Back
/ 37
Chapter 11

10| The Day We...

The Apple of My Eye [COMPLETE]

"Jadi sudah resmi?"

Ratna menatap sepasang mata putrinya yang sudah menyelesaikan makan malam. Sisa aroma masakan ikan bakar masih samar tercium di udara berpadu dengan suara perlahan dari televisi di ruang tengah.

Kaila tersenyum tipis. "Dia cuma minta izin buat PDKT, Bu," koreksinya.

Ratna mengangguk kecil sambil menopang dagu dengan tangan. "Keren ya nyalinya," puji Ratna sebelum mengubah posisi duduknya menjadi lebih tegak. "Ya apapun itu istilahnya, Ibu nggak masalah. Toh, Ibu juga pernah jadi anak remaja." Ratna berhenti sejenak untuk menatap lekat wajah putrinya. "Tapi Ibu minta satu hal, jangan pernah melewati batas. Sekolah tetap harus jadi prioritas, jangan sampai bikin Ibu kecewa, ya?"

Kaila terkekeh pelan sambil mengusap sisi gelasnya yang sedikit berembun. "Iya, Bu. Aku janji hal ini nggak akan mengubah apapun tentang sekolahku," katanya mantap.

Ratna menghela napas panjang seraya menyandarkan tubuhnya di kursi. "Perasaan kamu tuh baru Ibu lahirin kemarin, deh. Sekarang kok udah bisa cerita cowok gini ke Ibu? Cepet banget ya waktu berjalan."

Kaila terkekeh. "Kalau waktunya berhenti, kiamat dong, Bu?" ia menimpali sambil meneguk habis air di gelasnya. "Menurut Ibu, Kak Fadlan itu gimana?"

Ratna yang sudah setengah berdiri dari kursinya kembali duduk. Raut wajahnya terlihat berpikir sementara matanya melirik sekilas ke arah dapur seolah mencari kata-kata yang tepat. "Hm... ganteng," ujar Ratna menahan senyum.

"Bu, jangan kayak Sekar dong," keluh Kaila.

Ratna tergelak kali ini lebih lepas. "Dia anak yang gentle, to the point, dan nggak neko-neko. Datang ke rumah minta izin buat antar kamu sekolah dan pastikan langsung ke Ibu bahwa dia akan bawa kamu pulang dalam keadaan selamat. Itu nggak semua anak laki-laki berani lakukan tau, ke orang tua cewek."

"Itu sebabnya aku terima dia, Bu," ujarnya. "Dia menghormati satu-satunya orang tua yang aku punya. Dia baik sama aku, ingat hal-hal kecil tentang aku dan juga selalu memastikan aku baik-baik aja di saat aku lupa untuk peduli sama diriku sendiri."

Kaila berhenti sejenak menatap wajah ibunya yang tampak takzim mendengarkan setiap katanya. Senyum tipis muncul di bibirnya sebelum ia melanjutkan. "Aku nggak punya alasan untuk nolak Kak Fadlan, Bu. Dia bikin aku ngerasa dihargai tanpa harus meminta untuk dihargai."

Ratna tersenyum bangga dengan jawaban putrinya. Sebelum beranjak ke dapur Ratna menepuk lembut kepala Kaila. "Kalau kamu yakin, Ibu doakan yang terbaik aja. Yang penting kamu tetap inget pesan Ibu."

Kaila hanya menjawab dengan anggukan, menatap punggung ibunya yang perlahan menjauh ke dapur.

🦋

Sejauh ini hari Minggu Kaila berjalan mulus. Gadis itu mengenakan kaus barong sederhana yang sudah sedikit pudar warnanya dilapisi celemek yang mulai dipenuhi noda tepung. Rambutnya dicepol asal, beberapa helaian jatuh di pelipisnya. Matanya terfokus pada roti yang baru saja ia keluarkan dari oven. Aroma manis pastry memenuhi ruangan membaur dengan wangi tumisan yang dimasak Ratna di atas kompor.

Ratna melirik ke arah Kaila sambil mengaduk wajan. "Didinginin sebentar ya, baru bisa dikeluarin dari loyang," ujarnya lembut.

"Siap, Chef!" ucap Kaila sembari meletakkan loyang di atas meja dapur. Ia melepaskan sarung tangan dan celemeknya lalu berjalan menuju sink untuk mencuci tangan.

Ratna menggeleng sambil tersenyum kecil. "Apa-apa langsung cuci tangan, bisa keriput nanti tangan kamu."

"Bersih itu sebagian dari iman, Bu," balas Kaila sambil mengeringkan tangannya dengan handuk kecil. Sedangkan Ratna hanya menggeleng heram.

Kaila memilih untuk duduk di kursi meja makan sembari menunggu kuenya dingin. Gadis tersebut meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja. Notifikasi bertumpuk di layar, mulai dari grup sekolah hingga pesan pribadi. Namun hanya satu nama yang langsung menarik perhatiannya— Fadlan.

Saat membalas pesan itu tanpa sadar sebuah senyum tersungging di wajahnya. Sementara Ratna diam-diam memperhatikan dengan tersenyum tipis. Wanita paruh baya itu membiarkan Kaila menikmati momennya tanpa berniat mengganggunya.

Ternyata Fadlan benar-benar memanfaatkan momen pendekatan ini. Tangannya kemudian tergerak membuka pesan dari para sahabatnya. Sekar mendadak punya ide untuk bermain ke Dufan.

Kaila pun tergerak untuk membalas di grup, sembari mengamati isi pesan yang masuk satu persatu.

Jadi, Agam punya pacar?

Apa jangan-jangan dia berubah karena itu alasannya?

Melihat respon Rizal dan Ilham yang begitu excited membahas hal ini, membuat Kaila semakin termenung. Ada yang aneh pada dadanya, seperti rasa sesak— yang dipaksa untuk terus dipakai bernapas.

Apa mungkin ini hanya kerena melihat Agam yang aktif berinteraksi bersama mereka di grup sedangkan jika bersama dirinya, Agam memilih menghindar?

Kaila terdiam memantau isi pesan.

Gadis itu bahkan sudah tidak bisa menghitung sudah berapa lama ia dan Agam tidak bertegur sapa. Kini segalanya berbeda. Agam seperti menarik diri, menciptakan jarak yang semakin hari semakin lebar.

Matanya Kaila menatap layar dengan tatapan keraguan. Kaila ingin bertanya secara langsung, ingin mencari tahu apa yang salah di antara mereka, tetapi keberanian yang ia punya telah menguap entah ke mana. Kaila akhirnya hanya bisa menghembuskan napas panjang, berusaha melawan gumpalan emosi yang mulai memenuhi dadanya.

"Kaila, ini rotinya sudah Ibu potong-potongin, nih. Kamu keasikan main HP malah ditinggal, ni dianter ke rumah temen-temen kamu sekalian." Ratna menata beberapa piring di meja makan.

Sejenak Kaila terdiam kemudian berdiri dari duduknya. Tekadnya sudah bulat, mungkin ia bisa memperbaiki semuanya melalui kegiatan ini. Pertama tama, Kaila berjalan ke rumah Rizal yang posisi rumah hanya bersebelahan. Kedua, ia menghampiri rumah Ilham, lalu yang ketiga Sekar. Dan sekarang— Kaila telah berdiri di depan pintu berwarna hitam, ia menetralkan napasnya yang terasa berat sebelum jemarinya bergerak menekan bel.

"Iya, sebentar."

Suara berat itu terdengar membuat dadanya semakin sesak. Saat pintu terbuka mata Agam bertemu dengan Kaila. Wajah laki-laki itu menunjukkan keterkejutan yang segera berubah menjadi raut penuh tanda tanya.

"Ini, ada roti." Kaila menyodorkan piring berisi potongan roti. Tangannya sedikit gemetar tapi ia berusaha untuk tetap terlihat biasa saja.

"Thanks." Agam menerimanya tanpa banyak reaksi.

Hening memeluk mereka. Kaila mengusap tengkuknya canggung. Sesaat mereka hanya saling menatap dalam diam seolah ada banyak hal yang ingin dikatakan tetapi tertahan di ujung bibir. "Tante Desi— ada?" Kaila mencoba memecah keheningan.

"Pergi," jawab Agam datar.

Nada dingin itu menohok Kaila, membuatnya semakin gugup. Ia berdehem pelan sebelum akhirnya mengumpulkan keberanian. "Gam," panggilnya pelan.

Mata Agam langsung menatapnya lekat membuat Kaila semakin sulit bernapas. "Gue tau ini telat. Gue— mau minta maaf— maaf buat perkataan gue di kantin waktu itu. Gue sadar gue salah, nggak seharusnya ngomong kayak gitu sampai bikin lo marah."

Agam diam dengan tatapan yang masih senantiasa menatap Kaila lekat. Sedangkan Kaila menggigit pipi bagian dalam, berusaha menahan gugup yang hampir meledak.

Alis tebal Agam perlahan terangkat. "Gue nggak marah," katanya singkat.

Tiga kata sederhana itu malah membuat Kaila terdiam, ia menunduk lalu tersenyum masam sebelum menatap Agam lagi. "Bercanda lo," sarkasnya.

"Jelas-jelas lo marah sama gue. Lo menghindar dari gue. Iya gue tau kok Gam, gue banyak salahnya, tapi 'kan lo duluan yang mancing! Lo pikir enak apa jalani hari diem-dieman gini? Berbulan-bulan, Gam! Nggak adil banget rasanya saat tau lo bisa santai kayak begini sedangkan gue sengsara sendirian tiap hari."

Kata-katanya meluncur tanpa kendali. Agam tertegun karena tidak menyangka Kaila akan meledak seperti ini. Jujur saja, Agam juga tidak sepenuhnya tahu apa yang sebetulnya sedang ia rasakan. Segalanya terlalu rumit, terombang-ambing di antara ego dan rasa yang tak terjelaskan. Pemuda tersebut meletakkan piring di atas meja ruang tamu kemudian berbalik untuk menatap Kaila yang kini sudah menangis, perlahan Agam menggaruk kepalanya bingung.

Situasi sekarang mendadak terbalik.

"Kai, gue nggak berniat jauhin lo," katanya pelan. "Gue cuma—" Agam menunduk menarik napas dalam sebelum akhirnya melanjutkan. "Gue cuma membatasi diri. Lo udah punya pacar sekarang. Gue nggak mau pacar lo kesel sama gue karena gue alasan utama lo jadi emosian."

Bagai diguyur air es di tengah Gurun Sahara. Agam merasa sedikit lega mengatakannya. Entah disadari sepenuhnya atau tidak, sepertinya alasan ini memang penyebab utama atas ketidakjelasan sikap Agam belakangan ini. Pemuda tersebut berdehem sesaat. "Fadlan pacar lo 'kan?" tanyanya ragu.

Kaila menghela napas panjang. Menatap Agam dengan mata lelah. "Lo tuh sok tau, gue bahkan nggak pacaran sama dia. Dan sekalipun gue pacaran, lo jahat, Gam. Jahat banget kalau ngejauhin gue gitu aja."

Hening menyelimuti mereka. Kaila menghapus air matanya dengan kasar sementara Agam hanya menatap tanpa tahu harus berkata apa.

"Lo— masih suka sama gue?" Kaila bertanya tiba-tiba.

"Enggak!" Agam langsung menyembur.

"Ya udah sih, makanya. Gue tau kita sering ribut, tapi gue nggak mau diem-dieman kayak gini. Mending ribut aja sekalian."

Agam termenung. Bibirnya perlahan tertarik ke atas membentuk senyuman tipis. "Jadi lo mengakui gue temen lo?"

"Semua juga temen gue," elak Kaila cepat.

Agam mengengguk paham. "Ternyata lo nggak bisa jauh-jauh dari gue."

Sebelum Kaila sempat membantah, dering ponsel memecah suasana. Pemuda itu izin untuk mengangkat panggilan, saat telah selesai ia menepuk bahu Kaila pelan. "Gue harus pergi karena ada janji. Udah jangan pake nangis, lo jelek soalnya kalau nangis."

Kaila tertegun saat menyadari air matanya masih membasahi pipi. Ia menunduk seraya meremas ujung baju. Tatapannya perlahan terarah memandang punggung Agam yang tampak bersiap di dalam rumah.

🦋

Shape of You milik Ed Sheeran terdengar dari piano yang dimainkan secara langsung di ruangan yang kental dengan sentuhan tropical. Sinar matahari sore masuk menembus jendela-jendela tanpa permisi. Tidak tampak ramai, tapi juga tidak begitu sepi.

Laki-laki yang mengenakan kaos putih polos serta celana jeans hitam tersebut menghampiri perempuan dengan dress bunga yang melambaikan tangan ke arahnya. Spot meja yang mereka tempati berada di tepi, berbatasan langsung dengan jendela kaca yang super besar.

"Udah lama nunggu? Maaf ya gue hampir lupa kita ada janji hari ini." Agam menggeret kursi untuk ia duduki.

"Enggak papa kok, santai aja, Gam."

Perempuan tersebut mengeluarkan sebuah laptop dan sebuah kamera untuk diletakkan di atas meja. Mereka berdua mendapat tugas dari klub fotografi untuk memindahkan sekaligus mengedit hasil foto lomba cerdas cermat yang dilakukan di luar sekolah tempo hari.

"Kayaknya Bang Raka salah orang dah, masak nyuruh gue buat bantuin lo. Orang ilmu gue aja masih cetek begini," ujar Agam sambil terkekeh kecil.

"Kan sekalian belajar, Gam. Apa salahnya?"

"Ya iya sih, ada benernya juga sih kata lo, Kak." Agam mengangguk pelan.

"Gue udah bilang jangan panggil gue, Kak. Gue nggak setua itu, ya."

Kening Agam mengernyit. "Kenapa emangnya? 'Kan lo di atas gue umurnya."

Laura tersenyum. "Kalau orang random yang panggil sih nggak masalah. Tapi kalau orang-orang yang udah gue kenal, mending panggil nama aja. Lebih nyaman soalnya," terangnya.

Agam menyisir surai rambutnya ke belakang. Cahaya matahari sore yang menerpa wajahnya memancarkan kehangatan, memberikan kesan— charming— yang hampir sama seperti adegan dari film-film.

"Ya udah kalau gitu tugas gue apaan?"

Laura terdiam sejenak, tatapannya terhenti pada setiap lekuk wajah Agam yang terlihat lebih menonjol di bawah sinar keemasan itu.

"Laura?"

Perempuan tersebut langsung mengalihkan tatapannya kemudian memberikan kartu memori kepada Agam. "Oh ini— lo buat folder dulu khusus LCC, terus pindahin foto-fotonya ke situ. Nanti foto-foto yang goyang atau ngeblur lo hapusin aja."

Laki-laki tersebut mengangguk paham. Lantas mulai fokus mengerjakan tugasnya sesuai arahan dari Laura.

Sinar jingga keemasan perlahan memudar seiring berjalannya waktu, digantikan oleh semburat ungu gelap yang berbaur di langit. Di dalam kafe, suasana mulai berubah. Lampu-lampu gantung kecil di langit-langit mulai menyala, memberikan nuansa hangat yang berbeda dari sebelumnya. Musik piano berganti menjadi lagu akustik lembut yang nyaris seperti berbisik di telinga.

Laura meregangkan lehernya yang mulai terasa kaku setelah terlalu lama menunduk menatap layar laptop. Agam yang duduk di seberangnya menghela napas pelan. Matanya masih fokus pada layar laptop. Sekali-sekali, ia tampak menghapus beberapa foto dengan ekspresi serius, berbeda dengan gaya santainya tadi.

"Akhirnya kelar, ternyata tugas beginian butuh effort juga ye, " gumamnya sambil memutar bahu, mencoba melonggarkan tubuh yang terasa tegang.

Laura terkekeh pelan. "Makanya tadi gue bilang, sekalian belajar," ujar Laura sembari membereskan barang-barangnya.

Agam hanya mengangguk sambil mengusap tengkuknya. Di luar, bayangan pepohonan hanya terlihat samar dalam pantulan kaca besar di sebelah mereka. Laura memasukkan laptop ke dalam tas dan menggantung kamera ke lehernya.

"Ke sini tadi naik apa?" tanya Agam.

Laura mendongak ke arah Agam. "Gue bawa mobil, kok."

Mereka berdua kini berjalan beriringan keluar kafe.  "Ya udah hati-hati di jalan. Sorry kalau kerjaan gue nggak memuaskan. Ntar kalau ada yang harus gue bantu lagi, kabarin gue aja," ucap Agam sambil menepuk-nepuk bahunya sendiri.

"Aman kok, Gam. Kerja lo udah bagus hari ini, good job."

Agam menangkup kedua tangan ke depan dada. "Baik, mohon bantuannya, suhu."

Perempuan tersebut tersenyum kecil. "Gue balik ya, Gam. Lo hati-hati juga di jalan," pamitnya sambil melambaikan tangan.

Agam mengamati mobil Laura yang berlalu, tidak lama setelahnya ia melangkahkan kaki menuju parkiran motor. Menyalakan motor gedenya kemudian turut meninggalkan kafe untuk pulang ke rumah.

____________________

Ngomong-ngomong kalian terganggu tidak dengan foto-foto chat gitu? Eike bingung milih buat di ketik disini langsung atau dibikin seolah beneran chat gitu... tolong dong saranny maniezzzz😔😔😔

Gak usah salfok sama typing mereka.. keliatan dah tuh mana yang anak rumahan sama yang anak warnet 🙂

Sekar ke teman-teman lucknut nya :

Sejauh ini kalian sudah naik kapal mana?🤔

Share This Chapter