Back
/ 37
Chapter 31

30| The Current Season

The Apple of My Eye [COMPLETE]

Sebuah mobil terparkir rapi di depan Butik Douceur, butik yang dikelola dari nol oleh Ratna. Terletak di kawasan TB Simatupang, Jakarta Selatan.

Jarak tempuh dari rumah yang berada di Kota Bekasi ke butik memakan waktu kurang lebih satu jam, terbilang masih dekat, tidak begitu jauh. Paling-paling akan terasa lama karena terjebak macetnya Ibukota.

Pintu kaca terbuka berbarengan denting lonceng. Saat masuk ke dalam butik, mata akan langsung dimanjakan oleh ruangan dengan sentuhan dinding berwarna burgundy dilengkapi dengan pernak pernik keemasan.

Pada bagian sisi kanan, terdapat beberapa manekin yang tertata rapi. Dibalut dengan pakaian terbaru maupun pakaian terlaris. Sedangkan di sisi kiri, terdapat deretan item busana yang siap untuk digotong oleh para pembeli.

Butik ini sangat luas. Terdiri dari dua lantai, di mana lantai satu tempat pembeli bisa berbelanja, ada pula akses pintu menuju gudang produksi di bagian belakang. Sedangkan di lantai atas, murni sebagai kantor karyawan.

Kaila melangkahkan kaki menuju lantai atas, mata akan langsung disuguhkan dengan petakan-petakan ruang kerja karyawan. Sebelumnya hanya ada dua tim yang dikembangkan oleh Ratna. Tim Produksi dan Tim Pemasaran.

Tim Produksi bekerja dengan fokus menjahit semua pakaian yang sudah didesign langsung oleh Ratna. Sekaligus mensortir pakaian yang akan ditampilkan di butik.

Sedangkan Tim Pemasaran, fokus pada pemasaran serta penjualan online, mengelola sosial media untuk mengiklankan produk, serta mengelola situs belanja online.

Kaila dan Sebastian sepakat untuk menambah satu tim lagi dalam butik mereka. Tim Design, yang fokusnya mengeluarkan ide-ide pakaian trendi kekinian dan tentunya layak untuk dijual belikan.

Lalu hari ini mereka akan mengadakan pertemuan singkat. Sederhananya Kaila akan menjelaskan beberapa rencana yang ingin ia kembangkan pada butik Ibunya ini kepada seluruh karyawan agar bisa bekerja sama dengan dirinya dan tentu saja untuk menghindari miss comunication antar satu sama lain. Karena bagi Kaila, komunikasi adalah hal paling penting agar planning yang ingin dilakukan dapat berjalan lancar.

Gadis itu meletakkan tas di atas meja, lalu melepas blazer untuk digantung di gantungan stand, kini tubuhnya mempelihatkan kemeja berwarna biru muda yang sangat cocok di kulitnya.

"Bas, udah lo posting belum ke sosial media tentang rekrutmen kita?" tanya Kaila saat melihat Sebastian masuk ke dalam ruangannya.

"Belum wak, kenapose?"

Kaila mengelus dada. "Syukurlah, ada yang mau gue revisi, tentang batas usia minimal dan maksimal kita. Itu dihapus aja ya, menurut gue mau muda atau tua kalau punya passion di bidang yang kita cari nggak akan jadi masalah."

Sebastian duduk di sofa. "Ciyus nih, wak?"

"Iya serius, tolong buruan direvisi ya, Bas," ujar Kaila.

Gadis itu lantas mulai membuka website butik, netranya mulai mengamatinya pelan-pelan. Baru setengah mendalami website, gadis itu tiba-tiba menghela napas. "Pantesan store online sepi, katalog yang ditampilin berantakan banget. Kenapa Ibu nggak minta tolong gue aja, sih?" tanyanya ntah pada siapa.

"Namanya juga orang tua wak, sungkan minta tolong anaknya, tekotek nyusahin wak yang lagi di luar, " timpal Sebastian.

"Gue sekolah jauh-jauh keluar juga 'kan biar ilmunya bisa dimanfaatin sama nyokap," ucapnya dengan mata yang fokus menatap layar komputer. Lantas mencatat dalam buku catatan mengenai hal-hal yang perlu ditambah dan dihilangkan.

Dari tempatnya, Sebastian hanya mengamati raut serius dari Kaila. Begitulah cara gadis itu bekerja, dikit-dikit ngomel, apalagi jika sudah memakai kacamata— itu pertanda bahwa banyak celah kekurangan yang harus ia tandai di sana. Untung saja ruangan ini full kaca, setidaknya bisa menutup aura gelap di sekitar Kaila.

🦋

"Hari ini jadwal mereka photoshoot, 'kan? Kok jam segini belum dateng?"

Suasana tegang terpancar jelas di sekitar mereka. Terlebih bagi Tim Brand, mereka bahkan terlihat bolak balik berusaha menghubungi seseorang.

"Katanya lagi di jalan bos," jelas Jordi.

"Rumahnya di mana?" tanya Agam.

"Di daerah Kemang bos," jawab salah satu dari Tim Brand.

Agam melengos. "Jarak Kemang ke Kuningan emang tembus 4 jam?"

Tidak ada yang menjawab, mereka hanya diam sambil sesekali saling pandang satu sama lain. Hari ini jadwalnya photoshoot dari brand yang tempo hari mengajak kerja sama. Sepakat bikin janji pada pukul sebelas siang, namun hingga pukul dua siang ini belum juga terlihat hilal kehadiran sang model.

Saat hendak kembali ke ruang kerja, seorang wanita cantik berjalan ke arah mereka. "Sorry telat," katanya.

Kalau saja bukan partner kontrak, jelas saja bakal Agam hardik habis-habisan. Anak-anak dari Tim Brand langsung mengarahkan si model untuk bersiap dan sekarang Agam masih harus menunggu lagi untuk make up dan mengganti pakaian.

"Biar gue aja bos yang fotoin," tawar Jordi.

Agam menggeleng. "Biar gue aja."

Jordi pun mengangguk paham lantas langsung bergegas menyiapkan alat tempur di sana. Dari kamera hingga settingan lampu tembak. Begitupun Agam yang juga ikut memeriksa settingan kamera yang akan dipakai.

Hampir satu jam akhirnya sang model pun siap. Jordi mengarahkannya untuk berdiri di titik yang sudah sesuai dengan focal length mereka. Kemudian Agam mulai mengarahkan kamera. Bagai memiliki berbagai macam kepribadiann, saat ini Agam kelihatan lebih serius dari sebelumnya.

Ada istilah yang tanpa sengaja dicetuskan oleh para karyawan jika kamera sudah berada di depan wajah pria ini— elang yang siap mencangkram kelinci di atas perbukitan. Begitu julukannya.

"Agak nyerong ke kiri.. oke."

Suara bidikan terdengar, sesudah itu terdengar kembali suara yang memberikan arahan berbeda.

Tanpa sadar satu jam setengah berlalu. Pemotretan berakhir mulus walau tadi sempat ada sedikit drama di pertengahan. Agam membersihkan lensa kamera sebelum menutupnya.

"Agam."

Laki-laki itu merasa terpanggil, ia membalikan tubuh dan mendapati Diandra— model dari brand ĀLMA berdiri di depannya. Agam diam, tak menunjukan ekspresi apapun, tapi ketara bahwa ia sedang melemparkan tatapan bertanya.

"Can we talk? Sebentar aja."

"Let's say what you wanna say," balas Agam sambil melanjutkan kegiatannya.

Diandra berdehem pelan, mengamati sekitar yang juga pada sibuk sama kegiatan masing-masing. "Maaf kalo aku telat di pemotretan pertama ini. Tadi aku nggak sengaja denger dari salah satu karyawan— you mad at me?"

Helaan napas berat lolos dari mulut Agam. "No biggie karena ini baru di jadwal pemotretan awal. Tapi gue harap itu nggak akan ke ulang lagi. Sorry to say it but, yang punya kesibukan itu nggak cuma lo aja, atau paling enggak, kalau berencana telat karena satu dan lain hal tolong kabarin tim gue jauh-jauh hari. I couldn't care less about your schedule, kalau jadwalnya udah disepakati tolong ditepati. Kita udah sama-sama tanda tangan kontrak buat kerja sama selama setahun. Jadi tolong kerja samanya, I meant it."

Diandra pada akhirnya diam memperhatikan dalam-dalam. Rumor di antara para model benar adanya, bahwa kharisma fotografer satu ini tidak mampu ditolak oleh mata. "Sekali lagi aku minta maaf. Janji nggak akan ngaret. Buat nebus kesalahan hari ini, gimana kalau aku traktir keluar?" tawar Diandra.

"Sorry tapi gue udah ada janji lain habis ini," ujar Agam sambil meletakkan kameranya. Diliriknya jam tangan lalu kembali melirik Diandra. "Gue duluan, keburu macet," ucapnya.

"Guys gue balik duluan ya, thanks for today," pamit Agam pada anak-anak studio.

"Siap bos! Hati-hati di jalan," sahut mereka.

Di tempatnya, Diandra hanya bisa diam memandang kepergian Agam yang semakin menjauh, hilang dari pandangan.

🦋

Mobil sedan itu terlentang angkuh di depan butik Kaila. Tadi saat Kaila mengatakan bahwa mobilnya bocor, maka dengan senang hati Agam menawarkan bantuan untuk pulang bersama. Langkah itu dengan semangat turun dari mobil, masuk ke dalam butik yang ternyata sangat elegan.

"Hai," sapa Agam yang melihat Kaila turun dari lantai atas.

"Kok udah nyampe aja? Perasaan tadi baru bilang otw," heran Kaila.

Lelaki berkemeja hitam tersebut memainkan kedua alis sambil menyengir lebar. "Udah dibilangin juga, lembah Harau aja bisa gue lewati, apalagi jalanan Ibukota yang nggak seberapa ini."

Kaila mendengus geli, kakinya berjalan untuk mematikan lampu butik. Jam kerja mereka hanya dari pukul delapan pagi sampai tujuh malam dan Kaila lah yang akan menjadi orang terakhir keluar dari sana. Agam mengambil alih blazer dan tas milik Kaila, tentunya membuat Kaila kaget untuk yang kesekian kali atas perlakuan Agam yang selalu diluar dugaan ini.

Setelah mengunci pintu butik, mereka berdua berjalan menuju mobil. Dengan cekatan Agam membuka pintu untuk Kaila. "Mau makan apa?" tawar Agam saat pintu mobil belum ditutup.

"Terserah," balas Kaila santai.

Agam menghentikan aksinya seakan sedang menginjak sebuah ranjau. Mendengar pernyataan mematikan dari bibir perempuan membuat Agam digerayangi oleh perasaan deg-degkan. Takut jika salah langkah. Pria ini akhirnya menutup pintu dan berjalan mengitari mobil untuk masuk ke kemudi.

"Coba tebak, gue hari ini mau ngajak lo makan ke mana?" tanya Agam yang kini sudah berada di dalam mobil.

Gadis tersebut mengerutkan dahi. "Nggak tahu."

Agam meringis pelan. Tips dan trik yang ia dapatkan di sosial media untuk menghindari pertanyaan 'Terserah' ternyata tidak berjalan dengan dengan sebagaimana mestinya.

"Emang lo mau ngajak makan ke mana?"

"Ayo coba lo tebak dulu," pancing Agam lagi sembari memakaikan Kaila seatbelt.

"Makan steak?" tebak Kaila langsung.

Seketika binar di mata Agam terpancar. Kedua ujung sudut bibirnya sudah tertarik sempurna ke atas, kemudian Agam memberikan jarak untuk melihat Kaila penuh takjub. "Lo bisa baca pikiran gue, ya?"

Kaila tertawa renyah. "Emang beneran? Gue cuma nebak doang."

Diam-diam hatinya berseru. "Keren banget bisa nebak gini," puji Agam lagi. "Mau 'kan makan steak?"

Gadis tersebut mengangguk semangat. "Mau."

Selama di perjalanan, lagi-lagi mereka ditemani oleh lagu kebangsaan Agam— lagu dari Twice. Tapi ada yang aneh dari Agam, pria ini tidak terlihat antusias. Pandangan pria di sebelahnya seperti orang yang badmood tapi harus dipaksa untuk goodmood. Kaila yang selalu peka terhadap perubahan sikap Agam tentu menyadari itu.

"Lo kenapa?" tanya Kaila.

Agam menoleh sekilas. "Emangnya gue kenapa?"

Gadis tersebut mengangkat bahu, masih memperhatikan wajah Agam yang tampak kusut. "Gue nggak tau apa yang terjadi sama lo hari ini, makanya ini gue nanya, soalnya muka lo keliatan kusut."

Agam terdiam sejenak, merasa enggan untuk membahasnya. Namun Kaila juga tidak bisa tinggal diam, gadis ini menatap Agam berusaha untuk berucap hati-hati. "Let me know, Agam. What happened today? I'm all ears." Suaranya terdengar lembut penuh empati.

Agam menghela napas panjang, matanya fokus menatap jalan di depan. "Sebenernya seharian ini gue habis nahan kesel sama salah satu model kerja. Bayangin deh Kai, berjam-jam gue nungguin dia, terus pas dateng masih harus nunggu dia dandan dan ganti baju lagi. Waktu gue banyak kebuang sia-sia."

Kaila menatap Agam dengan seksama, memperhatikan ekspresi kesal di wajahnya. "Pasti bete banget." Kaila berkata sambil mengangguk tipis. "Tapi— bisa jadi rumahnya jauh?"

Meskipun masih ada raut kesal di wajahnya Agam tetap terkekeh di kursi kemudi. "Kaila sayang, Kemang ke Kuningan berapa lama, sih? Itu mah emang dianya aja yang kayak siput, dikira gue ini fotografer gabutan apa."

"Oh, jadi lo beneran super sibuk, ya?"

"Iya, lah, di studio itu segambreng kerjaan yang masuk," jawab Agam.

Kepala Kaila mengangguk pelan merasa sedikit lebih paham. Setelahnya ia kembali menatap Agam. "Tapi kok masih sempet kirim surat tiap bulan?"

Agam melirik ke Kaila sesaat. "Mulai.. ungkit aja terus. Lagian setiap tanggal 10 emang sengaja gue kosongin cuma buat lo doang," jujurnya.

Garis bibir gadis itu tidak kuasa untuk tidak tertarik ke atas membentuk senyuman manis. Meski situasi pemuda itu sedikit berat, Agam masih bisa memberikan pernyataan hangat yang membuat Kaila merasa tersentuh.

"Terus lo hari ini gimana? Lancar kerjaannya?" tanya Agam.

Kaila bersandar pada kursi sepenuhnya, merenung sejenak. "Banyak banget yang harus di upgrade. But it's ok, niat gue buat lanjutin usaha Ibu 'kan salah satunya juga untuk itu."

Agam menoleh sejenak dengan ekspresi yang berubah serius. "Lo butuh bantuan, nggak? Atau ada yang bisa gue bantu?" tawarnya penuh perhatian.

Gadis tersebut menggeleng samar, merasa cukup nyaman dengan apa yang sudah dilakukan. "Aman kok, masih bisa ke handle sama yang lain."

"Kalo butuh apa-apa kasih tau gue, ya? Kalo bisa lo manfaatin cowok lo ini sesuka lo. Semua gue kasih, Kai, inget 'kan kata-kata gue?" Agam menyampaikan tawarannya dengan tulus, menekankan bahwa ia selalu ada untuk Kaila kapan saja.

"Stt..." Kaila memerintahkan untuk diam, takut jika Agam akan melontarkan slogan yang mematikan itu. "Iya-iya ntar kalo butuh apa-apa gue kasih tau kok."

"Kai," panggil Agam lembut.

"Kenapa?"

"Pakai aku-kamu, yuk?"

"Ih nggak mau ah, aneh banget, Gam," tolak Kaila.

Wajah Agam tertekuk. "Oh gitu, aneh.. tapi sama Jake dulu nggak aneh tu?"

"Ish, itu kan—"

"Apa?"

Kaila berdecak yang kemudian menutup wajah, belum apa-apa saja dirinya sudah malu duluan. Perjalanan mereka diiringi oleh lagu I Can't Stop Me milik Twice. Di bawah langit yang dihiasi ribuan bintang, mobil mereka melesat menyusuri jalanan dengan diisi gurauan canda yang terlempar dari satu sama lain.

Walaupun masih merasa seperti mimpi karena menjalani momen yang tak pernah terbesit di kepala, tidak akan mengubah fakta bahwa kini— mereka memang merupakan sepasang kekasih.

____________________

Ululululuuuuu👄👀

Tebak tebak jinggoww reaction :

Share This Chapter