26| The Truth Untold
The Apple of My Eye [COMPLETE]
"Aduh. Kok gue dijitak, sih?"
Agam mengelus kepalanya sambil menatap Kaila. Usai termenung beberapa saat, sepertinya kesadaran gadis itu telah kembali.
"Kali aja otak lo lagi no connection. Makanya gue jitak biar jalan lagi tu isi kepala."
Sorot datar itu masih setia di manik mata Kaila, mengamati pria yang kini masih mengaduh kesakitan. Tanpa sadar, batinnya malah meringis sendiri.
Apa tadi jitaknya terlalu keras, ya?
"Tapi gue serius, Kai."
Bagai terhempas ke masa lampau, Kaila merasakan sensasi kuat bahwa yang saat ini barusan ia dengar sudah pernah terjadi di masa lalu. Kelopak matanya berkedip seiring mendengar pantulan suara Agam belasan tahun yang lalu di dalam kepalanya. Saat tengah berusaha meyakinkan gadis berseragam putih biru yang menolaknya mentah-mentah.
Sangat jelasâ persis seperti yang barusan laki-laki itu lontarkan kembali.
Gadis itu membuang pandangan ke sembarang arah. Mengusap wajah yang mulai terasa kaku akibat cuaca yang terasa dingin, bahkan pasokan oksigen juga mulai terasa menipis di dalam dirinya.
Lalu sekarang, Agam mendadak diselimuti perasaan canggung kala gadis di hadapannya kembali diam. Saat ingin melirik ke arah Kaila, matanya menangkap kegelisahan dari gadis itu. Agam mulai melepas syal kemudian dipasangkan ke leher Kaila.
"Udaranya makin dingin. Pipi lo sampe merah gitu, dipake aja. Kalo sakit, nanti nggak ada yang ngurusin," jelas Agam.
Refleks Kaila langsung menutup kedua pipi. Ada apa dengan dirinya saat ini? Sedari tadi, rasanya untuk mengeluarkan suara saja terasa sulit.
"Thanks," ucap Kaila kikuk sambil menggenggam syal Agam. "Gue pinjem dulu," katanya tanpa melirik Agam.
Kepala Agam tergerak untuk mengangguk pelan. "Ngomong-ngomong lo dari mana mau ke mana?" tanya Agam.
"Cuma keliling doang, manfaatin waktu soalnya besok gue udah harus balik ke Paris," jelas Kaila.
Agam bersungut. "Besok?! Kok cepet banget?"
Mulanya Kaila kaget melihat respon hiperbola Agam, namun sudut bibir itu berkedut, tidak mampu lagi ia tahan. "Ya 'kan gue di sini buat kerja, bukan buat liburan."
"Tetep aja..." gumam Agam sangat pelan.
Samar-samar mendengar, Kaila lantas mengangkat kedua alisnya. "Apa?"
"Enggak," elaknya.
Mata hazel itu menyipit, seolah mengintrogasi gelagat Agam yang selalu mencurigakan. Mengingat bahwa sosok ini memang selalu penuh plot twist. Saat hendak membuka mulut, suara berat milik Agam lebih dulu terdengar.
"Kaki lo sakit, nggak?" tanya Agam.
Kaila menautkan alis. "Sakit?" tanya Kaila seraya mematut kedua kakinya. Sepertinya lelaki ini sungguh menganggap Kaila sebagai perempuan dengan stamina yang lemah. "Enggak," lanjutnya.
"Yaudah gue mau lanjut jalan. Lo ikut?"
Pandangan Kaila naik, di sana dapat ia lihat Agam tengah tersenyum lebar. Mau tidak mau ia turut tersenyum dengan kepala yang menggeleng heran. Dasar jelmaan buaya kali Angke!
"Ayo, deh."
Lagipula, setelah tadi berpisah dengan Fadlan. Kegiatan Kaila malam ini memang hanya sekadar jalan-jalan tanpa tujuan, sekaligus me-refreshingkan isi kepala yang saling berkecamuk akibat kalimat wejangan dari Fadlan.
Mereka berdua berjalan beriringan, tidak menyadari bahwa ternyata banyak pasang mata yang menganggap mereka sebagai sepasang kekasih.
Setelan mereka yang senada dari atas hingga bawah, coat khaki dipadukan dengan bawahan denim serta sepatu pantofel berwarna hitamâ benar-benar membuat mereka seperti sedang janjian untuk memakai setelan couple.
Di sepanjang perjalanan, pria itu terus saja mengajak Kaila berbincang. Dari Bekasi yang mulai terasa sunyi, dunia pekerjaan, sampai ke hal-hal yang random. Semua tumpah ruah di sana.
"Makanya balik, dong," celetuk Agam menanggapi Kaila yang mengatakan bahwa ia kadang merasakan rindu akan suasana dulu. "Emang bule Paris seganteng apa, sih? Betah banget lo di situ."
"Ganteng lah pake nanya lagi, pokoknya nih ya, pesona mereka beda banget sama orang Bekasi," ucap Kaila.
Agam memutar badan seraya berjalan mundur dengan langkah yang seirama. Kini pandangan Agam terarah kepada Kaila seutuhnya. "Jangan mau sama orang luar Kai, mereka cepet tua, cepet keriput! Mending yang kayak gue nih, ketampanannya nggak akan pernah luntur dimakan waktu."
"Kepedean lo!" sembur Kaila.
Untung saja tidak ada batu di sekitar sini, kalau ada mungkin sudah Kaila lempar tepat ke wajah pria yang kini mengerling dengan jenaka.
Agam kembali berjalan normal kemudian ia kembali berjalan mundur sambil menatap Kaila. "Pakaian kita ternyata senada, ya?"
Kaila tertegun, gadis itu kira Agam tidak akan sadar. Mengingat di awal tadi yang ditangkap pertama kali oleh mata Kaila tadi adalah hal iniâ sebelum Agam melontarkan kata-kata tidak masuk akalnya.
"Kebetulan doang, lagian warnanya emang lagi hype di pasaran, semua orang juga punya. Mau beli pakaian dengan warna yang nggak dijual ke publik mah nggak mungkin ada," jelasnya menggebu-gebu.
Tidak ingin membiarkan pikiran aneh pria itu mendominasi isi kepalanya di sana.
"Gitu banget, emang lo nggak sadar kalo kita sekarang jadi mirip couple goals? Gue yakin orang-orang yang liat juga pasti pada mikir yang sama," ujar Agam sambil melirik ke sekitar.
Benar 'kan.
"Enggak tuh, cuma lo doang yang mikir gitu," balasnya.
Kaila telah sangat lama menyadari bahwa sejak dirinya kembali jomlo, pria ini semakin tidak terkendali. Terlebih di saat ketiga temannya juga mendadak jadi kader Agam. Hanya sajaâ ia tidak berniat untuk ambil pusing dengan memikirkan kemungkinan-kemungkinan lebih jauh.
"Buruan deh sana cari pacar, lama-lama kasian juga gue liat lo kayak gini," singgung Kaila.
"Ini juga lagi nunggu."
Kaila tampak terkejut. "Demi apa? Anak mana, tuh? Cakep nggak?"
Agam terkekeh di sebelahnya. "Satu-satu, Kaila."
"Namanya juga penasaran," bela Kaila.
"Beneran mau tau?"
Sebetulnya, ada perasaan menolak dari dalam diri Kaila. Mungkin tepatnyaâ ia tidak begitu siap mendengar nama perempuan lain. "Siapa?"
"Coba lo ngaca."
Kaila menghentikan langkahnya, merasa bahwa ia kembali masuk ke dalam bualan Agam. "Si anjir, ngibul lo, ya?!"
Pria tersebut terbahak puas, sedikit berlari saat Kaila ingin memukul punggungnya. Mereka pun kembali menyusuri jalanan. Dengan segudang topik pembicaraan yang Agam bawa. Sesekali kalimat yang masuk akal akan digubris oleh Kaila, sedangkan ucapan tidak masuk akalnya hanya ia acuhkan. Takut jika terjebak seperti tadi.
"Udah makan belum?" tanya Agam.
"Udah, tadi sempet makan sama Kak Fadlan."
Langkah Agam berhenti secara tiba-tiba, diikuti oleh Kaila di sebelahnya. "Kenapa? Salah jalan?" heran Kaila.
Agam melirik Kaila. "Siapa tadi? Fadlan? Fadlan si kunyuk itu? Kok bisa? Emang dia di sini juga? Lo ketemuan sama bocah kunyuk itu?"
Kaila mengerjap bingung. Pertanyaan Agam terlalu menggebu-gebu dan kelewat cepat, bahkan ia tidak bisa menangkap apa inti pertanyaan dari lelaki itu.
"Bener, Kai?"
"Hah?"
Agam terdiam sejenak, entah sejak kapan napasnya memburu begini. Perlahan-lahan ia kembali bersuara. "Lo ketemuan sama Fadlan?" tanya Agam dengan nada yang sudah lumayan normal. Namun intonasi serius itu dapat Kaila tangkap dengan jelas.
"Bukan ketemuan, tapi nggak sengaja ketemu. Ya mana gue tau sih, kalo dia lagi liburan di sini."
Ada jeda hening di antara mereka. Setelahnya gadis itu terlihat berpikir. Tunggu, kenapa sekarang mereka terlihat sepertiâ sedang meluruskan kesalahpahaman antar pasangan? Tidak. Kaila buru-buru menghilangkan pikiran itu dari kepalanya.
"Kirain kesalip lagi."
Masih saling berhadapan dengan mata yang saling bertabrakan. Tampang yang biasa jenaka, kini tampak kelewat serius, membuat degupan datang tanpa diundang. Lebih-lebih kalimat terakhir Agam, berhasil menggetarkan pondasi kuat di palung hati yang sudah lama terkunci.
ð¦
"Menurut lo, itu kenapa?"
"Sumpah ya wak. Di sindang masih pagi."
"Di sini tengah malem," balas Kaila menohok.
"Lekong manose yang berhasil bikin geger?"
"Jawab aja Bas, pertanyaan gue tadi."
Terdengar suara menguap dari seberang sana. Sebastian meracau sebentar. "Dilihat dari seluruh aspek. Menurut eike... eimm itu benih-benih cintami, wak."
Kaila berdecak, niat ingin mendegarkan sudut pandang yang mungkin akan menebas segala praduga di benak. Tapi yang ia dapat bagai boomerang untuk dirinya sendiri. Kaila pikir, Sebastian berbeda, ternyata sama saja seperti ketiga temannya yang lain. Sama-sama suka bikin orang mikir.
"Yuhu? Wak?"
Gadis itu mematikan panggilan sepihak. Atensi gadis itu teralihkan saat notifikasi pesan dari Sebastian muncul.
Kaila menghela napas, dihempasnya dengan sembarangan ponsel tersebut ke atas kasur. Walaupun sudah larut, ada baiknya ia mandi untuk merileksasikan diri dan pikiran.
Sedangkan di lain tempat, bibir itu mengerucut sambil memandang layar ponsel. Pesan yang dikirim tidak kunjung dibalas. Bisa jadi memang Kaila sudah tertidur pulas, dilihat ini sudah larut malam.
Agam pun memilih untuk tidur, berharap agar bangun-bangun langsung membaca balasan pesan tersebut.
ð¦
Dalam keremangan lampu kamar, kening itu mengernyit saat suara sahutan alarm terdengar. Dengan mata yang masih terpejam ia melacak keberadaan ponsel di sebelahnya dan berhasil dimatikan.
Meregangkan badan ke kanan dan kiri barulah mata itu terbuka. Tangannya kembali tergerak untuk melihat jam saat ini. Kaila terdiam sejenak, berusaha menajamkan tatapan serta mencerna apa yang ia lihat.
Jari itu bergerak untuk membuka pesan beruntun dari Agam.
Ternyata, benar adanya. Pesan itu dari Agam yang dikirim secara pribadi.
Tumben.
Satu kata yang menggema di sana, mengingat bahwa Agam sangat jarang sekali, bahkan mungkin bisa dihitung jari seberapa banyak Agam menghubunginya lewat pesan pribadi. Karena biasanya, pria itu hanya menghubungi mereka lewat grup yang mereka punya.
Karena bingung ingin membalas apa. Alhasil, lagi dan lagi, hanya stiker yang ia kirim.
Kaila tanpa sadar terkekeh di atas kasurnya saat membaca balasan protes Agam. Dengan sudut bibir yang sudah tertarik ke atas, jemari lentik itu menari di atas layar ponsel untuk mengetik pesan dengan cekatan.
Padahal sebenarnyaâ tidak ada tawaran lain selain dari Agam. Membaca balasan dari Agam membuat kening Kaila mengerut samar.
Gadis itu akhirnya menangkap siapa yang dimaksud oleh pria iniâ Fadlan. Fadlan sendiri pagi ini sudah balik ke Indonesia, jadi mana mungkin akan menawarkan bantuan kepadanya.
Niat hati ingin bercanda, ternyata malah membuka sesuatu yang tidak pernah ia duga.
Terperangah.
Benarkah ini?
Tidak mungkin. Sudah belasan tahun berlalu, tidak mungkin pria itu masihâ menaruh rasa padanya. Lagi pula, manusia mana yang betah menyimpan perasaan bertahun-tahun lamanya?
Lantas gadis tersebut menarik kesadaran kembali kemudian menghela napas pelan. Mengatur detak jantungnya yang lagi-lagi berdetak tidak karuan agar jadi lebih tenang.
Saat dirasa debarannya sudah tenang, ia kembali membalas pesan dari Agam. Meminta agar menjemputnya pada pukul satu siang.
Tawaran bagus tidak boleh diabaikan begitu saja bukan?
___________________
YAMAHA SEMAKIN DI DEPAN~~~ððð¥
Kaila ke Sebastian : UPSIEð«¢ð«¢ð«¢