Back
/ 37
Chapter 34

33| End of The Road

The Apple of My Eye [COMPLETE]

Yunani adalah negara yang dihuni oleh dewa dewi dan selalu dipenuhi dengan cerita cinta.

Salah satunya adalah kisah cinta Odysseus dan Penelope— merupakan sepasang suami istri. Perang menyebabkan mereka berpisah selama dua dekade, namun pada akhirnya, setelah melewati puluhan purnama. Odysseus dan Penelope kembali berkumpul bersama, bahkan ditemani seorang putra.

Manakala cerita ini terdengar, keinginan untuk memiliki kisah yang serupa jelas akan bersorak, bersatu dengan sang pujaan hati untuk hidup bersama selamanya sampai akhir hayat.

Siapa yang tidak mau?

Termasuk wanita yang kini menyesap cokelat hangat dengan tenang. Membaca halaman ke halaman. Dari ruang kerjanya, sesekali pandangan itu terlempar ke arah luar jalanan yang dibasahi air hujan.

Kebanyakan orang akan selalu suka dengan hujan deras. Entah karena mambawa ketenangan atas riuhnya rintik yang berjatuhan, atau mungkin karena hawa dingin yang menyapa diri.

Tampak mata hazel itu mengerjap pelan seolah menikmati apa yang sedang ia lihat saat ini. Di penghujung hari menuju akhir pekan ini, pria yang masih bisa merecokinya dari jauh itu akan pulang dari Lombok.

Niat awal yang ingin menghabiskan waktu satu minggu penuh di sana ternyata hanya mampu ia lewati 6 hari saja.

Selama mendaki, Agam masih menyempatkan diri untuk berbagi kabar walaupun tidak pernah diminta. Setiap ada sinyal, dengan cepat ia membagikan pap foto, voice note, rentetan pesan, semua diborong oleh pemuda tersebut. Tujuannya, agar Kaila selalu mengetahui gerak geriknya di sana.

Tiba-tiba satu pesan dari Agam masuk, mengatakan bahwa ia akan take off sebentar lagi. Lantas segera Kaila balas lalu ia kembali melanjutkan kegiatan membaca yang sempat teralihkan.

Saat ingin meletakkan ponsel, getaran panggilan video masuk dari seseorang yang berhasil menduduki isi kepalanya setiap hari. Kaila meletakkan novel di atas meja, kemudian menekan tombol hijau.

"Katanya tadi udah mau take off?"

"Nanti kamu beneran mau jemput aku, 'kan?"

Kaila memijat pelipis, lelah akan pertanyaan yang sudah ia dengar puluhan kali sejak tadi malam. "Sekali lagi nanya, kamu pulang naik angkot aja, deh."

Tampak Agam tertawa pelan. "Kangen deh liat mode hulk gini, coba dong gantian bilang kangen juga."

Kaila mendegus pelan, masih belum terbiasa mendengar godaan-godaan tipis seperti ini. Diperhatikannya layar ponsel itu lamat-lamat, sampai akhirnya suara pilot terdengar samar-samar.

"Itu udah mau take off, aku matiin ya telponnya."

"Eits, sebutin dulu dong passwordnya "

Gadis itu tidak menggubris. "See you at airport."

"Yeeh cupu, bilang kangen doang bawaannya udah kayak mau minjem sertifikat tanah. Ya nggak, Pak?" Agam tiba-tiba mengajak pria paruh baya di sebelahnya untuk berbicara.

"Tuh dengerin, bapaknya aja bilang iya. Liat aja nanti bakalan aku cecar kamu sampe berhasil bilang kangen," ujar pria di seberang sana sambil tersenyum jahil.

"Udah ih, jangan kayak gitu, aku yang malu liatnya. Teleponnya aku matiin, ya, pokoknya jangan lupa baca doa sebelum take off. See you!" Kemudian gadis itu benar-benar memilih untuk menekan tombol merah.

Sejak pulang dari Bandung, entah kenapa rasanya ada perasaan aneh yang senantiasa menempel di dalam diri Kaila, membuat ia merasa tidak percaya diri seolah tidak layak berada di sebelah Agam. Terbukti dengan kejadian barusan, hal se-sederhana membalas perlakuan Agam saja— rasanya belum bisa ia berikan dengan porsi setimpal.

Hal itu tentu mengusik pikirannya, lebih-lebih karakter mereka berdua sangat jauh berbeda. Ingin memberikan perlakuan serupa, namun itu bukanlah sesuatu yang mudah bagi Kaila.

Masih ada seutas tali yang mengikat di sana, membuat Kaila tidak bisa serta merta membeberkan secara tumpah ruah apa yang sedang ia rasakan. Sejujurnya, perasaannya ini sangat sulit untuk dijabarkan.

Tapi yang pasti, apa yang sedang pria itu rasakan, juga turut gadis ini rasakan.

🦋

Setelah satu setengah jam lebih ia menghabiskan waktu istirahat makan siang, kaki yang dibalut highwaist denim itu melenggang santai ke lantai atas diikuti oleh Nadin dan Sebastian. Raut heran muncul saat melihat beberapa anak timnya bergerombolan di depan televisi kantor.

"Waduh, ada apose? Beritong cerai berai lagi?" kepo Sebastian dari balik tubuh Kaila. Karena juga ikut penasaran. Kaila hendak berjalan mendekati gerombolan karyawan, akan tetapi saat melihat Bu Maya keluar dari sana membuat ia mengurungkan niatnya.

"Berita apa tuh, Bu? Kok heboh banget?" tanya Kaila.

"Itu barusan ada kecelakaan pesawat. Ya Allah nggak kebayang sam—" Kalimat itu terpotong saat Kaila berlari membelah desakan di depan televisi.

Bak dihantam benda tumpul, kaki Kaila tiba-tiba lemas. Kalau saja tidak ada karyawan yang cepat menahan kedua lengannya, sudah dipastikan ia akan jatuh menyeluruh ke lantai.

Wajah gadis itu pias bersamaan dengan gemuruh hebat yang menyelimuti perasaannya.

"Wak.."

Suara Sebastian terdengar, menyadarkan Kaila kembali dari lamunannya. Gadis itu melirik jam dinding. "Ah iya, gue harus ke Bandara, gue lupa kalo ada janji buat jemput Agam."

"Wak.."

Mereka semua saling melempar tatapan bertanya, bingung, karena hanya Sebastian yang tahu kalau hari ini adalah hari kepulangan Agam dari Lombok.

"Ayo sama eike wak," tutur Sebastian mengekor di belakang Kaila yang kini turun dengan tergesa-gesa. "Amsyong, wak!" kaget Sebastian saat melihat gadis itu tersandung kakinya sendiri di tangga.

Kaila menjadikan pembatas tangga sebagai penopang untuk kembali berdiri. "Enggak Bas, semalem Agam udah nitip pesan, buat jemput dia sendirian aja," ujarnya sambil melangkahi dua anak tangga sekaligus untuk turun.

Laki-laki itu memandang ke arah luar, hujan deras kembali membasahi bumi. "Wak tapi ini lagi hujan deres, biar eike aja yang nyetir," tegurnya sambil menahan lengan Kaila.

"Enggak papa."

"Tapi—"

"BISA NGGAK SIH, BAS, BIARIN GUE PERGI SENDIRI?" sentak Kaila.

Deru napas yang membabi buta, bola mata yang mulai memerah. Ini kali pertama bagi Sebastian melihat Kaila kehilangan kendalinya. Tidak peduli dengan puluhan pasang mata yang menatap mereka dengan tatapan bingung, gadis itu melepas cekalan tangan Sebastian dan langsung keluar butik tanpa memakai payung.

Tidak lama kemudian roda mobil tersebut berputar dengan cepat, meninggalkan mereka dengan rapalan-rapalan positif.

Dan selama di perjalanan, Kaila berkali-kali menelpon sang empu nomor yang dituju. Sudah memasuki panggilan kelima namun nomor tersebut belum kunjung aktif, tanpa sadar tangannya menjambak rambut sekilas.

Masuk ke panggilan baru, Kaila mengirim pesan suara. "Aku udah di jalan mau ke bandara, Gam, angkat telponnya atau aku enggak bakal izinin kamu pulang bareng sama aku!"

Sambil menunggu balesan pesan suara tersebut, berulangkali ia mencoba untuk memberikan sugesti positif ke dalam pikiran.

Everything will be ok.

Agam pasti lagi ngambil koper di bagasi.

Lontaran itu terus terputar hampir setengah jam, saat ini mobil yang ia bawa terhenti sempurna di pelantaran parkiran bandara. Kaila sengaja tidak langsung turun, dari balik kaca mobil, netranya mendapati keramaian yang mulai berdesakan di sana.

Rentetan pesan dan panggilan masuk silih berganti.

Tidak ingin berlama-lama berdiam diri, Kaila turun dari mobil dan berlari memasuki lobi bandara. Dengan pakaian setengah basah, rambut yang berantakan, langkah gontai itu membawanya untuk menghampiri keramaian.

"Anak saya ada di sana!"

"Gimana kita bisa tenang, Pak?! Istri sama anak saya ada di pesawat itu."

"Tolong bilang kalau suami saya selamat!"

"Harusnya orang tua saya sudah sampai dari tadi!"

Riuh dari sahutan-sahutan mereka berhasil membuat telinganya berdengung kencang.

"Pak, Bu, saya tahu pasti tidak akan bisa tenang saat TV sudah mengeluarkan berita-beritanya. Tapi saya mohon dengan sangat, mari sama-sama berdoa untuk keselamatan para penumpang, hanya itu yang bisa kita usahakan saat ini. Pihak bandara juga sedang berusaha keras menghubungi maskapai. Tim SAR juga sudah turun ke lapangan. Jadi saya harap, doa dari Bapak dan Ibu jangan pernah putus sampai kita mendengar kabar baik dari sana."

Kalimat dari petugas bandara serta nama list penumpang yang ditampilkan di layar pemberitahuan berhasil membuat Kaila terkesiap. Ponsel di genggaman Kaila jatuh begitu saja.

56. Agam Pradana

Dengan mata yang mulai mengabur, gigi yang bergemelatuk, gadis itu menahan seluruh desakan yang ingin keluar dari tempatnya. Menolak mentah-mentah akan kenyataan pahit yang sedang terjadi saat ini.

"Kaila?"

Kaila mendongak, mendapati Desi dan Bambang yang berdiri di hadapannya. Tidak butuh waktu lama, bahu itu mengendur, Kaila menangis sejadi-jadinya di sana.

🦋

Waktu terasa sangat lambat, saat ini jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah empat sore. Koridor rumah sakit dihujani dengan derap langkah yang menggebu-gebu. Tadi, setelah Bambang mendapatkan informasi bahwa korban yang berhasil diselamatkan akan dibawa menuju rumah sakit yang tak jauh dari sana— dengan cepat mereka bergegas kemari.

Saling melempar doa agar mereka termasuk ke dalam golongan orang-orang yang mendapat keajaiban dari Tuhan.

"Anak saya di mana, Sus?" tanya Desi.

"Bu tenang ya, Bu. Kita usahakan Ibu akan bertemu dengan anak Ibu. Tapi sekarang ada banyak sekali pasien yang berdatangan. Biarkan para Dokter memeriksa mereka dahulu, saya mohon agar Ibu untuk tenang sebentar," jelas Sang Suster.

Desi menggeleng histeris. "Saya mau ketemu anak saya sekarang, Sus!"

"Desi, kita ikuti apa kata suster, ya," tegur Ratna sembari memeluk Desi dari samping, berusaha menguatkan dan menenangkan.

"Agam, Rat.."

"Agam pasti baik-baik aja, Des, anak kamu itu kuat dan kamu tau itu," tuturnya, kemudian menuntun Desi untuk duduk di kursi yang ada di ruang tunggu.

Sedangkan tak jauh dari sana, Kaila kembali terisak di tempatnya. Pikiran yang sudah tidak bisa diajak kerja sama itu menggerogoti batinnya secara membabi buta. Baik Sekar maupun Sebastian juga turut menangis melihat Kaila yang sangat tampak kacau.

Rizal dan Ilham pun sama, mereka berusaha saling melempar kekuatan pada Bambang yang saat ini terdiam dengan tatapan menyiratkan rasa sakit yang teramat dalam seolah sengaja ditahan agar tidak memperkeruh suasana.

Dua pasien baru tiba, buru-buru mereka menghampiri untuk melihat siapa gerangan yang datang.

"Ada pasien!" lapor perawat sambil mendorong crank.

"Lewat sini!" seru salah satu dokter jaga.

"Itu Agam!"

Satu kata yang berhasil keluar dari mulut Rizal membuat atensi mereka teralihkan. Desi sontak menangis histeris kala melihat anak laki-lakinya terlihat mengenaskan dengan keadaan tidak sadarkan diri dan leher yang dipasang penyangga. Laki-laki itu langsung dibawa masuk menuju ICU.

Dari 167 penumpang, 6 di antaranya mengalami cedera yang serius akibat pesawat mendarat darurat di tengah perkebunan, termasuk Agam.

Hampir lima menit di sana, tampak salah satu suster juga menghampiri Bambang. Meminta persetujuan untuk tindakan operasi darurat yang harus disetujui oleh pihak keluarga.

Agam kembali dibawa menuju ruang operasi. Diikuti mereka semua.

"Keluarga hanya boleh mengantar sampai sini saja. Mohon pengertiannya."

Pintu ruang operasi tertutup sempurna. Tidak sanggup lagi untuk berdiri, tubuh Desi jatuh terkulai lemas. "Ya Allah Desi!" seru Ratna kaget bukan main, dengan bantuan para anak laki-laki, Desi akhirnya digotong menuju UGD untuk penanganan lebih lanjut.

Situasi yang teramat berantakan ini terekam jelas di dalam kepala Kaila. Gadis itu menggelengkan kepala berkali-kali bersamaan dengan seru napas semakin tidak beraturan. Air mata yang tidak henti-hentinya turun membasahi pipi. Sungguh, ia tidak mampu berbuat apa-apa lagi selain menangis.

Tenaganya dikuras habis-habisan, Kaila terduduk lesu di atas lantai dingin rumah sakit. "Agam pasti— selamat, 'kan?" tanya Kaila parau dengan kilatan gelisah yang tertahan.

Sekar mengangguk tegas, menepuk pelan punggung gadis itu berkali-kali. Semuanya terlalu cepat berlalu tanpa meninggalkan jeda penjelasan atas alasan mengapa mereka harus melewati kejadian mengerikan seperti ini.

Tidak lama, Ratna kembali datang menghampiri Kaila, berjongkok, alu memeluk anak sematawayangnya dengan tenang. "Enggak papa, sayang, Agam pasti nggak papa."

Sore itu, perasaan-perasaan yang sengaja ditahan oleh Kaila meledak. Sebagaimana kata Agam beberapa tahun silam— bahwa granat tangan tetap akan melukai, walaupun status kita adalah sang pemilik asli.

Dalam hitungan detik gadis itu sudah membenamkan diri di balik tubuh Ratna. Tergugu tanpa ampun, begitu juga dengan yang lain. Di depan ruang operasi, mereka terpuruk dengan caranya masing-masing. Melangitkan puluhan doa, melepaskan rasa pasrah kepada Sang Pencipta. Berharap agar doa mereka terhunus tepat sasaran.

🦋

Operasi berhasil dilalui para dokter dengan memakan waktu kurang lebih hampir 3 jam lamanya.

"Pasien mengalami cedera pada leher serta trauma pada abdomen akibat benturan keras di bagian perut. Alhamdulillah, pasien berhasil melewati operasi dengan lancar. Setelah ini pasien masih kita awasi di ruangan ICU untuk recovery, jadi belum kita izinkan untuk menjenguk secara langsung selama beberapa jam ke depan."

Helaan napas lega dan seruan syukur lolos begitu saja dari mulut mereka yang mendengarnya, kecuali gadis yang kini tampak pucat. Akibat terlalu banyak menangis, cekungan mata itu terlihat begitu sayu. Sorot tatapan yang kosong, juga membuat siapapun pasti akan menatapnya penuh iba.

"Kapan saya bisa liat anak saya, Dok?" tanya Desi.

Sang dokter melepas masker. "Kita tunggu hingga 4 jam ke depan ya, Bu. Untuk sementara keluarga bisa melihat dari luar ruang ICU, saya harap kita bisa bekerja sama untuk sama-sama mendukung pemulihan pasien."

"Nggak papa ya, Bun. Kita liat dari sini aja," kata Bambang sembari memeluk hangat istrinya.

Dinginnya suhu di rumah sakit serta kalimat dari sang dokter membuat atmosfer di koridor ruang operasi terasa semakin dingin. Sejujurnya Kaila sangat ingin bertemu, namun ia sadar ia tidak bisa melakukan apa-apa selain mengikuti peraturan yang ada. Dan— selama Agam tidak apa-apa, selama itu pula hidup Kaila juga baik-baik saja.

Suara derap langkah mengalihkan tatapan mereka. Haikal— datang dengan napas yang tergopoh-gopoh, sontak Rizal berjalan mendekat, memeluk Haikal sesaat. "Bang, Agam selamat, Bang."

Lagi, seruan syukur menggema di sana. Haikal mengusap wajah yang sempat terlihat gusar lalu menyapa yang lain sesaat.

"Adik kamu, Kal," ujar Desi tersendat.

Haikal lantas memeluk Desi. "Everything will be okkay, Bun. Agam itu kuat, dia pasti bisa melewati ini semua. Bunda jangan nangis, ya?"

Desi mengangguk lemah sembari membalas pelukan Haikal. Ratna yang berada di sana mengelus lengan Haikal sesaat sebelum melangkah menuju sang putri. "Kaila, kita pulang dulu, yuk? Baju kamu lembab banget, kita pulang ganti pakaian dan makan sebentar."

Kaila menggeleng lesu. "Aku mau di sini aja, Bu."

"Nanti kamu sakit, nak. Kita pulang sebentar aja kok. InsyaAllah nggak papa, masih ada Rizal sama yang lain," tutur Ratna.

Sekar dan Sebastian merangkul hangat Kaila, turut menguatkan ucapan Ratna. Perlahan tapi pasti, mereka berhasil membujuk dan menuntun gadis itu untuk pulang ke rumah.

🦋

Pukul sembilan malam, Kaila kembali ke rumah sakit bersama Sebastian. Sekar berhalangan hadir karena bertepatan dengan jadwal jaga malamnya.

Dari balik jendela kaca Kaila menatap nanar tubuh yang kini terbaring dengan tenang. Ditemani dengan suara monitor, ventilator yang membantu pernapasan serta penyangga kolar pada leher, membuat Agam tampak tidak berdaya di sana.

Sempat mendengar penjelasan lebih rinci dari Rizal tentang kondisi Agam, membuat Kaila tanpa sadar menahan sesak di dada, turut membayangkan seberapa kuatnya laki-laki itu menahan berbagai cedera di sana.

Bambang dan Desi keluar dari ruang ICU setelah tadi dokter sudah memperbolehkan untuk menjenguk. Bambang berjalan ke arahnya, pamit pulang sebentar ke rumah untuk mengemasi keperluan mereka selama di rumah sakit. Bambang juga mempersilahkan Kaila untuk masuk menemani Agam di dalam.

Tidak ada penolakan, gadis itu masuk dengan dilapisi pakaian steril. Duduk tepat di sebelah Agam. Sesekali jemarinya mengelus tangan Agam yang terasa dingin. Dengan hati-hati ia menggenggam erat jemari pria tersebut.

"Kamu harus bangun ya, Gam. Katanya mau denger aku ngomong kangen?"

Dadanya mendadak terasa sesak saat menyadari kalimat barusan. Tanpa sadar air mata itu kembali jatuh. "Maaf ya kalo aku masih suka gengsi ke kamu. Maaf kalo aku masih suka marah-marah." Kaila menarik napas dalam. "Maafin aku juga karena sempet mikir kalau aku bakal baik-baik aja tanpa kamu. Tapi ternyata— buat bayangin kalau hidup aku nggak ada kamu aja rasanya sakit. Sesayang itu sama kamu, Gam. Bangun, ya?"

Dengan tangis yang belum mereda. Kaila menjatuhkan keningnya ke tepi kasur. Menyalurkan perasaan yang seharusnya sudah ia bagi sedari awal. Kemudian kembali mendongak. Menghapus jejak air mata. Memandang wajah yang tampak tenang. Dengan tangan kekar sang empu yang ditempelkan ke pipi kiri.

"Ternyata— kamu beneran diem dan tenang kalau lagi tidur," ujarnya saat mengingat ucapan Agam dulu saat Kaila memerintahkannya untuk diam.

Hanya suara dari monitor yang membalas setiap perkataan gadis ini. Mata Kaila kembali mengabur. Bahunya kembali merosot. Lagi. Ia menangis dengan suara tertahan.

"Tapi aku nggak suka kalau kamu jadi diem gini, Gam."

Kaila tidak pernah sadar. Bahwa di depannya. Sudut mata Agam juga meneteskan air mata. Dengan jiwa yang berusaha memeluk raga dari gadis rapuh ini.

____________________

Yaelah mau bahagia susah bener🥲🥲🥲🥲

Kata-kata hari ini :

Share This Chapter