya dan mundur ke tempat yang lebih luas. Selena pun akhirnya bisa menghirup udara segar yang seolah–olah sudah lama tidak dia rasakan, “Oke.

Dia menghela napas lega, awalnya dia takut kalau Harvey akan melakukan sesuatu yang aneh

kepadanya.

Harvey sudah keluar dari ruang ganti dan turun ke lantai bawah. Dia berteriak dari arah meja makan,

Sarapa udah siap.”

“Iya, aku datang.”

Setelah menunggu rona merah di wajahnya mereda, Selena bergegas turun ke lantai bawah untuk sarapan. Setelah itu, dia mengikuti Harvey keluar.

Melihat mobil yang bernilai miliaran rupiah terparkir di luar, seketika dia menelan ludahnya. “Ini

mobilmu?”

“Punya kita berdua.”

Selena naik ke dalam mobil dengan sangat hati–hati, sepertinya ada sesuatu yang

aneh.

Mungkinkah keluarganya pura–pura bangkrut?

Karena merasa agak bingung, dia akhirnya memilih untuk memperhatikan mobil yang sedang melaju

dengan kencang.

Kemarin turun hujan salju besar, membuat seluruh kota terselimuti oleh salju putih, terlihat sangat indah.

Mobil segera tiba di pusat kota, mereka berhenti di depan sebuah jalan kecil.

Tidak ada gedung pencakar langit di wilayah ini, hanya ada rumah–rumah yang bertingkat rendah.

“Coba lihat, kamu ingat sesuatu, nggak? Ini daerah tempat tinggalmu sebelum kita nikah.”

Selena memandangi jalanan yang ramai. Terlihat ada asap putih dari makanan yang baru matang mengepul di kedai makanan, ada ibu–ibu yang sedang mendorong gerobak kecil dan menjual ubi merah di sepanjang jalan, serta ada juga sate buah tomat yang merah merekah.

Meskipun tidak ada memori yang dia ingat, tetapi setiap sudut di tempat itu tidak terasa asing baginya.

Kemudian, saat tiba di depan rumah keluarga Bennett, berbagai macam perasaan dan emosi seketika

bercampur aduk di dalam hatinya.

“Ayo masuk.”

Harvey mendorong pagar, halaman di dalamnya tampak sering dibersihkan, tidak ada ranting atau daun kering yang jatuh, bahkan salju di pelataran pun telah disapu bersih.

Pohon persik di halaman rumah itu sedang mekar dengan indahnya. Kemudian, ada seekor kucing putih melompat keluar dari sudut, membuat Selena terkejut.

“Meong.”

“Jangan takut, ini kucing yang kamu pelihara dari kecil, namanya Bonbon.”

Saat Selena membungkukkan badannya dan berjongkok, Bonbon langsung melompat ke pangkuannya.

Sudah lama sekali sejak mereka terakhir bertemu, membuat Bonbon seketika menjadi kucing yang sangat manja. Karena merasa gemas, Selena pun ikut menggosokkan pipinya di kepala kucing itu.

“Sini, kutunjukkan barang–barang yang ditinggalkan sama ayah.”

“Oke.”

Dengan sigap, Harvey membawanya ke sebuah ruangan yang dipenuhi dengan barang–barang dari kayu.

Ada ayunan bayi, kuda goyang, gendang, dan pedang kayu.

“Ini…

“Semua ini dikerjain sama ayah sebelum meninggal, buat anak–anak kita. Sayang banget ayah nggak bisa nunggu sampai anak kita lahir.”

Setiap detail dan ukiran di karyanya, sangat mencerminkan usaha keras Arya dalam membuatnya.

+15 BONUS

Tiba–tiba, Selena merasakan gelombang kesedihan yang sangat kuat di dalam hatinya, bayangan seorang pria kurus yang sedang membuat ukiran di pedang kayu satu per satu dengan telaten, terlintas

di depan matanya.

Ukiran naga pada pedang kayu itu terlihat sangat hidup.

Namun, sayangnya ukiran itu belum selesai, masih ada bagian yang tersisa.

Air mata tiba–tiba mengalir deras di wajahnya. “Pasti butuh banyak waktu, ‘kan?”

“lya, tapi kita nggak bisa apa–apa, memang sudah takdirnya begini.”

Harvey mengatakan hal itu sembari mengusap air mata di wajah Selena, “Jangan nangis, Seli, kamu

masih punya aku.”

Selena bersandar di bahunya, air mata terus membanjiri pipinya.

Tangisnya perlahan–lahan makin kencang. “Nggak tahu kenapa aku sedih banget, padahal aku nggak ingat apa–apa. Apa jangan–jangan aku lupa sesuatu yang harusnya kuingat?”

Harvey membelai kepalanya dengan lembut, “Seli, kadang memang lebih baik lupain hal–hal yang bikin kita sedih. Ayah di surga pasti pengen lihat kamu bahagia, bukannnya terus–terusan menangisi

kematiannya.”

Share This Chapter