Back
/ 37
Chapter 29

28| Anyone Else But You

The Apple of My Eye [COMPLETE]

Jendela apartemen dibuka, meyebarkan aroma hujan yang masuk ke dalam pernapasan Kaila bersamaan dengan udara sejuk yang langsung memeluknya. Sudah lama sekali rasanya ia tidak bangun siang begini. Setelah berdiam diri beberapa saat di sana, gadis tersebut berjalan menuju meja kerja yang berada di sudut ruang.

Kepulan asap terlihat dari secangkir teh hangat, gadis itu mulai menyalakan laptopnya. Walaupun dijatahkan libur, faktanya Grace tetap memberikan tugas. Ini sih hitungannya sama saja, bedanya, ia tetap bisa kerja biarpun belum mandi.

Kaila juga tidak perlu khawatir ada yang menegur karena kerja dengan kaos oblong serta hot pants.

Jemari lentik itu dengan piawai menggulir halaman katalog yang ditugaskan dari Grace untuk Kaila periksa ulang, entah itu salah ketik, letak gambar pakaian, semua harus dicermati dengan teliti.

Seraya mengamati halaman satu persatu, tiba-tiba ponselnya berdering oleh panggilan masuk. Kaila langsung mengangkat dengan tatapan yang masih fokus ke layar laptop.

"Allô?"

"Ternyata ada orangnya, gue kira hp lo hilang."

Gerakan Kaila terhenti, dilihatnya nama sang penelpon. Lantas membuat gadis itu memijat pelipis sambil memejamkan mata. "Kenapa?"

"Harusnya gue yang nanya kenapa ke lo."

"Bisa langsung ke intinya aja, nggak?" pinta Kaila.

Ada jeda beberapa detik. "Tuh 'kan, Zal." Terdengar bisik-bisik di seberang sana. "Kai, lo marah sama gue? Barangkali tanpa gue sadari udah bikin lo jadi gini, jujur aja seharian gue nggak bisa tidur karena kepikiran."

Kaila mengerjapkan mata pelan. "Lo lagi di mana?"

Terdengar decakan kecil dari seberang sana. "Gue baru sampe Jakarta, lagi otw balik ke rumah." Agam kesal karena pertanyaannya dialihkan, namun tetap menjawab pertanyaan Kaila.

"Ya udah kalo gitu hati-hati."

"Kaila please," lelah Agam. "Jangan kebiasaan ngehindar gitu, kemarin juga tiba-tiba Sekar marahin gue ngatain gue kurang ajar ke lo. Jelasin dulu tolong, apa mungkin gue ada ngelakuin kesalahan sama lo?" tanya Agam yang terdengar sangat frustasi.

Kaila diam-diam merutuki Sekar. Gadis itu berdehem pelan. "Ya— ya habisnya lo tu nyebelin banget! Udah gue bilang nggak usah bercandaan kayak gitu juga, masih aja."

Hening menyelimuti mereka.

Menatap layar ponsel sambil menyipit. Kemana perginya suara yang menggebu-gebu tadi? Mengapa Agam seolah hilang ditelan bumi? Ketika hendak bersuara, ia kembali mendengarkan suara Agam.

"Gitu, ya? Kalo gitu— gue minta maaf, Kai. Maaf ya kalau gue bercandanya kelewatan."

Kaila menangkap penekanan di kata bercanda. Seketika tubuhnya digerayangi perasaan aneh. Bukankah seharusnya ia lega mendapat kalimat permintaan maaf?

Kenapa justru yang ia dapatkan malah perasaan— nelangsa seperti ini?

"Maaf juga kalo udah bikin lo nggak nyaman sama ucapan-ucapan gue. Ya udah deh, Kai, lo jaga kesehatan ya di sana. Itu juga jendelanya ditutup aja, soalnya kedengeran suara hujannya sampai sini."

Belum sempat ia membalas, panggilan sudah diputus oleh Agam. Tanpa sadar tatapan Kaila mengendur, ia menghela napas pelan, lalu melangkah menutup jendela.

🦋

"Denger sendiri 'kan, lo?"

Agam bersungut sambil menggoyang-goyangkan ponsel, sedangkan di sebelahnya, Rizal tampak mengemudi dengan tenang. "Dia tu kagak marah. Dia cuma kesel karena mikirnya lo bercanda sama dia."

"Lah, terus apa bedanya?"

Tangan kanan Rizal tergerak untuk mengusap sudut bibir yang mengembang. "Tolol banget lo asli. Tololnya kebangetan," katanya sambil terkekeh.

Lelaki itu menatap Rizal sinis. "Lo ngatain gue, Zal? Mau gue kasih cabe tu mulut?"

"Lagian lo pantes dikatain." Rizal tampak menghela napas dalam. "Gue sebenernya kagak mau buat lo terbang. Tapi dari penuturan cerita lo tentang perubahan Kaila. Harusnya lo nangkep cahaya yang dia sembunyiin. Cahaya mau sekecil apapun tetep bakal tetep keliatan. Masa lo kagak ngeliat?" heran Rizal.

"Gam, Kaila itu salting— cuma lo-nya aja yang kagak sadar. Ya emang sih ya, yang kita tau selama ini dia cuma nunjukin ekspresi kalo nggak marah ya nangis. Sedangkan buat mikroekspresinya, nggak bakal ketangkep dengan sekali liat. Tapi— ada tapinya nih, buat bahasa tubuh, nah, itu adalah hal yang nggak bisa dibohongi. Kagak bisa ditutupi."

"Fine, everyone change. But the character? Selamanya akan melekat pada manusia itu. Coba sekarang gue tanya, di mana Kaila yang suka ngereog membabi buta kalau dijahilin? Apa lagi orang yang jahil modelan elu." Rizal meliriknya sekilas. "Harusnya nih, ya, saat dia dengerin lo ngomong miss you miss you kutu kupret! Dia langsung huek huek, marah terus ngejambak atau nampar lo bolak-balik. Karena itu hal yang biasa dia keluarin kalo interaksi sama lo, 'kan? So nothing's impossible to do again."

"Tapi kemarin yang dia tunjukin malah apa? Cuma diem natap lo. Buang muka. Walaupun akhirnya dijitak, but I think that clearly shows that she was embarrassed," tutur Rizal panjang lebar akan analisis singkatnya.

Pemuda itu masih terdiam, mencerna baik-baik kalimat Rizal diselingi dengan mengingat momen bersama Kaila beberapa hari lalu.

"Zal, tolonglah kali ini aja kita ngobrol serius. Jangan gini. Lo nggak lagi berusaha menghibur gue, 'kan?"

Rizal mengusap wajah gregetan. Menepikan mobil tiba-tiba. "Turun lo bangsat. Jangan pernah lagi curhat sama gue. Tai lo."

🦋

Apartemen berukuran 60 meter persegi itu terlihat sepi karena hanya terisi satu penghuni.

Kaila merebahkan diri di atas sofa. Ponsel terketuk pelan di dagu dengan tatapan menerawang ke langit-langit. Tidak lama suara bel terdengar, membuat gadis itu bangkit dari tidur dan berjalan untuk membuka pintu. Saat pintu dibuka, terlihat Sebastian membawa dua kotak pizza.

"Yuhu.. i'm coming," ucapnya sambil berjalan centil ke dalam.

Setelah menutup pintu, Kaila menyusul Sebastian yang saat ini terlihat sibuk menata makanan dan mengambil minuman dingin di kulkas, berlagak seperti pemilik bangunan asli. Dasar tamu tidak tahu diri.

Kaila menaikkan alis. "Dari mana?"

"Habiba belalang pizza."

"Beli pizza doang rapi bener," ujar Kaila.

Sebastian menoleh ke arah Kaila. "It's a must to look neat! Mau beranak dalam kubur juga eike harus rapi, biar mood kita seharian tetep happy. Wak sebagai wanita supra natural harusnya begindang," tutur Sebastian sambil mengamati Kaila dari atas sampai bawah.

Kaila mematut dirinya sendiri yang hanya menggunakan kaos oblong, sangat kontras dengan penampilan Sebastian saat ini. Apa yang dikatakan Sebastian tidak sepenuhnya salah, karena ketika kita menggunakan pakaian bagus dan terlihat rapi, suasana hati kita pun secara naluriah akan memancarkan aura bahagia, dan juga akan terlihat nyaman di mata saat kita tengah berkaca.

Gadis itu berjalan mendekat duduk berseberangan dengan Sebastian, mengambil pizza lantas lebih dulu menggigit bagian belakang. "Bas, gue mau resign."

"What the hell..."

"Cukup lama gue mikirin ini sebenernya, tapi masih maju mundur and since my mom often said that she was lonely at home— I think 3 years working here is enough, banyak banget pelajaran yang udah gue dapet di sini. Berkat Madam, berkat lo juga, Bas."

Sebastian bungkam menatapnya haru, pizza bahkan mulai terasa hambar. "Wak..." lelaki itu mengitari meja dan memeluknya, tangan gadis itu mengusap punggung Sebastian.

Mata Kaila membulat mendengar isakan dari Sebastian, dilihatnya lelaki itu dan benar saja. "Ih, lo nangis?"

"Sedih tau wak, mata eike berasa dikasih bawang jahat." Sebastian menyeka air mata dengan anggun.

Kaila tertawa. "Kalau ada jalannya, kita bakal ketemu lagi kok," ujar Kaila.

"Terus di sandro wak mau ngapain?"

"Jalani butik nyokap, kasian juga nyokap gue di umur sekarang masih harus bolak balik butik. Mending gue aja yang terusin dan kalo lo mau- ayo ikut balik ke Jakarta. Ini kalo mau ya, gue nggak akan maksa."

Sebastian mencibir mendengar tawaran Kaila jelas saja membuat ia berpikir keras, membayangkan bahwa akan melewati hari-hari tanpa berjulid tentu akan terasa membosankan.

"Minggu depan— gue juga udah harus balik, secara kebetulan emang ada acara yang mau gue datengin."

"Seriously? Minggu depan?! Acara apose?"

"Acara nggak penting tapi penting, ya pokoknya gitu lah." Kaila bingung sendiri menjelaskannya. Padahal tidak membutuhkan bahasa latin dalam menjelaskan bahwa ia pulang karena akan menghadiri acara reunian.

Kepala Sebastian tergerak untuk mengangguk pelan. "Jujur deh wak, lekong geger jeder-jeder itu siapose? Eike yakin dese bukan bule."

Kaila mendengus geli. "Siapa sih yang lo maksud? Gue nggak ngerti," katanya tertawa halus berusaha mengalihkan pikiran Sebastian.

Sedang Sebastian, meniliknya penuh curiga. Mengendus aroma-aroma kebohongan di sekitar Kaila, lalu tersenyum penuh arti. "Agam... itu si lekong geger jeder jeder?"

Kaila tersedak pizza, terbatuk keras sambil berusaha meraih botol minum. Sebastian sontak menepuk punggung gadis tersebut. "Ya ampun wak, baru juga eike nang nong neng begindang."

Untung saja pizza tersebut berhasil keluar. Kaila langsung menatap bengis ke arah Sebastian dan sontak menggeplaknya sangsi, membuat lelaki itu menciut. "Lo tu yah!" Kaila tampak memerah. "Tau nama dia dari mana?" tanya Kaila.

"... anu em, itu eike tinta sengaja baca nama pengirim surat-surat di meja kerja wak. Suwer tekewer-kewer."

"Keep on your mouth," ucap Kaila penuh peringatan.

Sebastian mengangguk patuh. "Iya wak iya, bakal eike jaga. No drop no bocor-bocor~"

🦋

Kini hari yang ditunggu telah tiba. Sambil menyeret koper, langkah itu membawanya keluar bandara. Kaila mengedarkan pandangan hingga beberapa detik kemudian manik mata hazelnya menangkap sosok Sekar yang berlari kencang.

"Kaila! Gila gue kangen banget!" lontar Sekar sambil mendekap Kaila erat, mengecup pipi Kaila sekilas. Gadis itu terbatuk sembari menepuk lengan Sekar berkali-kali.

"Anjir, Sekar, leher gue," timpal Kaila kesusahan.

Sekar melerai pelukan. "Kok tiba-tiba banget sih ngabarinnya? Untung gue juga lagi nggak ada jadwal jaga," protes Sekar.

Bahu Kaila terangkat lalu Sekar dibuat kaget saat melihat seseorang dari balik tubuh Kaila. "Surprise.." ucap Kaila sumringah.

"Astaghfirullah."

"Nding ndong~"

Dengan senyuman yang belum luntur, Kaila mengenalkan Sebastian. "Ini Sebastian, temen gue."

"Kenalin, eike Sebastian, tapi bukan sebatas teman tanpa kepastian~ em~"

Sekar menerima uluran tangan tersebut sambil tersenyum geli. "Gue Sekar."

Kaila pun langsung merangkul Sekar. Mereka berjalan bersama menuju parkiran dan selama di perjalanan, topik mereka tidak kenal kata henti, menghasilkan suasana yang ramai. Padahal hanya ada mereka bertiga di sini.

"Pada mau makan dulu nggak?" tawar Sekar.

"Capcus cyin! Penduduk di perut eike udah demo gonjrang ganjring."

Sekar masih belum terbiasa mendengar bahasa Sebastian, alhasil ia selalu terbahak sendiri. Pada akhirnya Sebastian menerima tawaran Kaila. Mengembangkan butik turunan itu agar lebih modern dan dikenal banyak orang nantinya. Sebastian juga tidak perlu repot beradaptasi ulang, mengingat ini adalah negara kewargaannya.

Tapi fakta di depan mata yang harus mereka hadapi adalah, melakukan semuanya atas kaki sendiri.

Bukan lagi atas tuntutan dari atasan.

🦋

Kaila mematut diri yang dibalut oleh gaun hitam panjang, tidak terbuka. Kaila masih tau tempat kapan harus menggunakan pakaian seperti itu.

Rambutnya yang biasa tergerai, untuk malam ini ia tata menjadi ponytail agar terkesan lebih rapi. Tiffany & Co juga turut menghiasi leher dan telinga Kaila. Menurut gadis itu, penampilan ini sudah aman dan tidak akan terlalu mencolok apalagi menarik perhatian siapapun yang melihatnya.

Namun saat tiba di tempat reuni. Semua mata malah terarah padanya tanpa berniat mengalihkan pandangan. Kaila tertegun, bertanya dalam hati. Apakah dirinya salah kostum? Lantas ia menarik tangan Sekar, membuat gadis itu mengernyit heran.

"Kenapa?"

"Ini gue salah kostum?" bisik Kaila.

"Salah kostum dari mananya? Cakep gini kok."

Kaila tampak tidak puas mendengar jawaban dari Sekar. Alhasil ia melanjutkan langkah dengan tidak percaya diri, rasanya ingin menyingkir dari sini secepat mungkin.

"Widih, chairmate gue! Makin cakep aja sih lo," ucap Hana sambil menyapa pipi kanan kiri Kaila.

Sekar menyenggol lengan Kaila. "Noh dengerin," tegurnya. "Mana ada salah kostum."

Bibir Kaila tampak menekuk. "Habisnya tadi pas masuk malah diliatin, 'kan gue jadi mikir yang enggak-enggak."

Mereka pun duduk di sekitar meja bundar. Acara reuni akbar ini adalah program kerja sama yang dilakukan oleh allumni dan sekolah. Tujuannya agar silaturahmi tetap terjalin, komite sekolah juga sebagian besar isinya allumni dari sini, sangat jelas memperlihatkan dari keuntungan menjaga relasi.

"Eh tau nggak," bisik Hana pada Kaila dan Sekar. Tanpa sadar mereka langsung merapatkan tempat duduk. Baru juga tiba, sudah disuguhkan pembuka hidangan saja. "Kalian semua bakal kaget kalau denger berita ini. Terutama lo, Kai."

"Gue? Emang ada apa?" tanya Kaila dengan perasaan yang super duper penasaran.

Tatapan Hana mengedar seolah memastikan keadaan sekitar. "Jake— he's getting married! Mau tau sama siapa? Sama Siska Halim, coi! Anak penyanyi lawas terkenal itu, tau 'kan?"

Kalimat tidak terduga itu membuat Kaila seketika terdiam, membuat Hana dan Sekar saling bertatapan sebelum kembali menatapnya.

"Lo—"

"Gue nggak papa," potong Kaila cepat. "Sumpah gue nggak papa, lagian kisah itu udah lumutan, justru gue lebih kaget karena kalian masih bisa dapet informasi kayak gini. Dapet dari mana, sih?" heran Kaila sambil terkekeh.

Hana tersenyum. "Intel ni bos."

"Baguslah, beritanya positif. Akhirnya dia ketemu sama orang yang tepat," ujar Sekar.

"Jadi secara langsung lo mau bilang kalo gue nggak tepat gitu?" protes Kaila.

Sekar menggeleng polos. "Memang bukan, 'kan? Beda Tuhan aja udah jawaban paling terang dan jelas, mana terbukti putus lagi HAHAHA."

"Yeeh kampret lo."

"Enggak papa, Kai. Walaupun pasti rasanya agak nyesek tapi ya udah lah, ya. Terbukti dia bukan takdir yang mau Tuhan kasih buat lo." Hana melanjutkan. "Barangkali nih, takdir yang sesungguhnya buat Kaila itu.." Hana mengendikkan dagu, membuat Kaila menatap kemana arah tunjuk Hana.

Mata Kaila membulat. Kembali manatap nyalang ke arah Hana. "Yang bener aja," protes Kaila.

Hana tersenyum sambil mengangkat bahu. Sekar pun juga ikut mesem-mesem di sebelahnya, sedang Kaila hanya mendengus kesal. Bisa-bisanya Hana berpikiran kalau takdir Kaila itu adalah Agam, yang kini sedang asik tertawa bersama beberapa temannya di sana. Gadis itu menggeleng, butuh toilet sekarang. Setidaknya untuk menyembunyikan debaran yang tiba-tiba saja datang.

"Mau ke mana?" tanya Sekar.

"Beranak dalam kubur!" cetus Kaila.

Setelah berucap, Kaila benar-benar pergi meninggalkan keramaian. Berjalan cepat menuju toilet sambil merapal agar kegiatan ini berakhir secepatnya. Akibat langkah yang terlalu cepat Kaila hampir menabrak waitress yang membawa nampan.

"Maaf mbak," ucap Kaila pada waitress tersebut.

"Are you ok?"

Menoleh ke samping, sejenak tatapan mereka bertahan hingga beberapa detik sampai pada akhirnya kesadaran Kaila menampar batinnya. Jake— berdiri santai di sana.

"Eh, nggak papa kok."

"Apa kabar, Kai?"

Sapaan itu mengawang di pendengarannya. Kaila spontan menelisik sekitar, mengingat rumor dari Hana tadi, membuat Kaila bersikap hati-hati, dirinya tidak ingin dicap sebagai perusak hubungan orang apa lagi kalau sampai viral dan dihujat satu Indonesia. Kaila bergidik ngeri sendiri.

"Kayak yang lo lihat sekarang, gue baik," ujarnya. "Ngomong-ngomong, selamat ya, Jake. Gue sempet denger dari yang lain tadi, semoga pernikahan lo nantinya berjalan lancar, jadi keluarga yang bahagia," ucap Kaila tulus.

Jake diam menatap Kaila, lantas tersenyum sambil mengangguk. "Makasih, ya, Kai. Kalau diundang, lo bakal dateng?"

Kaila tertawa pelan. "Kalo diundang ya dateng lah, namanya juga diundang, harus dipenuhi dong. Pokoknya gue tunggu kabar baiknya," tuturnya. "Ya udah kalau gitu gue duluan ya? Enggak enak soalnya udah ditunggu sama yang lain," pamit Kaila.

Gadis itu berlalu, namun bukan ke toilet seperti tujuan awal. Langkah itu berhenti di taman depan. Ada banyak lampu dan satu air mancur di sana, semilir angin langsung menyapu bagian kulitnya yang terbuka. Akhirnya Kaila bisa duduk tenang tanpa harus memperdulikan sekitar. Untuk kedua gadis itu Sekar dan Hana, bbiarkan saja mereka kelabakan mencarinya di sana.

Lalu tatapan Kaila jatuh menerawang ke air mancur. Selang beberapa detik ia menggeleng tidak percaya. "Sumpah tadi yang ngomong kayak gitu, gue? Tanpa deg-degkan tanpa gemeteran?" heran Kaila tak percaya pada dirinya sendiri.

"Cie, seneng banget yang habis ketemu mantan."

Kaila terperanjat kaget, suara berat ini jelas tidak asing di telinga Kaila. Gadis itu menoleh dan langsung menemukan sosok Agam yang berjalan mendekat kemudian turut duduk di sebelahnya. Lelaki itu menelengkan kepala, menatap wajah Kaila dari dekat.

Sejujurnya ia sedang menuruti ucapan Rizal, mencari cahaya yang dimaksud pemuda tersebut.

Mata Kaila mengerjap. "Kenapa, sih?"

Perlahan, senyum Agam mengembang sempurna. Bak habis mendapat sebuah harta karun satu kapal, laki-laki itu menggeleng pelan. Melihat Agam tersenyum manis sedekat ini tentunya membuat jantung Kaila berdesir bersamaan dengan rasa yang menggelitik di perut.

Tiba-tiba suara milik Hana dan Sebastian menghantui pikirannya, berputar di sana. Saling bersahutan tanpa henti seolah tengah mengolok-olok Kaila.

"Mikirin apa?"

Kembali ditarik gravitasi bumi gadis itu menggeleng kikuk, kemudian membuang pandangan ke air mancur.

"Mikirin gue, ya?"

"Pede lo."

Tanpa gadis itu sadari, Agam semakin melebarkan senyam senyum tidak jelas. Persis seperti orang yang sedang ketiban uang satu pesawat. Mungkin setelah ini ia harus berterimakasih kepada Rizal. Analisis singkat itu berhasil mengubah sudut pandangnya terhadap wanita ini.

"Kai," panggil Agam.

Hendak menoleh namun suara berat Agam kembali terdengar. "Enggak usah noleh, lo cukup dengerin gue aja," pinta Agam yang membuat Kaila mengernyit tetapi tetap menuruti ucapannya.

"Dari mana ya gue harus mulai?" gumam lelaki tersebut pelan.

"Menurut lo— mungkin nggak manusia itu mendem perasaan sampe belasan tahun? Kalo menurut gue itu nggak mungkin. Lo mendem sesuatu yang akhirnya aja nggak tau bakal kayak gimana. Syukur-syukur kalo berakhir sama-sama. Kalo enggak? Wasting time, ya?"

Dalam diam Kaila menggigit pipi bagian dalam, spontanitas yang akan terus muncul kala ia gugup, grogi atau tengah menahan sesuatu.

"Tapi saat gue mengalami ini secara langsung, justru gue enggak sadar kalau sudah selama ini berlalu. Mungkin itu juga yang dialami orang-orang di luar sana yang nasibnya 11 12 sama gue."

Bibir Kaila terkatup rapat bahkan tanpa perlu menoleh, jantungnya tetap berdesir tak karuan.

"Belakangan ini pasti lo nggak nyaman atas ucapan-ucapan gue yang mungkin nggak masuk di akal lo. Tapi Kai— gue sangat sadar sama apa yang gue ucapin. So, don't worry about that, nggak perlu bertanya-tanya itu gue bercanda atau enggak," ada jeda di sana. "Jawabannya enggak, Kai. Gue enggak bercanda. Itu yang harus lo tau."

Tidak tahan, akhirnya Kaila menoleh, ia menatap air muka Agam yang kelewat tenang. Dengan kedua sudut bibir terlengkung ke atas. Alih-alih langsung membalas, Kaila malah memilih untuk diam menelisik setiap inci wajah Agam.

Tidak ada yang berubah, sama seperti dulu, saat menyatakan cinta dengan dua batang cokelat.

Kaila ingat.

Kaila tahu.

Kaila sadar.

Hanya saja— dahulu ia memang memilih untuk tidak ingin merusak hubungan yang sudah lama terjalin baik dengan peralihan status di antara mereka.

Di usia yang masih labil tentunya akan ada banyak sekali keputusan-keputusan yang diambil secara kurang matang. Membayangkan kalau mereka dihadapi oleh pertengkaran hebat saja sudah menimbulkan aneka kemungkinan. Jika posisi mereka masih dalam kategori "sahabat", menurut Kaila itu masih memiliki peluang untuk memperbaiki hubungan pertemanan yang retak.

Namun jika sudah ada "perasaan pribadi" yang terlibat, justru keinginan untuk memperbaiki hubungan pertemanan itu sangat minim kemungkinan. Karena akan ada banyak sekali pertimbangan yang siap jadi penghalangnya. Dan pada akhirnya— justru melepaskan keduanya.

"Gue juga sadar kok kalo gue nyebelin parah. Bikin lo marah-marah tiap hari, bahkan sampai bikin lo nangis. Parah banget, ya? But either you will believe my words or not, itu karena gue pengen terus berinteraksi sama lo. Cuma cara itu yang bisa bikin gue selalu merasa terhubung sama lo."

Iris mata mereka masih betah untuk saling mengunci satu sama lain. Sorot binar tertahan yang sempat Kaila lihat di Brooklyn Bridge, kini telah mengeluarkan pijarnya.

"Lo inget 'kan kita pernah renggang beberapa kali?"

Kaila tanpa sadar mengangguk, membiarkan detik berlalu dengan tatapan yang masih saling beradu.

"Setiap hari gue mikirin gimana caranya buat gue terus bisa terhubung sama lo di tengah-tengah keretakan pertemanan kita saat itu. Padahal sederhananya, ya tinggal minta maaf aja," ucap Agam sambil mendengus pelan.

"Tapi Kai, karena dari awal cara komunikasi kita ini nggak masuk kategori wajar, ditambah gue juga gengsian, bikin gue skeptis to first move. And then, gue pilih untuk diem," tuturnya mengambang. "Diemnya gue, tetep ngeluarin usaha. Gue berusaha ngasih surat permohonan maaf ke lo lewat jajanan yang sering gue masukin ke tas lo. Tapi lagi-lagi, nggak ada perubahan apapun, saat itu lo masih tetep ogah-ogahan ke gue."

Seketika pikiran Kaila dibawa ke masa itu, masa di mana dirinya sering mendapatkan jajanan ringan di dalam tasnya berserta gulungan surat— tanpa nama. Kaila meringis dalam hati, mungkin setelah ini ia akan berusaha membongkar kamarnya.

"Jadi jajanan itu dari lo?"

"Dan, lo mikirnya itu dari mantan," ujarnya sendu.

"Ya 'kan gue nggak tau, di suratnya aja nggak ada nama lo," gumam Kaila teramat pelan.

Menghiraukan kehadiran orang-orang yang berlalu lalang. Lelaki itu kembali bersuara. "Giliran gue punya nyali to say sorry secara langsung ke lo— pasti selalu berakhir gagal. Di tangga, di perpus, itu gagal semua," jelasnya jengkel. "Hampir pupus di tengah jalan karena ngerasa nggak ada jalan pintas lagi buat gue. Ngerasa kalau semesta pun nggak mau bantuin gue. Tapi ternyata di taman malam itu, adalah waktu di mana percaya diri gue balik lagi. Sampai akhirnya, kepikiran tu buat ngirim surat tiap bulan, karena keduluan lo yang minggat dari Indo."

Deru napas Kaila melambat, pasokan oksigen dalam tubuhnya seolah berkurang drastis. Bibir gadis itu juga terkunci rapat, menahan gebrakan dalam hati agar tidak lancang bersuara.

"Setelah gue lepasin semua ini. Apa lo masih mau tutup mata dan terus berpikiran kalau gue bercanda?"

Mata Kaila mengerjap pelan.

"Asal lo tau, gue udah dapet kantong restu dari Tante Ratna. Tadi gue sempet minta izin buat confess untuk yang kedua kali ke anak semata wayangnya. She allowed it dan doain gue juga." Agam memamerkan dengan bangga.

Sekali lagi.

Kaila dibuat terpaku. Semakin menyelami kalimat demi kalimat dari Agam, semakin terdorong pula seluruh gundah gulana yang selama ini tertahan di pikiran Kaila. Seolah ia telah menemukan jawaban di atas jawaban tentang keresahannya belakangan ini.

Sanubari berteriak, mengatakan bahwa Tuhan sedang memberikan hadiah berupa penghapus atas kertas putihnya yang penuh coretan tak beraturan.

"Di antara banyak pilihan, kenapa lo pilih gue?"

Suara gadis tersebut kembali terdengar, membuat Agam semakin memperdalam tatapannya. Intens. Tidak membiarkan iris matanya membidik objek apapun selain Kaila malam ini.

"Gue nggak mau membuang waktu gue untuk seleksi sana sini, karena sekalipun berhasil memilih yang baik dan cocok, pasti akan selalu ada yang lebih dari itu," jelas Agam. "Cukup lo, Kai— gue udah merasa lebih dari cukup kalau lagi sama lo."

Kaila menjilat bibir yang terasa kering. "Buaya kali Angke emang paling bisa nyusun kata-kata gini, ya?"

Agam terkekeh. "Ya Allah gue masih aja dikatain buaya kali Angke. Kaila, seumur-umur gue nggak pernah memiliki niat untuk cari orang lain selain lo. Buaya dari sisi mana coba?"

"Parah lo. Kak Laura nggak lo akuin."

"Laura?" ulang Agam memastikan. Seketika ia sadar. "Jangan bilang, lo juga kemakan rumor anak sekolah?"

"Udah jadi rahasia umum kali. Fans-fans lo juga banyak bertebaran di tiap sudut sekolah, cuma mereka nggak berani maju aja karena ada Kak Laura di dekat lo," ujar gadis tersebut. Seakan sadar akan ucapannya Kaila pun menjentikkan jari. "Tuh, 'kan! Banyak tuh cewek yang demen sama lo."

Laki-laki dengan tuxedo hitam pekat itu tersenyum simpul. Akhirnya mengangguk mengalah. "Tapi mereka nggak bisa mempengaruhi hidup gue. Lo nggak ngapa-ngapain aja udah bisa bikin ngebatin sambil gue sholawatin," katanya tersenyum sambil memainkan kedua alis. "You set my heart on fire, Kai."

Gadis itu lantas tak kuasa untuk terkekeh halus, kemudian mengalihkan pandangan. "Jayus ah," gumamnya pelan.

"Jadi, lo cemburu sama Laura?"

"Enggak."

Agam tersenyum miring. "Cemburu ternyata."

"Gue bilang enggak, ya."

"Kagak mau tanya dulu nih, hubungan gue sama Laura itu yang pastinya apaan?" godanya tepat di depan wajah Kaila.

"Agam ih!" geram Kaila yang refleks mendorong wajah Agam kuat, terkesan seperti menabok. Lantas membuat keduanya terdiam saling tatap satu sama lain.

Agam bergeming tidak percaya. "Ini gue beneran habis ditabok? Seorang Agam Pradana mukanya ditabok?" ucapnya hiperbola.

"Ya, makanya lo jangan nyebelin gitu dong! Kesel banget gue," cecar Kaila yang akhirnya membuat tawa laki-laki itu meledak, merasa puas karena berhasil membuat Kaila marah. Lantas ia mengangkat kedua tangannya, pertanda menyerah.

"Lucu banget lo kalo salting gini."

Setelah ini, Kaila akan melaporkan kepada Tante Desi karena anak bungsunya, berhasil memporak-porandakan kehidupan anak gadis orang.

____________________

MENYALA CONGORNYA AGAM💥🔥🔥KASIH NAPAS DULU KELEUZZZ ANAK GADIS ORANG BANG~

REACTION AGAM TO KAILA BET DAH INI:

Share This Chapter