25| I Always Remember You
The Apple of My Eye [COMPLETE]
Semilir angin New York malam ini terasa dingin, ditambah rintik gerimis yang turut menyambut kedatangan Kaila. Gadis yang ditemani sebuah koper besar itu berdiri dengan sesekali mengusap kedua lengannya sambil menunggu mobil jemputan.
Rasanya, sudah lama sekali ia meninggalkan tempat yang sempat menjadi tanah rantauan dalam menuntut ilmu.
Tidak lama sebuah mobil hitam berhenti tepat di hadapannya, seorang pria paruh baya pun terlihat jalan menghampirinya. "Mrs. Kaila from Ellè?"
"Yeah, it's me."
Kaila dipersilahkan untuk masuk ke dalam mobil, sambil menunggu kopernya diangkut ke bagasi, gadis itu menyalakan ponselnya untuk memeriksa jadwal kegiatannya besok hari.
Kaila menghela napas berat saat melihat jadwalnya yang akan dimulai pada pukul sebelas pagi waktu bagian New York. Besok pagi, Kaila akan menggantikan posisi Grace sebagai tamu undangan di acara New York Fashion Weekâ tepatnya akan terselenggara di kawasan Manhattan.
Karena acara itu akan memakan waktu yang cukup lama, gadis itu pun berniat untuk istirahat sejenak sampai tiba di hotel. Bersandar sepenuhnya dengan mata yang terpejam.
Tepat saat dirinya nyaris tenggelam ke alam mimpi, getaran ponsel membuatnya terbangun. Mata itu mengerjap beberapa kali sebelum membuka ponsel yang ternyata sudah ada tumpukan notifikasi pesan.
Membaca pesan yang terkirim tanpa ampun itu membuat Kaila menggelengkan kepalanya. Padahal perbedaan jam antara Jakarta dan New York itu 11 jam. Di sini sudah malam, otomatis di sana masih pagi hari, bukan?
Tetapi ternyata energi Rizal dalam membagikan informasi masih tetap samaâ tidak kenal waktu. Usia boleh bertambah dewasa, tapi sifat ternyata tidak pernah berubah.
Semakin mengamati percakapan mereka, semakin melebar pula senyum itu. Kaila menyematkan rambutnya ke belakang.
Kaila menggeleng pelan. "Emang dasarnya pada alay," gumamnya.
Sejak hubungan terakhir Kaila kandas, mereka bertiga mendadak gencar menggoda Kaila dan Agam. Awalnya gadis itu tampak bingung, kaget, dan tentu saja ia protes. Namun ternyata hal yang Kaila lakukan hanya lewat begitu saja, kepala mereka bertiga itu lebih keras dari pada batu berlian.
Kalau ada istilah ngomong sama tembok, maka dilingkup Kaila ini adalah ngomong sama angin.
Bukannya apa-apa, Kaila tidak suka mempermainkan perasaan anak orang. Mungkin niat mereka memang cuma bercanda, tapi untuk masalah hatiâ tidak ada yang tahu pasti.
Lebih-lebih di antara dirinya dan Agam pernah ada insiden memalukan di masa lalu. Walaupun hanya sebatas kisah cinta monyet, akan tetapi terpantau hingga saat ini, sosok pria itu masih setia cosplay sebagai monyet. Kaila jadi tidak enak hati kalau terus-terusan digoda seperti itu.
Kaila memilih untuk mengetuk ponselnya dua kali, lalu kembali melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda. Setidaknya ia harus istirahat walau sebentar.
ð¦
Acara New York Fashion Week baru saja selesai. Setelah sempat berbasa basi dengan para kolega fashion designer. Gadis itu lantas berpamitan, ia berjalan ke luar seraya meliriknya jam tangan, ternyata waktu menunjukan pukul empat sore waktu bagian New York. Sekarang adalah waktunya mencari makan, ada satu makanan yang sudah ia pikirkan sejak awal menapakkan kaki di New York.
"My bad."
Seseorang baru saja menabrak bahu Kaila dari belakang, membuat tubuh mungilnya terhuyung ke depan. Sempat ia lirik sekilas, sebelum mengambil tas branded-nya yang terjatuh.
"Damn, tas gue," gumamnya pelan.
Saat tubuhnya kembali tegap, gaadis itu malah terdiam membisu. Jalanan ini cukup ramai diisi pejalan kaki, namun Kaila tidak pernah menyangka di sini ia akan bertemu dengan sosok yang sempat menjadi warna di dalam masa remajanya.
"Kaila?"
"Kak Fadlan?"
Begitupun Fadlan, pria itu menatap dengan sorot tidak percaya. Kebetulan seperti apa yang sedang terjadi sekarang. "Apa kabar, Kaila?"
Masih diselimuti oleh rasa kaget, Kaila menggeleng sambil menutup mulut dengan hiperbola.
Pria itu membawa tubuh Kaila agar sedikit menepi. Memberi ruang bagi pejalan kaki lain, sedangkan gadis ini masih menatap Fadlan dengan pikiran yang melalang buana. Tanpa sadar justru reaksi Kaila yang seperti orang linglung ini membuat perut Fadlan tergelitik.
"Kenapa?" tanya Fadlan disela tawa.
"Ini beneran? Di sini banget nih kita ketemu?"
Fadlan tampak menggigit bibir bawahnya, gemas akan reaksi Kaila. "Pengen gue karungin," cetus Fadlan.
"Enak aja," sembur Kaila. "Tapi serius, lo ngapain di sini, Kak?"
"Kebetulan ada libur seminggu, ya sayang lah kalo nggak dipakai untuk jalan-jalan," tutur Fadlan.
Kaila mengamati sekitar lalu kembali menatap Fadlan. "Sendirian, Kak?"
"As you can see," jawab Fadlan. "Eh nggak deh, 'kan sekarang lagi sama lo. Jadinya berdua."
Enggak salah, sih. Tapi salah.
"Ingat umur kali Om, masa masih zaman flirting anak orang," ejek Kaila.
Mendengar ucapan Kaila membuat Fadlan tercengang di tempat, namun pria itu paham bahwa Kaila hanya bercanda. Alhasil ia hanya tersenyum simpul. Terakhir kali berjumpa dengan Kaila, gadis itu masih terlihat polos dengan seragam sekolahnya.
Bertahun-tahun berpisah dengan Kaila, ternyata membawa banyak sekali perubahan pada diri gadis ini. Jauh tampak lebih dewasa. Wajah yang dulu tampak polos, kini telah terpoles oleh make up tipis, rambut yang dulu berwarna hitam pekat kini telah berubah warna menjadi brown, ditambah pakaian modis persis wanita kekinian.
"Lo sendiri ngapain di sini?" tanya Fadlan penasaran.
"Kerja, gue jadi PA fashion designer. Sebetulnya ke sini juga gara-gara gantiin beliau, aslinya gue netap di Paris."
"Oh, ya? Proud of you," puji Fadlan tulus.
"Elu sih, Kak. Sombong banget, enggak pernah kontakan lagi. Lupa ya lo sama gue?" timpal Kaila.
"Emang ada orang yang mau move on tapi masih kontakan sama sumber alasan dia move on?"
Skakmat.
Gadis itu dibuat mati kutu. Iris mata hazel itu jelas menangkap tatapan Fadlan. Dalam kepalanya, ia menerka-nerka apakah Fadlan bercanda atauâ
"Bercanda, Kaila."
Kalimat Fadlan nyatanya terbukti dengan reaksi Kaila yang selanjutnya menghela napas lega. "Gue bakal ngerasa bersalah banget karena tau bikin anak orang sengsara bertahun-tahun," terangnya.
Fadlan menghiraukan ucapan Kaila. "Mau cari makan, nggak? Gue punya satu rekomendasi tempat makan enak di dekat sini."
Tampak menimbang. Pada akhirnya, gadis itu mengangguk mengiyakan dan mengesampingkan niat awalnya tadi yang bisa dicoba lain kali namun mencoba rekomendasi Fadlan tidak tahu pasti kapan akan terulang kembali.
Mereka berdua berjalan santai menyusuri jalanan. Untungnya cuaca sore kali ini terasa sejuk, tidak panas dan juga tidak dingin. Fadlan membawanya ke kawasan 1221 6th Ave yang kebetulan tidak begitu jauh dari lokasi diselenggarakannya acara NYFW, kalau berjalan kaki seperti ini paling hanya memakan waktu 20 menit dan tidak akan terasa karena berjalan sambil berbincang.
"Tapi ini agak ngantri, lo udah lapar banget belum?" tanya Fadlan.
"Belum, kok. Emang se-ngantri itu?"
Fadlan menggerakkan dagunya, tampak barisan panjang di tepi jalan. Kaila tertawa dalam hati, ternyata makanan yang dimaksud adalah makanan yang memang ingin Kaila beli.
"Apa kita cari makanan lain aja?"
"It's okkay, gue juga awalnya mau makan ini kok," ujar Kaila.
Mereka masuk ke dalam barisan, turut sabar mengantri. Sesekali Kaila tergerak untuk mengintip seberapa jauh lagi jarak antrian yang ia hadapi.
"Berapa hari di sini?" tanya Fadlan yang mengambil posisi di sebelah kiri Kaila. "Lama, ya?"
Kaila menggeleng. "Besok hari terakhir, gue cuma dijatahin 3 hari doang di sini."
"Sibuk ya ternyata."
Kekehan keluar dari mulut Kaila. "Enggak sesibuk lo lah, Kak. Eh gue belum tanya-tanya ke lo, Kak, dari tadi lo mulu yang nanyain gue," cetus Kaila. "Sekarang kerja di mana, Kak?"
"Lagi ada projek gede di IKN. Libur yang gue maksud ya dari yang ini. Udah berjalan 4 hari sih. Tapi besok pagi gue juga udah balik, tadi siang ada panggilan."
Kaila berdecak kagum. "Pantesan lo jadi gelapan gini, ternyata kerjanya di bawah matahari langsung, ya? Tapi enggak papa sih, Kak. Ada rupa ada uang. Duitnya pasti ngalir deres 'kan ke rekening?"
Fadlan terkekeh. "Bisa aja."
Kaila turut tersenyum. "Harusnya liburan ke sini bawa gandengan lah Kak, sayang banget malah sendirian."
"Bawa kok, gue bawa tas ransel sebagai gandengan kemana-mana."
Kaila tertawa, tidak percaya jika Fadlan sudah bisa menyalurkan jokes bapack-bapack. "Sekarang gue yakin kalo lo makin berumur, Kak," ucap Kaila di sela-sela tawanya.
"Pacar lo mana, kenapa nggak diajak ke sini juga?"
Kaila terdiam sesaat sebelum mengangkat bahu acuh. "Gue nggak punya pacar, jadi nggak ada yang bisa gue ajak. Nggak mungkin juga 'kan ngajak mantan?"
"Lo sama Agam putus?"
"Ha?" kaget Kaila.
"Tadi lo bilang mantan." Fadlan mengulangi dan memastikan lagi.
Gadis tersebut menatapnya bingung. Keningnya bahkan mengerut dengan jelas. "Iya, tapi kenapa malah jadi Agam? Dia bukan mantan yang gue maksud, Kak."
Pemuda di sebelahnya menaikkan kedua alis, kemudian tampak Fadlan terkekeh sambil menggeleng pelan. "Dia belum nembak lo juga?"
Kaila menatap tidak terima. "Pembahasannya kenapa jadi gini sih, Kak? Nggak usah bawa-bawa si Agam, entar gede kepala tu anak."
"Kaila, lo benaran enggak sadar?"
"Apanya?" Kaila semakin dibuat bingung dengan pembahasan pria berumur satu ini.
"Agam suka sama lo, Kaila. Dari pertama kali gue perhatiin interaksi kalianâ terlebih Agam ke lo, udah kelihatan di gue."
Kaila terpaku di tempatnya sebelum akhirnya tertawa canggung. "Ya elah nggak mungkin lah, Kak. Orang tiap kali gue tanya langsung aja, anaknya enggak pernah mau ngaku."
Sekarang Fadlan yang terkekeh. "Kaila, please use your logic. Cowok itu manusia yang paling mengedepankan logika dan harga diri, mereka nggak akan pernah ngaku kalau ditanya apalagi langsung sama cewek. Beda lagi kalau situasinya sudah nggak ada celah buat mengelabui akal dan hati, kita para cowok akan memilih untuk mengakui itu sendiri."
Kaila meneguk salivanya susah payah. Gadis itu merapatkan bibir karena seketika dilanda gugup, lalu membuang pandangan ke arah jalanan yang dipadati kendaraan dan pejalan kaki.
"Enggak ada yang perlu lo khawatirkan, Kaila. Lo yang lebih paham sama apa yang ada di dalam hati lo," ucap Fadlan. "Tapi satu hal yang harus lo tahu, di dunia ini hal yang paling menyesatkan adalahâ denial."
ð¦
"Nice to meet you, Agam."
"Nice to meet you too."
"Hopefully, we can work together in the future."
Agam tertawa ramah. "Thanks for visiting me at your gallery, can't wait for that day to happen, George."
Pria yang dipanggil George itu merangkul Agam hangat. Menuntun hingga ke koridor utama. "You can come whenever you want, this gallery always welcomes you. If the officer asks, just say you are my friend."
"Once again, thank you for visiting me. I'm waiting for your arrival at my studio," ujar Agam saat tiba di pintu keluar.
Setelah sempat bertukar e-mail dan berbasa basi singkat. Pria itu melangkah keluar galeri seni dengan kamera yang senantiasa terkalung di leher. Hari ini, ia mendapat undangan resmi dari Georgeâ salah satu seniman yang tengah naik daun dibidang fotografi. Mereka berbincang cukup lama, seraya bertukar sudut pandang mengenai dunia foto.
Agam sempat melirik jam tangannya. Masih pukul empat sore yang menandakan masih ada waktu untuk berkeliling mencari spot-spot foto yang niatnya akan ia pajang sendiri di galeri pribadi milik Agam.
Di sepanjang kakinya melangkah, sesekali ia memotret orang-orang dengan berbagai ekspresi. Sampai tibalah kaki itu membawanya ke spot foto pertama. Untung saja situasi tidak seramai perkiraannya.
Pier 1â kawasan foto pertama yang akan ia selami di setiap sisinya. Arus tenang dari air di sekitar bangunan tinggi, menambah kesan mahal dalam foto yang ia bidik.
Senyuman itu terbit saat hasil yang ia dapatkan sesuai dengan ekspetasinya.
"Hey, can you help us to take photos?"
Agam berbalik saat seseorang menepuk pundaknya, nampak seorang gadis berdiri sambil menyerahkan sebuah ponsel. Tangan besar milik Agam pun tergerak untuk menerima uluran ponsel tersebut.
"Sure."
Gadis itu berlari kecil menuju segerombolan temannya yang diikuti oleh Agam. Dilihatnya mereka berdiskusi mengenai gaya foto, membuat lidah Agam sedikit gatal untuk membantu mengarahkan.
"Guys, can you stand closer to each other?" pinta Agam yang langsung dituruti oleh mereka. "Then youâ girl on the left bank," panggil Agam pada gadis berambut pirang. "Can your body be a little slanted?"
Agam menjentikkan jarinya. "Exactly, just hold on.. one.. two...ok."
"Then you guys can embrace each other. With a loose expression, there's no need to look at the camera, ok? Just laugh at each other or whatever," arahannya lagi.
Nada suara milik Agam yang terlihat lugas saat memberi arah, bagai sebuah kalimat penuh mistik. Para gadis itu menuruti perintah Agam tanpa protes masalah angle.
"Nice. You want more, guys?"
Salah satu gadis menghampirinya. "Thanks for the offer, but to us it's enough. And anyway, you seem like a skilled photographerâ and handsome."
Agam tersenyum simpul, tidak memberikan respon kata apapun. Gadis itu lantas pergi dari hadapannya. Agam pun kembali memandang dermaga, bersandar di tepi pagar tanpa ada kamera yang menghalangi pandangannya.
Angin yang cukup kencang membuat beberapa helai rambutnya tergerak mengikuti sapuan angin.
Mencoba menutup kedua mata.
Berharap, hembusan angin yang menerpa wajahnya mampu membawa pergi semua tumpukan isi kepala yang terasa penuh dan menyesakkan.
ð¦
Hamparan langit gelap menemani pria yang kini telah berada di spot foto terakhir. Mulutnya tanpa sadar berdecak kagum saat memandang night city dari atas jembatan dengan beberapa bidikan telah ia lucutkan. Kaki jenjang itu kembali berjalan menyusuri jembatan yang cukup digandrungi penduduk lokal maupun warga asing. Ada keingingan untuk menentap lebih lama di sini, memandangi kota hingga pagi.
Tapi itu tentunya tidak akan mungkin terjadi. Melihat kondisi cuaca yang semakin terasa dingin, bisa-bisa pagi besok dirinya sudah membeku di sini.
Langkahnya berhenti tepat di tengah jembatan, dan dengan piawai ia kembali membidik pemandangan yang menurutnya sangat luar biasa untuk diabadikan. "Di Bekasi mah kagak ada yang kayak beginian. Hari-hari liat muka kusutnya Rizal mulu. Empet ni mata lama-lama," gumamnya sambil melihat hasil jepretannya.
Saat hendak kembali menyusuri Brooklyn Brige, dirinya dibuat terpaku dengan apa yang sedang ia lihat. Persis di hadapannyaâ Kaila juga terpaku di tempat.
Cukup lama mereka diterpa freezing time. Agam spontan memegang dada kirinya yang mendadak berdetak lebih kencang dan sesak beserta cegukan yang tiba-tiba saja muncul. Pria itu berusaha mengatur napas pelan hingga berhasil menetralkan deru napasnya kembali. Berbeda dengan Kaila yang kini sudah terlihat biasa saja, raut kaget yang tadi tersemat di wajahnya sudah lenyap entah ke mana.
"Agam?"
"Musang?" Agam menggeleng dan menepuk bibirnya pelan. "Maksud gue, Kaila," koreksinya cepat. "Kok bisa di sini?" tanya Agam lebih dulu.
Kaila terlihat mengamati Agam dari atas hingga bawah, membuat pria itu juga turut melihat dirinya sendiri. "Kenapa?"
Kaila menggeleng. "Gue di sini karena emang lagi ada kerjaan," jawabnya sambil jalan mendekat ke arah Agam.
Entah disadari atau tidak, justru reaksi Agam berbanding terbalik. Pria tersebut melangkah mundur seiring majunya gadis itu. Kaila yang mendapati reaksi Agam pun menghentikan langkahnya tiba-tiba. "Emangnya gue keliatan mau nerkam orang?" tanya Kaila dengan nada sedikit tersinggung.
Agam yang melihat raut kecewa Kaila pun, muali tersadar dengan respon yang ia tunjukan. Merutuk diri dalam hati atas kesalahan di pertemuan pertama mereka di sini. "Enggak, Kai, sama sekali enggak," ujar Agam berjalan mendekati Kaila, lalu menangkap kedua tangannya. "Sorry kalau tadi itu menyinggung lo. Tapi sumpah gue nggak bermaksud kayak gitu. Gue cumaâ speechlessâ karena ketemu lo di sini."
Gemerlapnya pemandangan di sekeliling mereka. Sorotan lampu di Brooklyn Bridge pada malam hari, justru membuat Kaila jauh lebih memukau di antara pandangan menakjubkan yang pernah ia lihat sebelumnya.
"Maaf ya, Kai?" ulang Agam.
Di tengah keramaian kabut keheningan berhasil memeluk mereka. Keduanya tampak tidak memperdulikan sapuan angin malam yang semakin dingin karena faktanyaâ tidak ada satupun dari mereka yang bergerak dari posisinya sekarang.
Kaila menangkap sorot mata penuh binar yang seolah sengaja ditahan di sana. Bibir itu bungkam, membiarkan iris matanya menyelam lebih dalam. Seketika tersadar akan satu hal, ia berdehem pelan dan melepaskan cekalan tangan Agam.
"Gue cuma bercanda. Takut banget lo kalo gue beneran marah," ujar Kaila sambil tertawa canggung.
Kalimat dari Kaila sukses membuat pria itu terdiam. "Iya, gue takut. Musuhannya cukup zaman sekolah aja."
Kali ini Kaila tertawa dengan lepas saat mendengar ucapan Agam. "Kayak orang bener aja kalo ngomong. Perlu gue ingetin apa, kalo yang duluan suka mancing perkara itu lo sendiri?"
"Kai," panggil Agam tiba-tiba.
"Bener, 'kan?"
Gadis itu menatapnya dengan kedua alis yang terangkat. Agam tergerak untuk mematut setiap inci wajah Kaila dengan triangle method eyes, membuat si empu merasa deg-degkan tanpa ampun. "Kenapa?"
Agam menunduk sambil tersenyum simpul, lalu kembali mendongak menatap Kaila. "Gueâ kangen banget sama lo."
Mata Kaila mengerjap kaget. "Ha? Tiba-tiba?"
"Tiba-tiba?" suara Agam terdengar berat. "Gue udah ngerasain ini semenjak lo milih buat lanjutin sekolah di luar. Gimana? Masih bisa dibilang tiba-tiba?"
Siapapun yang lewat di sekitar mereka pasti akan langsung menangkap wajah tercengang Kaila. Tenggorokannya kini bahkan terasa tercekat seolah ada batu yang menahan seluruh kalimat di sana.
"Kaila, I always remember you, that's why I always miss youâ dan gue nggak akan ngulang kalimat barusan," tutur Agam.
Atas keramaian di Brooklyn Bridge. Dalam keremangan cahaya yang mengitari mereka, ternyata tidak mampu untuk menutup suara gemuruh isi dada mereka. Tidak mampu menyembunyikan wajah yang kini sama-sama memerah.
Alunan kalimat Agam begitu tenang. Bak sebuah mantra yang menghisap seluruh kesadaran Kaila lagi. Kini kepala Kaila seperti diformat ulang. Kosong. Tidak ada isinya.
___________________
PERLU DISADARI BERAPA ORANG SIH? APA PERLU NIH BUAT PETISI VOTING YAY OR NAY KALIAN SALING SUKA ATAU ENGGAK?ðððð
Reaksi pembaca malam ini : Keluarkan emot itu wahaii bensinnya kapal Agam Kaila~~ðð»