Bab 147
Empat bayi Kembar Kesayangan Ayah Misterius
Bab 147 Di ruang makan hanya tertinggal Asta dan Javier.
Javier mengigit kuotie udang dan bertanya dengan penasaran : âPaman, apakah ibu yang mabuk semalam sangat menakutkan?â
âTidak menakutkan kok.â
âHah?â
âIbumu ituâ¦..â Asta teringat pada hasrai tak tersalurkannya pada Samara dan hanya bisa menahan diri sepanjang malam, lalu mengatakan 2 kata dengan kesal, âSangat menyebalkan.â
Melihat ekspresi Asta yang sedikit muram, Javier segera mengganti topik pembicaraan : âPaman, apa kamu tidak merasa kalau Oliviaâ¦..terlihat mirip dengan ibuku?â
Asta menyipitkan mata tjamnya: âOlivia mana mirip dengan ibumu?â
Javier menepuk kepalanya, dan seketika tersadar kalau ibunya mana pernah melepas topeng wajah didepan Asta?
Namun dia tidak bisa menarik kata-kata yang sudah dia ucapkan jadi bocah itu hanya bisa berkata dengan panik : âPaman, sayaâ¦yang saya bilang mirip itu! Benar! Suaranya! Suara mereka sangat mirip!â
Cahaya dalam mata Asta seperti mengalir, tatapannya sangat mendalam.
âJavier, apa kamu tahu dimana keberadaan ayah kandungmu?â
âTidak tahu, juga tidak tertarik untuk tahu.â Javier cemberut, âAyah kandungku yang tidak berperikemanusiaan itu mungkin sedang dalam perjalanan ke ujung dunia, atau sudah dikubur di padang rumput yang tingginya hampir menyamai tinggi badanku.â
Mendengar Asta menanyakan hal seperti ini, Javier berkata : âHanya saja, ada beberapa hal yang harus saya katakan terlebih dulu! Eman tahun lalu ibuku dicelakai! Jadi kamu tidak boleh merendahkan dia karena dia memiliki saya dan kakakku!â
Meskipun bocah ini sangat menyukai Asta, tapi kalau Asta berani menganiaya ibunya sedikit saja, maka dia tidak pantas menjadi ayah tiri mereka!
âKamu juga tahu kan saya juga punya anak.â Asta membelai kepala Javier, âKebetulan sekali impas dengan ibumu.â
Memikirkan Olivia si buntalan yang imut ituâ¦..
Javier mengangguk dengan bahagia.
Meskipun Olivia bukan anak kandung ibunya, tapi setiap bertemu dengannya, dia merasakan rasa sayang yang asing terhadapnya.
Pada saat itu, Samara yang sedang didalam kamar mandi sedang berkaca.
Dia tidak merasa ada yang salah dengan topeng wajahnya, namun dia malah menemukan cupang di lehernya.
Untung sajaââ
Javier masih kecil dan tidak mengerti apa itu cupang.
Kalau bocah itu mengerti, maka dia ibunya ini, lebih baik mati saja daripada harus menahan rasa malu itu.
Pantang apanya? Misoginis apanya!
Desas desus tentang Asta iniâ¦.benar-benar mencelakakan orang!
Samara mengeluarkan sebotol concealer dari lemari di kamar mandi dan mengoleskannya pada cupangnya.
Sepertinya cupang ini menjadi jauh lebih parah dibandingkan dengan sebelumnya, dia sampai mengoleskan 3 lapis untuk menutupi perbuatan Asta itu.
Setelah bersusah payah menutupinya, Samara kembali ke ruang makan.
âIbu, saya ingin pindah sekolah.â Tatapan mata Javier penuh harap, âSaya ingin pindah ke sekolah yang sama dengan Olivia, dengan begitu saya bisa menjadi teman sekolahnya Olivia, bisa menjaganya dan bisa membuatkan biskuit kesukaannya setiap hari.â
âBukannya tidak bolehâ¦â Samara menjatuhkan tatapannya pada Asta : âHanya sajaâ¦â
âSaya setuju.â Cahaya di mata Asta kembali terlihat, âKalau kamu tidak keberatan, saya akan meminta Wilson mengurus administrasi untuk pindah sekolah.â
Memikirkan tiga bocah itu akan bersekolah bersama, Samara juga merasakan perasaan bahagia yang asing dalam hatinya.
Setelah sarapan.
Asta dan Samara masuk kedalam lift dan turun ke bawah.
Samara sedang membaca pesan singkat di ponselnya, dan membuka pesan suara yang Jonas kirimkan untuknya.
Dia awalnya ingin mengkonversi pesan suara ilu ke dalam bentuk teks, namun karena tangannya licin, dia malah mengklik dan memainkan pesan itu.
âSamara, berjanjilah padaku kedepannya kamu tidak akan bersikeras ya? Saya sekarang sangat menyesalâ
âMenyesal karena saya tidak seharusnya membiarkanmu pulang seorang diri semalam.â
âKamu minum cukup banyak, dan saya sangat mengkhawatirkanmuâ¦.â
Samara yang menerima pesan suara penuh perhatian dari Jonas, bersiap membalas dengan sopan.
Namun saat jarinya belum sempat mengetikkan beberapa kata, dia sudah mendengar cibiran Asta yang disampingnya : âCih! Munafik!â