Back
/ 37
Chapter 10

9| The New Chapter

The Apple of My Eye [COMPLETE]

Kepulan asap rokok mengudara di atas rooftop sekolah, menciptakan nuansa yang suram di bawah langit mendung gelap. Cuaca siang ini sangat pas untuk menjadi latar video klip lagu galau. Setiap hembusan angin membawa aroma nikotin yang menusuk seolah melengkapi suasana yang semakin dirasa berat.

Batang rokok yang sudah tinggal setengah dari ukuran awalnya itu dibuang dengan gerakan malas ke lantai semen yang retak. Jejak-jejak waktu memudar di setiap sudut bangunan sekolah yang sudah tampak sangat tua. Agam sempat memijak putung rokok tadi, memastikan api benar-benar padam sebelum akhirnya memilih untuk turun ke kelas.

Sambil berjalan turun ia merogoh kantong dan mengunyah sebatang permen karet, berusaha menghilangkan aroma nikotin yang masih membekas di mulutnya.

Saat tiba di tangga terakhir, langkahnya terhenti ketika manik hitam legam miliknya mendapati gadis yang sudah lama sekali tidak ia ajak bicara itu terlihat keluar dari toilet tanpa memperdulikan kanan kirinya lagi. Gadis tersebut berlalu seperti angin lewat berbarengan dengan netra yang masih terfokus pada punggung yang kini nyaris masuk ke dalam kelas.

Terakhir kali Agam berinteraksi dengan Kaila itu disaat Pak Darmawan memberinya tugas satu kelompok dengan gadis tersebut, yang menandakan bahwa sudah sebulan lebih waktu berlalu tanpa adanya tegur sapa.

Ada rasa asing yang tiba-tiba menggelayut di dadanya— rindu atau kebimbangan— yang jelas semuanya beradu sekarang.

"Agam, ngapain you di situ? Mau kabur ya, dari pelajaran ai?" tanya Pak Darmawan.

Agam menatap Pak Darmawan, lantas melemparkan senyuman lebar. "Astaghfirullahaladzim Pak, jangan solimi, orang ini saya baru mau masuk kelas kok."

Tatapan tak percaya tersebut masih tertuju ke arahnya, kemudian Pak Darmawan melambaikan tangan memanggilnya. "Sudah sini, tolong bawakan buku ai sekalian ke kelas." Pak Darmawan menyerahkan bawaannya kepada Agam. "Ai ke kamar mandi sebentar," katanya.

"Ah bohong, pasti Bapak mau mangkir dari jadwal ngajar, 'kan? Ngaku aja lah, Pak. Bapak 'kan pernah muda kayak saya."

Demi Tuhan, mulut milik Agam Pradana tidak pernah mengenal kata filter. Bahkan sama seorang guru pun dia berani melempari candaan mautnya.

"Sembarangan. Sudah sana masuk kelas."

Agam terkikik geli melihat pria paruh baya bertubuh gempal dengan kepala plontos itu berlari kecil menuju kamar mandi. Setibanya di kelas tatapan Agam tak sengaja bertemu dengan tatapan milik Kaila. Sejenak, dunia sekitar seakan berhenti. Dalam detik yang terasa lebih lama, pemuda tersebut menatapnya lekat namun tak berselang lama segera diputuskan oleh Agam.

Kaila menundukkan kepala untuk mencoba menenangkan hatinya yang tiba-tiba bergejolak. Gadis tersebut merasa deja vu, Kaila menarik napas panjang lalu melanjutkan pekerjaannya tadi. Menulis sebuah kalimat di buku kecil yang selalu ada di tasnya dengan pembuka—

Dear Diary...

Menulis seperti ini sudah menjadi rutinitasnya. Bagi Kaila, menulis adalah cara terbaik untuk mengusir kerumunan perasaan yang sering kali sulit ia hadapi.

Perempuan ini selalu menjadi pendengar yang baik, menerima cerita orang lain tanpa banyak bertanya. Namun di balik itu semua Kaila juga ingin didengar. Akan tetapi, ia sedikit kesulitan untuk membuka diri terhadap orang lain. Maka dari itu ia memilih untuk menulis. Baginya ini adalah cara terbaik agar suaranya bisa terdengar, agar batinnya tidak begitu terasa sesak, agar harinya bisa terus berjalan maju, agar kepalanya tidak selalu dipenuhi opini-opini tak berlandas.

Terhitung sekarang sudah lebih dari tiga bulan mereka menjadi pelajar SMA, Hana— teman satu meja Kaila, lambat laun hafal betul dengan rutinitas Kaila. Ia tahu setiap kali Kaila senggang, gadis itu akan mengeluarkan buku kecil tersebut dan mulai menulis dengan tekun. Hana tak pernah berani untuk ikut campur, meskipun terkadang ia penasaran, Hana selalu berusaha menahan diri untuk tidak bertanya. Ia tahu, ada banyak hal yang lebih baik tetap menjadi privasi Kaila— termasuk apa yang ditulis di halaman-halaman buku itu— dan juga apa yang sebenarnya terjadi di antara Kaila dan Agam barusan.

🦋

Kaila merapikan dan memasukkan buku ke dalam ranselnya. Matanya melirik sekilas ke jendela kelas yang mulai memudar dengan cahaya senja yang temaram. Suasana kelas yang semula riuh kini mulai mereda, hanya ada suara langkah kaki dan obrolan ringan yang terdengar di luar. Beberapa teman sudah mulai berkemas sementara yang lain masih tertinggal di kelas, sibuk dengan urusan masing-masing.

"Kaila, lo dicariin Kak Fadlan," panggil Tyas— salah satu teman sekelasnya.

Kaila mendongak dan mendapati Fadlan sudah berdiri di ambang pintu kelas yang sedang menatapnya ramah.

"Bentar," sahut Kaila sambil mengunci tas kemudian ia berdiri dari kursinya.

"Wih wih wih, roman-romannya ada yang mau ngajak pulang bareng lagi, nih," bisik Hana.

Kaila tersenyum kecil. "Gue jadi makin yakin lo beneran sepupu Sekar. Nyebelin soalnya," balasnya.

Hana tertawa terbahak. "Gue pulang duluan ya, take your time with calon bubub." Hana pun melangkah keluar kelas dengan santai.

"Geli banget gue dengernya," desis Kaila sambil tertekeh. Langkahnya pun menyusul untuk keluar kelas, sebelum benar-benar keluar kelas tanpa sengaja tatapan matanya bertabrakan lagi dengan tatapan dingin milik Agam yang masih berada di kelas bersama Ben.

Tidak ada kata-kata yang terucap, hanya tatapan yang saling bertemu seakan masing-masing dari mereka tengah berusaha untuk membaca sesuatu yang tak bisa diungkapkan dengan kata. Agam duduk di sana— di meja belakang yang tak jauh dari pintu. Tak ada kata yang mengisi ruang hening itu, hanya detak jantung yang terdengar begitu keras di telinga, perlahan Kaila memutuskan pandangan lebih dulu.

Gadis itu akhirnya melangkah pergi meninggalkan Agam di sana. Saat tiba di depan Fadlan, seulas senyuman terbit di wajah Kaila. "Nyariin gue? Kenapa, Kak?"

Fadlan tersenyum lembut. "Mau pulang bareng, nggak?"

Kaila tahu ini bukan pertama kalinya dan mengingat hubungan mereka yang sudah cukup dekat, Kaila pun tidak merasa keberatan. "Boleh, deh."

Mereka berdua berjalan menyusuri koridor sekolah yang sudah tampak sepi. "Sejauh ini gimana rasanya gabung OSIS?"

"Seneng-seneng aja karena dapet temen lagi selain temen kelas," terangnya.

Fadlan mengangguk paham. "Kenapa kemarin kepikiran buat gabung OSIS? Kenapa nggak volly atau yang lain gitu?"

"Gue ngerasa nggak punya bakat apa-apa soalnya."

"Mana ada orang nggak punya bakat, Kaila," gemasnya. "Lo pasti punya."

Alih-alih langsung membalas, Kaila malah tampak berpikir sambil menerawang jalan di depannya. "Sejauh ini sih, gue taunya gue bakat dalam tidur."

Fadlan terkekeh di sebelahnya. "Tidur makan tidur lagi gitu, ya?"

Menatap laki-laki yang selalu tersenyum di sebelahnya membuat Kaila bertanya. "Rumor yang beredar di sekolah bilang kalau lo jarang senyum. Tapi pas gue perhatiin setiap ngobrol sama gue, lo senyum mulu deh, Kak. Emang kalimat gue selalu ada lawakannya?"

Pemuda itu melirik Kaila sesaat. Senyumannya pun tidak serta merta langsung sirna walaupun saat ini tengah jadi topik pembicaraan. "Rumor itu nggak bisa gue iyain dan nggak bisa gue bantah juga. Semua hal 'kan harus ada alasannya, ngapain gue senyum-senyum nggak jelas."

"Oh, jadi alasan senyum karena gue, nih?" Kaila menaik turunkan alisnya, tidak bisa menahan bibirnya untuk tidak melengkung keatas membentuk sebuah senyuman.

"Iya."

Semilir angin di parkiran sore ini terasa sejuk. Entah karena faktor angin atau faktor ucapan dari Fadlan yang membuat sekujur tubuhnya terasa lebih dingin. Kaila memilih untuk mengambil helm yang selalu Fadlan bawa untuknya.

"Lo tuh suka mancing, ya?" tanya Fadlan random sambil memakai jaket kulit.

Kaila menggelengkan kepala. "Kata siapa? Orang gue nggak bisa mancing."

"Bisanya cuma ngelempar umpan aja. Pas ada ikan yang nyangkut, malah nggak diangkat," koreksi Fadlan.

Mata Kaila mengerjap pelan, kini ia mulai memahami kiasan-kiasan dari Fadlan. Dilihatnya laki-laki yang sedang memakai helm tersebut dengan lamat. "Kok— bisa?" heran Kaila.

Fadlan melirik Kaila yang sedang menatapnya lekat. "Bisa apa?"

"Kok bisa lo memilih untuk mengambil umpan gue, Kak?"

Tangan Fadlan terulur untuk membantu memasangkan helm yang sejak tadi hanya Kaila pegang. "Mau tau?" tanya Fadlan lembut.

Kaila mengangguk pelan, menatap Fadlan dengan rasa ingin tahu yang mulai mengalir.

"Tapi ada syaratnya," lanjut Fadlan menatapnya serius. "Janji sama gue, lo nggak akan menjauh atau diem setelah ini, gimana?" tawarnya dengan nada serius yang membuat Kaila lagi-lagi hanya mengangguk.

"Sederhananya— karena itu lo, Kaila. Gue nggak memerlukan alasan lain untuk tertarik sama umpan lo, selain karena diri lo sendiri." Terang Fadlan dengan suara yang lebih rendah. "Gue paham lo pasti kaget karena kita baru aja kenal beberapa waktu ini. Tapi gue rasa udah saatnya gue jujur sama perasaan gue sendiri, Kai. Gue mau mengenal lo lebih jauh dan gue harap lo bisa kasih ruang kesempatan itu buat gue," lanjut Fadlan lebih lembut penuh keyakinan.

Kaila menatapnya, mencerna kata-kata dari Fadlan. Gadis ini merasakan bahwa ini lebih dari sekadar kata— ini adalah tawaran yang datang dari seseorang yang benar-benar menginginkan interaksi lebih dalam.

"Keputusan akhirnya nanti tetap ada di tangan lo," kata Fadlan serius. "Dan gue ingin lo tahu satu hal, apapun nanti yang terjadi— gue akan tetap menghargai pilihan lo."

Tak membalas, Kaila hanya menatap Fadlan dengan tatapan penuh makna. Mengerti kemana akhir dari pembicaraan ini. Manusia juga tidak mampu untuk menahan perasaan manusia lain kepadanya.

Sekelebat tindakan Fadlan yang terlihat gentle di hadapannya bahkan di hadapan ibunya membuat Kaila sadar bahwa laki-laki ini tidak bercanda.

Kaila juga teringat dengan perkataan Sekar beberapa waktu yang lalu untuk berani maju satu langkah agar hidupnya ini tidak selalu satu arah saja. Dengan respon terakhir Kaila yang mengangguk membuat senyuman Fadlan terbit di wajahnya.

"Thanks for the chance, Kai," ucapnya tulus.

Di atas motor ini— dua insan yang sedang berkutat dengan hati dan pikiran masing-masing melesat keluar gerbang sekolah. Meninggalkan jejak deklarasi resmi atas kejelasan hubungan mereka yang naik satu tingkat kepada tahap pendekatan yang lebih resmi di awal bulan September 2016.

🦋

Agam nyaris mengumpat saat hendak keluar dari kamar. Ia melihat Rizal dan Ilham berdiri tepat di balik pintu dengan senyum lebar terukir di wajah masing-masing. "Ngapain lo berdua bediri di situ?" tanyanya sedikit kesal.

"Seperti biasa PS-an, yok," ajak Ilham.

Agam menatap keki. "Berhubung gue lagi gabut, ayo dah," katanya sambil melangkah kembali masuk ke dalam kamar yang diikuti oleh Rizal dan Ilham.

Hampir setengah jam mereka habiskan dengan berseru sendiri. Sesekali umpatan keluar dari mulut mereka, membuat Desi yang berada diruang tengah menegur dengan berteriak. "Mulutnya hei.."

Saat ketegangan mulai memuncak, Rizal yang sedang memperhatikan giliran Agam dan Ilham bertanding pun bersuara. "Eh gue denger-denger dari anak sekolah, katanya lo ngedeketin Kak Laura, Gam?"

Tatapan Agam tetap fokus pada layar TV, tangannya lincah menggerakkan stik PS. "Kagak."

"Serius lo? Tapi rumornya udah menyebar kemana-mana tuh, pasti ada sebab kenapa rumor itu bisa muncul, 'kan?"

Agam menghela napas pelan. "Ya gimana lagi? Udah resiko jadi cowok ganteng se-Bekasi. Pasti ada aja bahan buat digoreng-goreng," balas Agam tanpa menggubris pertanyaan lebih lanjut.

"Anjing."

Ilham melirik ke arah Rizal dan Agam sejenak. "Ni yang pada lo bahas, Laura Christy anak kelas 12 yang jadi panitia MOS kemarin itu?" tanya Ilham memastikan

Anggukan kepala Rizal membuat Ilham berseru heboh. "Seriusan, Gam?"

Agam menoleh sebentar. "Kagak njir, gue sama dia mah cuma satu rekan di klub fotografi. Lo pada jangan giring nidji begitu lah."

"Giring opini bangsat," umpat Rizal.

"NAH LO! GUE MENANG YAHAHA!" teriak Agam rusuh saat ia memenangkan pertandingan. Laki-laki tersebut lalu merebahkan tubuhnya di atas karpet dengan tatapan menerawang ke langit-langit kamar.

"Hati-hati anak orang baper, Gam. Berabe urusannye ntar." Rizal mengingatkan.

Kepala Agam tergerak untuk menoleh singkat ke arah Rizal dan Ilham. Ia tertawa kecil, tidak terlalu memikirkan rumor yang beredar. "Gue tau kok sampai mana batasan gue harus bersikap. Lagian lo berdua buta apa gimana? Tembok segede itu bisa kagak keliatan, woles aja kali, gue nggak se-gegabah itu."

Selang beberapa detik kemudian Rizal berdehem pelan mencoba mengganti topik. "Terus— lo sama Kaila kenapa? Kayaknya belakangan pada canggung bat gue liat-liat."

Agam sedikit terganggu dengan pertanyaan yang tiba-tiba ini. Terbukti dari cara ia bangkit dari tidur dan mengalihkan perhatian untuk kembali fokus dalam permainan. "Kagak ada apa-apa, emang kenapa?" jawab Agam dengan tangan yang menggerakkan stik PS lebih kasar dari sebelumnya.

Hal ini disadari oleh Ilham. Matanya yang tak sengaja menangkap reaksi tak biasa dari Agam lantas membuat ia menyeringai di tempatnya. "Goroh lu! Udah ngaku bae, Gam. Gue, Rizal bahkan Ben sadar kalo tadi ada yang kagak beres dari lo berdua."

"Tau, nih. Tiba-tiba bat jadi cool boy," sinis Rizal.

Sadar akan ucapannya barusan, Rizal dan Ilham sontak saling pandang kemudian kembali menatap Agam penuh selidik. "Lo— nggak lagi cemburu, 'kan, Gam?" tanya Ilham memastikan.

Agam tersedak oleh salivanya sendiri. "Cemburu? Cemburu apaan?" hardiknya.

"Ya pan tadi di parkiran kita bertiga juga liat kalo Kaila sama—"

"Kagak ada yang cemburu! Mau dia jadian kek, mau pedekate-an kek, gue kagak peduli." Agam memotong kalimat Rizal dengan cepat.

Meskipun ia berusaha keras untuk mengenyahkan perasaan aneh ini. Entah kenapa justru perasaan itu semakin mengganggunya. Agam sadar jika ia tidak bisa terus menafikan bahwa saat ini memang ada sesuatu yang mengganjal di hatinya— sesuatu yang ia sendiri pun tidak bisa mengartikan apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya. Agam terlalu enggan untuk menggali hal ini lebih dalam. Dengan cepat ia mengalihkan pandangannya lagi, berpura-pura bahwa memang sedang tidak merasakan apa-apa.

____________________

Cuit-cuit manjah :

Tebak reaction : Buat siapa ke siapa ini🧌🧌🧌🧌

Share This Chapter