Back
/ 37
Chapter 30

29| Bekasi VS Everybody

The Apple of My Eye [COMPLETE]

"Kaila ayo cepetan."

Teriakan Ratna dari lantai bawah membuat Kaila yang sedang bersiap kalang kabut. Ia mengambil tas dengan asal kemudian turun tergesa-gesa.

Baru juga sampai di lantai bawah, matanya melebar saat melihat Agam ngobrol dengan sang Ibu. Buru-buru Kaila balik badan dan kembali menaiki tangga dengan cepat.

"Kok malah naik lagi? Kita udah udah telat loh ini, Kai."

"Bentar, Bu. Ada yang ketinggalan," sahutnya berbohong.

Kaila masuk kamar, bersembunyi di balik pintu. Tampak gadis tersebut menggaruk kepala frustasi. Lagi pula, ia baru menyadari satu hal, kenapa juga ia harus menghindar seperti sekarang?

Notifikasi pesan masuk.

Kaila mematikan ponsel, dilihatnya dari balik gorden situasi rumah Agam. Ternyata benar, laki-laki itu baru saja masuk ke dalam rumah.

Dengan jurus seribu bayangan Kaila turun ke bawah. Tanpa basa basi langsung masuk ke dalam mobil. Sejak kejadian malam tadi— di mana terlontarnya pengakuan anti mainstream. Kaila jadi mendadak tidak memiliki keberanian untuk bertatap muka dengan Agam.

"Gimana? Gue diterima atau diterima?"

"Sama aja, nggak ada pilihan namanya."

Agam mengendikan bahu. Tersenyum jahil lantas bersadar pada kepala kursi. "Pilihannya 'kan emang cuma gue, Kai." Beginilah jika jamet kabupaten beraksi.

Apapun hasilnya— percaya diri saja dulu.

Gadis itu turut bersandar, menerawang air mancur di sana. "Nggak seru ah kalo nggak ada pilihan. Padahal kalau ada pilihan ambil cokelat, cokelatnya bakal gue ambil."

"Lo pikir gue nggak prepare matang-matang?" tanya Agam menggodanya, kemudian dari samping ia menyodorkan satu batang cokelat. "Nih."

Kaila menatap tidak percaya, namun pada akhirnya terkekeh sambil menerima cokelat tersebut. "Kayak bocah, umur udah 25 juga."

"Lo bocahnya," timpal Agam sambil tersenyum.

"Ngatain gue? Gue balikin, nih."

Tangan kekarnya menahan tangan Kaila. "Jangan dong cantik, masa gue harus ngulang lagi tahun depan."

Tiba-tiba saja suara letusan kembang api terdengar membuat atensi mereka teralihkan. Mereka sama-sama menatap langit malam yang dihiasi letupan-letupan indah. Pemandangan saat ini sangat memanjakan mata bagi siapapun yang melihatnya. Sedang di balik-balik semak, terdapat dua orang yang bersembunyi, saling memegang petasan sambil cekikikan.

Rizal dan Ilham— tanpa sengaja saat mereka mecari keberadaan Agam. Mereka melihat dua sejoli ini duduk di taman. Tanpa berpikir panjang, ide ini muncul. Buru-buru mereka keluar hanya membeli petasan.

Lagi.

Agam berutang banyak pada cecunguknya.

Kaila beringsut di kursi mobil. Seketika digerayangi perasaan malu, aneh, canggung. Semua beradu jadi satu.

"Kamu—"

"Bu ayo jalan, tadi katanya telat."

Ratna terkekeh menertawakan tingkah anak gadisnya. Padahal Ratna sudah tahu semua, mulai dari rencana Agam, bahkan hasil dari rencana tersebut. Ini bukan kali pertama anak gadisnya dekat dengan dengan pria, tapi sikap Kaila yang kali ini— Ratna akui sangat berbeda. Seperti anak polos yang baru kecemplung ke dalam kubangan percintaan.

Mobil itu melaju membawa mereka menuju event launching gamis terbaru milik teman Ratna.

"Oh iya, ucapan kamu tempo hari, beneran tuh? Mau lanjutin butik Ibu?"

Kaila mengangguk. "Sekarang biar aku aja yang kerja. Ibu di rumah aja, aku juga bawa partner yang paham di bidang ini kok."

"Siapa? Sebastian, ya?"

Lagi-lagi Kaila mengangguk membenarkan. "Tapi Bu, mungkin kita nanti bakal ngubah sedikit konsep butik yang lama. Bakal kita upgrade sesuai zaman sekarang, gimana? Ibu keberatan, nggak?"

"Ibu nggak masalah kok, Ibu bakal tetep dukung semua keputusan kamu."

Kaila tersenyum. "Makasih ya, Bu," katanya yang diberi anggukan oleh Ratna.

Gadis itu lantas memilih untuk memainkan ponsel sambil menggulir beranda sosial media.

"Kamu mungkin akan sulit percaya sama cerita ini."

Lantas Kaila mengernyitkan kening lalu mengangkat pandangan, menoleh ke arah Ratna yang mengemudi dengan raut tenang. Pernyataan tadi tentu saja membuat Kaila penasaran.

"Cerita apa, Bu?"

"Laki-laki yang kamu hindari pagi tadi— sebenernya sudah lama curhat sama Ibu kalau dia suka kamu. Kapan, ya? Kalo nggak salah waktu kalian masih SMP deh kayaknya. Ibu ingat banget, sore itu Ibu lagi nyiram kembang di luar terus dia keliatan kayak mau ngajak kamu main tapi nggak berani manggil. Jadi anaknya cuma diem di depan rumah sambil liatin rumah kita."

Kaila terdiam sesaat, berusaha menjabarkan kata demi kata yang ia dengar. Kemudian gadis tersebut kembali melirik sang Ibu sambil berdehem pelan. "Terus, Bu?"

"Belum Ibu panggil, dia malah jalan sendiri. Mampir. Duduk di deket Ibu, emang nggak ada sungkan-sungkannya anak itu." Ratna tersenyum lebar membayangkan kejadiaan masa itu. "Langsung Ibu tanya dong, kenapa nggak manggil kamu buat main bareng. Dia malah jawab gini 'Sebenernya, Tan, Agam habis nembak Kaila, tapi ditolak. Masalahnya habis kejadian itu, Kaila malah jadi serung marah-marah ke Agam. Padahal 'kan yang ditolak itu Agam, ya, Tan? Harusnya 'kan Agam yang marah, tapi ini malah kebalikannya,' gitu katanya," ucap Ratna menirukan.

"Terus Ibu marahin?"

Ratna melirik Kaila sekilas seraya tertawa hangat. "Kenapa pula Ibu harus marah, Kai? Selama nggak kelewatan sih, nggak papa itung-hitung bisa jadi bahan cerita buat masa depan."

"Terus apa lagi, Bu?" tanya Kaila yang masih penasaran.

"Hm.. habis dia cerita gitu, Ibu sih sempet mikir. Oalah, ternyata itu alasan kamu pulang sekolah wajahnya ditekuk seharian, karena habis denger cowok nyatain cinta. Terus si Agam Ibu kasih nasehat dengan kalimat yang mudah dia pahami. Ibu bilang 'Agam mending kamu belajar dulu yang rajin biar bisa sama-sama terus sekolahnya sama Kaila sampai gede. Jadi kamu punya banyak sekali kesempatan buat dapetin hati anak Tante yang sulit diluluhin itu. Kaila sukanya sama cowok yang pinter soalnya, nah kalau kamu berhasil satu sekolah terus sama Kaila 'kan tandanya Agam satu level sama dia.' yah pokoknya gitu deh intinya. Ibu lupa-lupa ingat."

Gadis itu tampak salah tingkah di kursinya, membuat Ratna menggeleng heran. "Saat kalian sudah pada besar, sudah makin paham sama percintaan, apalagi kamu sempat deket sama cowok lain— Ibu pikir Agam juga berpaling ke yang lain. Tapi pas Ibu coba tes hubungi Desi waktu kamu kecelakaan disenggol mobil itu, eh Agam malah yang paling khawatir."

"Jadi itu Ibu sengaja kasih tau mereka?"

Ratna mengangguk bangga. "Ibu mau lihat apa anak itu masih punya perasaan kayak yang dia omongin dulu apa enggak, ternyata, masih," tutur Ratna.

Kaila menatap tidak percaya. Bertanya dalam hati, sudah sejauh mana sang Ibu bertindak di belakangnya. Lebih-lebih, lelaki itu sudah mendapat lampu hijau dari dulu. Bahkan nasehat sang Ibu juga benar-benar diterapkan oleh Agam.

"Setelah melihat kamu sempat memiliki hubungan yang baik sama pria lain, Ibu paham kalau perasaan itu memang tidak bisa dipaksakan. Jadi saat itu, Ibu dukung apapun yang kamu pilih," kata Ratna. "Selama masih di jalan yang benar," lanjutnya sambil mengelus pelan kepala Kaila.

"Aku juga mau tanya satu hal, Bu."

Ratna melirik Kaila sekilas. "Soal apa?"

"Ibu masih inget nggak aku demam gara-gara habis jadi panitia MPLS 3 hari?"

Ratna tampak berpikir sesaat sebelum mengangguk pelan. "Yang kamu masakin temen-temen setelahnya itu?"

"Iya! Waktu Ibu izin keluar ke supermarket buat belanja, apa Ibu nyuruh Agam ke rumah buat nemenin aku?"

"Enggak, Ibu yang mau deket kamu aja diusir masa suruh orang lain ngedeket juga. Kenapa?"

Kaila tersenyum gamang. Pada akhirnya menatap jalanan dengan senyuman yang belum luntur. Rupanya, gadis itu membutuhkan beberapa orang untuk singgah demi menemukan dia yang sungguh.

"Enggak papa, aku mau mastiin aja," ujar Kaila hangat.

"Selama kamu enggak di sini Agam juga suka nyempetin waktu buat lihat Ibu. Ntah itu makan, nonton TV, tidur siang di sofa. Pokoknya kegiatan yang bikin rumah itu tetap hidup. Agam bahkan punya kunci serep rumah kita asal kamu tahu."

Jantung itu semakin berdesir hebat. Matanya mulai berair, lantas Kaila memeluk Ratna dari samping. Entah kenapa rasanya ia malah ingin menangis.

Kaila pikir, perginya ia ke negeri orang akan membuat rumah itu sepi bagai tak berpenghuni. Nyatanya sosok Agam hadir bagai lentera di tengah hutan gelap, memancarkan cahaya untuk mereka yang merasa kehilangan atas perginya matahari.

Bayang-bayang negatif tentang pria itu bahkan sudah pergi. Sepertinya— jatuh suka itu semakin bersemi.

🦋

Agam baru saja tiba di studio. Langkah jenjang itu membawanya menuju ruang kerja pribadi. Ia langsung duduk di kursi dengan mata tajamnya yang mulai cekatan memeriksa e-mail secara berkala. Untuk beberapa pegawai, mereka beranggapan jika atasan mereka ini memiliki kepribadian yang serius alias sulit diajak bercanda.

Apalagi kalau sudah memegang kamera, jangan harap bisa mengusik kegiatan pria tersebut. Tidak ada dari mereka yang berani mengajak Agam berbasa basi kalau bukan dari laki-laki itu sendiri yang memulai— kecuali si Jordi. Fotografer andalan, yang merangkap sebagai personal assistent Agam.

Pintu diketuk, sosok Jordi pun muncul dari balik pintu kaca tersebut. Berjalan mendekat dengan menyerahkan dokumen MoU (Memorandum of Understanding).

"Ini ada nota kesepakatan dari brand ĀLMA. Mereka mau bikin kontrak kerja satu tahun sama kita," ucap Jordi.

Agam melipat lengan kemeja hingga ke siku. "Udah lo cek isinya? Anak brand udah pada tau?"

"Aman bos, mereka sih pada sanggup-sanggup aja. Soalnya kita juga cuma megang dua brand tahun ini, masih bisa lah kita handle," jelasnya.

Agam mengangguk paham, matanya bergerak untuk embaca isi MoU dengan teliti. "Ya udah, habis ini gue kabarin lagi." Lelaki itu melirik jam dinding. "Udah masuk jam istirahat. Sana pada makan," ujar Agam.

Jordi mengangguk sebelum kembali berjalan keluar, namun sebelum benar-benar berlalu, ia memberi sahutan singkat. "Btw, aura bos hari ini seger banget, habis ketemu bidadari dari mana tu?"

Mendengarnya membuat Agam tertawa. "Keliatan, ya?"

"Ceileh beneran ternyata."

Lalu saat pintu benar-benar tertutup, beberapa notifikasi dari grup mencuri perhatiannya. Saat dibuka ternyata itu ulah manusia-manusia udik.

Bibirnya melengkung ke atas. Ekspresi kesal tiga bocah udik itu sekelebat lewat dibayangannya. Agam yakin pasti di sana hujatan cinta tertembak mulus ke arahnya. Terlebih Rizal— yang pasti sedang gregetan ingin menghajar dirinya habis-habisan.

Agam tertawa ringan di atas kursinya. Tanpa perlu membayangkan raut jengkel ketiga temannya itu— wajah-wajah penuh kesal melintas begitu saja di depan pandangannya. Pria ini masih tampak fokus dalam melancarkan aksi untuk menggoda mereka bertiga.

Seakan dunia tengah berputar di sekitarnya, senyuman itu belum kunjung luntur dari wajah Agam. Kini ia bersandar pada kursi dengan santai, sesekali mengusap hidung untuk mengusir rasa salah tingkah.

Agam terbahak puas, kalimat-kalimat nyeleneh dari mereka semua berhasil menaikkan suasana hatinya hari ini. Masih melayang di atas perasaan bahagia.

Tiba-tiba pesan pribadi dari Kaila masuk, seakan memompa kencang udara di sekitarnya agar terus membuatnya melambung tinggi.

Agam terdiam beberapa saat, senyumnya semakin tidak karuan. Ia memutar kursi, dengan tangan yang bergerak sangat lincah di atas layar ponsel.

Mengubah username gadisnya dari emotikon musang, ke emotikon terpenting manusia. Tidak peduli jika kepergok yang lain, atau bahkan diolok-olok habis-habisan.

Karena faktanya— Kaila memang bagian terpenting dalam hidup Agam.

Ternyata, seperti ini rasanya saat berhasil memenangkan hati sang pujaan yang sudah lama didambakan.

🦋

Posisi matahari telah digantikan oleh kehadiran bulan purnama. Malam ini tumben-tumbenan langit Bekasi terlihat sangat cerah. Terdengar pula suara riuh di halaman belakang rumah Ilham. Mereka tampak heboh sendiri saat api menyambar daging yang diletakkan di atas pemanggang.

"Kalo rumah gue kebakar pokoknya kagak mau tau, gue bakal minta garansi ke lu pada. Satu orang 500 juta!" celetuk Ilham sambil mengibaskan gumpalan asap.

"Sebelum diminta udah gue bakar lu-nya sekalian," sahut Rizal yang terlihat sibuk mengatur posisi daging. Penampilannya kini persis abang tukang sate. Raut wajah itu juga tampak serius. "Udah mateng belom sih ini?"

"Belum ada lima menit dibakar, sabar napa," cetus Agam yang tengah mengoleskan bumbu barbeque.

"Hei para wanita. Enak bat ya cuma cekikikan disono," tegur Ilham.

"Ember~"

Sebastian menyahuti dari posisinya. Tadi sore, pria itu mampir ke rumah Kaila untuk membahas agenda awal mengenai butik. Karena keasyikan basa-basi, tau-tau langit sudah gelap. Kaila pun memiliki ide mengajaknya sekalian mengenal yang lain.

Ketiga pria itu mulanya kaget dan sedikit was-was, tapi setelah bercengkrama beberapa saat, barulah mereka mulai terbiasa. Ternyata Sebastian tidak seganas yang mereka bayangkan.

"Hei cyin~ ketimbang yey ngerumpi mending bantuin sini, tangan yey diliat-liat kekar bat tuh," ujar Rizal menyindir sambil mengikuti cara bicara Sebastian.

Sekar tergelak mendengar Rizal menirukan suara Sebastian.

"Maksud lo apa?" Sebastian berdiri, menatap Rizal dengan serius. Kali ini, suara normalnya keluar begitu saja— terdengar tegas. Semua orang di sana seketika diam tak berkutik.

Serem juga ya kalo mode normal...

Rizal yang tadinya penuh percaya diri, mendadak ketar-ketir. Ia memilih tertawa canggung. "Ya elah, Bas, gue cuma bercanda kali. Sensian lo, kayak lagi PMS bae," balas Rizal akhirnya.

"Ember~"

Suasana akhirnya kembali cair. Kaila muncul dari dalam, membawa selada yang sudah dicuci bersih. Langkahnya tiba-tiba terhenti ketika seseorang menahan dari belakang. Saat Kaila berbalik, ia mendapati Agam berdiri di sana, memperhatikan selada yang ia bawa.

"Kok bau sabunnya ketara banget? Lo cucinya pakai sabun berapa banyak?" tanya Agam dengan alis terangkat.

Gadis itu menggeleng, merasa tidak bersalah. "Enggak inget, pokoknya sampe bersih mengkilat," jujur Kaila sambil mendekap selada itu lebih erat.

Agam menepuk dahi, menahan sesuatu— gelak tawa atau rasa khawatir. Kaila mengernyitkan dahi menatap curiga. "Kenapa?"

Agam akhirnya menatap Kaila, meletakkan kuas saus yang ia genggam lalu mengambil alih selada dari tangannya. "Enggak papa, cantik. Entar paling yang makan cuma kliyengan doang gara-gara makan sabun," ujarnya bercanda sambil memeriksa selada itu.

"Emang cuci sayur enggak boleh pakai sabun? 'Kan buat ngilangin kotoran sama pestisida yang nempel. Gimana sih?" rutuk Kaila masih merasa tindakannya ini benar.

Agam membasahi bibirnya yang kering. "Bukan nggak boleh, cantikku. Tapi kalo sabunnya kebanyakan malah gantian sabunnya yang nempel di sayur. Coba deh sini cium," jelas Agam menyorongkan sedikit selada itu ke hidung Kaila.

Kaila mendengus kecil ia memang sudah tidak bisa membantah lagi. "Ya udah, sini biar gue aja yang kliyengan!"

Agam mengusap tengkuknya, bingung harus merespons bagaimana. "Eh enggak gitu dong konsepnya, cantik. Udah nggak papa, lagian gue juga lupa anak-anak 'kan perutnya pada kebal semua!" serunya tiba-tiba. "Seriusan nggak papa, Kaila. Lo nggak salah, gue yang salah di sini. Harusnya tadi gue inisiatif cuci sendiri, bukan malah biarin lo yang ngerjain. Udah ah purikan bener."

"Siapa juga yang ngambek!" Kaila cepat-cepat menyangkal.

"Itu ngambek," balas Agam cepat.

"Enggak," elak Kaila lagi.

Suara batuk kecil dari Ilham memecah konsentrasi mereka. Agam langsung melirik tajam ke arah Ilham.

"Pepet teros~ udah kali pacarannye, ini daging hambar rasanya ntar kalo kagak dikasih bumbu~" lontar Rizal dengan nada meledek.

Dari tadi mereka semua memang memperhatikan Agam dan Kaila. Godaan itu membuat Kaila salah tingkah, gadis itu buru-buru menggeplak kepala Rizal lalu berjalan ke arah Sekar dan Sebastian.

"Woi Kaila! Bener-bener lo ya!" seru Rizal kesakitan.

Agam yang mengoleskan saus ke daging pun menendang kecil bokong Rizal. "Mau ngapain lo? Kagak usah aneh-aneh."

"Lah, ngapa? Lu sape gue tanya? Lakinya juga bukan," celetuk Rizal, mencoba cari muka.

Namun belum ada satu menit berlalu, tangan kekar Agam sudah memitting leher Rizal membuat pemuda itu kelabakan. "Ngab, gue bercanda doang ngab! Sumpah bercanda!" ujarnya sambil menepuk lengan Agam.

"Ngomong apa lo tadi?"

"Bukan ape-ape Gam, gue bercanda doang tadi, suer."

Di bawah langit malam yang cerah, mereka saling melepas canda gurau. Menertawakan kehidupan seraya mengenang perjalanan persahabatan. Mereka semua menikmati momen singkat yang mulai terasa begitu berharga. Sebab mereka tahu bahwa momen seperti ini tidak akan selalu terulang.

Akan tetapi, sejauh apa pun mereka berkelana— rumah tetap akan selalu menjadi tempat mereka kembali pulang.

___________________

Note :

- Purikan : Ngambekan

__________

Jujur ini salah satu part favorit eike❤️💌 Gatel banget pengen upload cepet, tapi kan eike juga punya target~🤪

Kata eike mending siapin popcorn sama es teh dulu say~ udah mau masuk part-part yang jsnj6%#(gsj😵‍💫🤯

Reaction Rizal & Ilham kurleb begini : 😂

Share This Chapter