Epilog
The Apple of My Eye [COMPLETE]
"Ayo makan sama Papa, yuk."
"Ndak mau."
"Ayolah sayangku, cantikku, princessku.."
"Ndak mau."
"Jadi maunya sama siapa?"
"Ayin ndak mau mamam."
Agam mengusap wajah frustasi. Akibat tidak sengaja mengganti siaran televisi kesukaan sang anak, membuat Karinâ anak perempuannya yang berusia tiga tahun itu nangis dan mogok makan.
"Papa minta maaf ya sayang, Papa tadi beneran nggak sengaja. Yuk kita makan dulu, yuk? Habis makan nanti kita naik odong-odong, deh," rayu Agam.
Karin masih setia membelakangi Agam. Bahkan enggan disentuh oleh sang Papa, gadis kecil itu lebih memilih mengelus Bono yang berada dalam pangkuan. Dulu, saat mengetahui jenis kelamin sang anak. Agam sudah sepenuhnya sadar bahwa ia akan menghadapi fase seperti saat ini. Dan dari fase ngidam aneh istrinya, feeling laki-laki itu semakin kuat.
Tengah malam minta pergi ke Korea hanya untuk makan jjajangmyeon.
Subuh-subuh minta keliling pakai sepeda motor tanpa menyalakan mesin.
Lalu puncaknya, Kaila ngidam ingin martabak manis, sederhana memang. Tapi masalahnya ia tidak mau pakai adonan martabak, gula, bahkan mentega.
Tentunya keinginan-keinginan di luar nalar manusia ini membuat 9 bulan Agam terasa seperti di ujung jurang. Karena kalau tidak terpenuhi saat itu juga, Kaila beneran mogok bicara satu minggu penuh.
Dan saat sang anak lahir. Terbukti akurat. Kaila melahirkan duplikat mini atas dirinya. Perempuan ngambekan.
Tapi ada satu hal yang luput dari prediksi Agamâ paket drama berepisode dari sang anak.
"Yang," adu Agam.
Dari ruang tengah, Kaila yang sedang mengamati layar laptop hanya mengendikkan bahu. Walaupun diam-diam mengulum senyum di sana. Karena memang sedari awal mereka sudah saling sepakat membagi tugas perihal mengurus anak.
Jika di akhir weekend seperti hari ini, maka tandanya sudah memasuki jadwal Agam dalam memperkuat bonding antara dirinya dan Karin. Semua hal yang berkaitan dengan Karinâ akan menjadi tanggung jawab penuh Agam di hari itu. Mulai dari membangunkan, memberi makan, bermain, bercerita empat mata, hingga menidurkan kembali sang anak ia sendiri yang memegang kendaliâ juga secara tidak langsung dibantu oleh Kaila di sana.
Kaila yang sedari tadi diam tenang memperhatikan aksi bujuk membujuk yang tidak berujung itu, lantas membuatnya tidak kuasa kala melihat suaminya tertekan. Nah, di momen-momen seperti inilah dirinya akan masuk di antara keduanya. Wanita itu turut membujuk sang anak.
"Karin kenapa?" tanya Kaila sambil mendekat ke Karin.
"Ayin lagi marah sama Papa."
"Emangnya Papa kenapa?"
"Ganti tontonan Ayin."
Kaila menatap Agam. "Beneran gitu, Pa?"
"Papa nggak sengaja, sayang, maaf ya," ujar Agam halus pada Karin.
Tangan Kaila tergerak untuk menaikkan pandangan Karin. Dirapikan kembali jepit-jepit rambutnya. "Tuh, Karin denger sendiri 'kan kalau Papa bilang enggak sengaja? Papa udah minta maaf lho Karin, kalau ada orang yang minta maaf kita harus apa?" tanya Kaila.
".. maafin."
"Terus kenapa sekarang Karin masih marah?"
Kaila melirik jam dinding. "Jam nonton Karin juga sudah berakhir, inget 'kan janjinya sama Mama?" tanya Kaila.
Iris mata cokelat tua itu mengerjap pelan, perlahan bibirnya semakin tertekuk ke bawah karena mengingat sebuah perjanjian yang berlaku di rumah ini, bahwa jam menontonnya memang hanya sampai pukul satu siang. Kemudian Karin menatap Agamâ yang ternyata lebih memelas.
"Sekarang Karin sama Papa maaf-maafan, habis itu Karin langsung makan," lanjut Kaila lagi.
"Maafin Papa, ya?" rayu Agam sambil mengacungkan jari kelingking.
Karin terdiam sejenak sebelum mengamit jari kelingking Agam. "Tapi nanti naik odong-odong."
"Iya tenang aja. Ntar tukang odong-odongnya bakal Papa suruh nginep di sini sekalian." tutur Agam sambil berdiri. Turut membawa Karin ke dalam gendongannya.
Untuk selanjutnya, Kaila menggeleng pelan melihat interaksi antara Ayah dan anak perempuannya. Saat mereka berjalan menuju meja makan. Kaila menangkap Agam melemparkan jari jempol dengan senyuman teramat puas.
Dari posisinya, wanita itu tersenyum hangat. Tindakan-tindakan manis dari Agam, baik untuk dirinya maupun sang anak, serta pancaran cinta yang setiap hari berpijarâ selalu membuat Kaila merasa cukup atas segalanya.
Dan di antara banyaknya keinginanâ sebuah keinginan untuk membangun rumah yang lengkap serta utuh itu telah berhasil ia raih. Kini, tugasnya hanya menjaga agar suasananya terus seperti rumah.
Tempat di mana menjadi wadah utama dalam menumbuhkan rasa aman, kehangatan dan kenyamanan.
Dan tentunya menjadi alasan utama untuk segera pulang.
Menyematkan harapan di sela-sela doa, semogaâ rumah yang diisi oleh orang-orang terkasih ini, senantiasa abadi.
____________________
Totally doneâ¤ï¸
Sampa jumpa lagiâ¤ï¸
__________
Sedikit menjelaskan kenapa judulnya The Apple of My Eye.
Seperti yang kita tahu, frasa ini merukapan perumamaan atau idiom (sesuatu yang disayangi). Tapi sebetulnya arti dari frase ini gak bisa diartikan secara langsung. Alias harus dimaknai terlebih dahulu.
Apa sih maknanya?
Nah di cerita ini, The Apple of My Eye : Pengungkapan untuk menggambarkan perasaan terhadap orang-orang kesayangan (Orang tua, sahabat, dan pasangan) semua jadi satu di dalam lingkaran The Apple of My Eye.
Sengaja gak dikerucuti "kesayangan" siapanya. Biar maknanya masuk ke semua karakter ð¦ð¦