11| The Double-Sided Coin
The Apple of My Eye [COMPLETE]
Dalam banyaknya filosofi-filosofi mengenai cinta. Laki-laki yang sedang duduk di sofa kamar dengan buku non fiksi di genggamannya ini hanya meyakini satu filosofi dengan bunyi kira-kira seperti ini:
"Jika kita mencintai seseorang karena dia mencintaimu, itu bukan cinta, tetapi empati. Jika kita mencintai seseorang karena penampilan atau materinya, itu bukan cinta, tetapi obsesi. Jika kita mencintai seseorang karena sifat kebaikannya, itu bukan cinta melainkan rasa kagum. Jika kita bingung kenapa kita mencintai orang itu, maka sudah dipastikan itu adalah cinta yang sebenarnya."
Menurut sebuah penelitian yang dipublikasi oleh Journal of Sexual Medicine, manusia butuh waktu lima detik untuk menghasilkan reaksi kimia yang memicu perasaan jatuh cinta. Kemudian Reader's Digest mengatakan bahwa pria lebih cepat untuk merasakan jatuh cinta dibandingkan dengan wanita.
Sebanyak 48% pria cenderung jatuh cinta pada pandangan pertama atau yang biasa kita tahu dengan istilah love at first sight. Dan memang benar, pria hanya membutuhkan waktu selama 88 hari untuk mengucapkan cinta kepada pasangannya.
Tak ayal bahwa fakta persentase cinta seorang pria itu adalah dari 100 ke 0%. Berbeda dengan perempuan yang perasaannya dimulai dari nol.
Sub-bab terakhir atas buku yang sedang ia baca tersebut diberi tanda. Mengulas senyum tipis. Netranya kemudian menangkap sebuah kotak biru dongker yang selalu tergeletak di sudut meja belajarnya.
Agam meletakkan buku di atas sofa, memilih untuk berjalan menuju meja belajarnya. Dan saat kotak tersebut dibuka, ada bekas dari bungkus cokelat batangan.
Di dinding meja belajarnya juga terdapat banyak foto polaroid menggantung. Foto-foto perjalanan persahabatannya yang sudah memasuki satu dekade. Lalu, saat geser ke sebelah kanan, terdapat space yang sengaja dipisahâ hanya diisi dengan foto candid sahabat teristimewanya yang dia jepret secara diam-diam. Tanpa sadar bibirnya nengulas senyum tipis kala mengingat kejadian di setiap foto-foto tersebut.
Suara ketukan berkali-kali dari balik pintu memaksa Agam beranjak dari tempatnya. Langkahnya cepat dan saat pintu terbuka, ia langsung mendapati wajah Desi yang tampak pias. "Kenapa, Bun?" tanyanya bingung.
Desi tampak tergesa. "Ayo anterin Bunda ke rumah sakit."
"Loh, Bunda sakit? Ayah mana?" panik Agam.
"Duh, bukan Bunda!" Desi menggeleng cemas. "Barusan Ratna nelpon. Kaila kecelakaan."
Seperti ledakan yang menghantam tepat di dadanya. Waktu seolah berhenti sesaat sementara jantungnya terasa berpacu liar seakan ingin keluar dari rongga dadanya. Kaila? Kecelakaan? Kata-kata itu terus berulang di kepala, menambah berat pikirannya yang seketika buntu. Tanpa banyak bicara ia meraih hoodie hitam yang tergantung di kursi.
"Rumah sakit mana, Bun?"
"Hermina."
Desi sudah lebih dulu menuruni tangga dengan langkah cepat. Agam menyusul bersamaan dengan pikirannya yang mulai kacau. Mereka masuk mobil dan tanpa perlu membuang waktu, pemuda itu segera melajukan kendaraan.
Buku-buku jemarinya memutih karena mencengkram kemudi terlalu kuat. Pandangannya terpaku ke jalanan dengan pikiran berkelana ke ribuan pertanyaan yang tak mau berhenti berdengung di kepalanya. Kenapa bisa? Bagaimana keadaan Kaila sekarang? Apakah ada hal serius yang terjadi setelah kecelakaan?
Namun satu hal yang pasti, Agam hanya ingin bertemu Kaila. Memastikan secara langsung bagaimana keadaan gadis tersebut. Jalanan yang macet karena mobil-mobil di depannya bergerak dengan lambat seakan menjadi musuh terbesarnya saat ini.
"Jangan sampai kepikiran untuk ngebut apa lagi nyelip, Dek," suara Desi memecah suasana. "Jalanan lagi padat."
Merasa terbaca, pemuda tersebut akhirnya hanya menghela napas panjang. "Iya, Bun."
Agam menggigit jari jempolnya gusarâ ini merupakan sebuah kebiasaan lama yang muncul setiap kali pemuda itu diliputi kecemasan. Kakinya menggigil tidak sabar. Bayangan Kaila terluka terus menghantui pikirannya, Agam bahkan tidak sanggup membayangkan jika sesuatu lebih buruk terjadi kepada gadis itu.
Selama di perjalanan, suara klakson kendaraan lain saling beradu, semakin menambah tekanan di dalam dadanya. Ingin sekali berteriak, melawan waktu yang sekarang terasa begitu lambat. Kendati demikian, yang bisa ia lakukan sekarang adalah mengatur deru napas sembari merapal agar perjalanan ini segera berakhir.
Setelah bertempur panjang di jalanan, mobil mereka akhirnya terparkir di area parkiran rumah sakit. Desi turun lebih dulu disusul oleh Agam yang setengah berlari menyusul langkah Desi menuju IGD.
Matanya menyapu ruangan IGD dengan cepat, mencari wajah yang ia kenal di tengah hiruk-pikuk pasien dan dokter. Aroma khas antiseptik rumah sakit semakin memperkuat debaran di dadanya, hingga akhirnya suara Ratna mengalihkan tatapan mereka.
Desi berjalan cepat menuju ranjang tempat Kaila dirawat, sementara Agam yang lebih gelisah langsung menyibak tirai tanpa ragu. Matanya seketika menangkap sosok Kaila yang tengah duduk di atas ranjang dengan tangan kiri yang sudah berbalut gips dan pelipis kepala yang dibalut perban kecil untuk menutupi tiga jahitan.
"Kaila?" panggilnya.
Gadis itu mendongak menatap Desi dan Agam yang sudah berdiri di dekat ranjangnya. "Tante Desi? Agam?"
Akan tetapi sebelum Kaila bisa mengucapkan lebih banyak kata, tubuh mungilnya sudah terkunci dalam pelukan erat seseorang. Kehangatan dari hoodie yang dikenalnya, langsung menyelimuti tubuhnya.
"Lo tuh bisa nggak sehari aja nggak bikin orang khawatir?" ujar Agam dengan nada suara rendah, hampir seperti gumaman marah yang tertahan
Manik hazel Kaila mengerjap beberapa kali, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Namun ia langsung meringis begitu menyadari rasa nyeri di lengannya. "Aduh Gam, tangan gue sakit!" keluhnya.
Agam langsung tersadar, buru-buru melepaskan pelukannya dan mundur beberapa langkah dengan wajah yang memerah karena gugup. "Elu, sih," ujarnya cepat. "Nggak papa, 'kan?"
Desi yang dari tadi terfokus pada kondisi Kaila melangkah mendekat. "Kok bisa kamu ditabrak mobil sih, ya Allah. Lihat itu, tangan kamu sampai digips begitu," ucapnya cemas sambil mengusap bahu Kaila lembut.
Sementara ituâ Ratna yang berdiri di sisi ranjang hanya menggeleng heran. "Izin ke supermarket malah mampir ke rumah sakit. Heran banget sama anak satu ini. Dipikir nyawanya ada sembilan apa, nyebrang-nyebrang sembarangan begitu aja," ucapnya dengan nada kesal.
Agam yang berdiri di belakang Desi menimpali tanpa ragu. "Marahin aja, Tan."
Kaila langsung melayangkan tatapan tajam ke arah Agam, tapi tak punya tenaga untuk membalas lebih jauh. Gadis itu hanya menghela napas lalu beralih menatap ibunya dengan wajah memelas. "Lagian kalau aku nggak sigap, anak kucingnya yang bakal kelindes Bu," ujarnya membela diri.
Desi dan Ratna saling bertukar pandang sebelum Desi akhirnya mengelus lembut bahu Ratna. "Udah-udah, yang penting sekarang sudah ditangani dokter. Tadi dokter bilang apa, Rat? Ada yang serius?" tanyanya menenangkan.
Ratna menggeleng lagi, kali ini dengan sedikit senyuman lega di wajahnya. "Alhamdulillah untungnya nggak sampai yang gimana-gimana. Tangannya memang retak sedikit, tapi selebihnya nggak ada cedera dalam yang parah."
Sekelebat momen di masa lampau pun mendadak terputar di benak Agam. Saat dia dan yang lain sedang bermain petak umpet, sosok Kaila paling terakhir ditemukan. Bahkan mereka menghabiskan waktu satu jam sendiri untuk mencari sosok gadis ini.
Agam sudah terlihat kelimpungan. Langkah gontai itu membawa tubuhnya ke arah taman. Terdengar sayup-sayup tangisan dari balik pohon mangga yang sudah tua. Kakinya terus mengikuti asal suara, dn benar saja, di balik pohon tersebut ada sosok gadis kecil yang menangis tergugu sambil menekan-nekan dada seekor kucing yang terlentang di depannya.
"Kaila?"
Kepala tersebut mendongak, air matanya semakin banjir tatkala matanya menatap manik mata milik Agam.
"Kok nangis?
"Agam sini tolongin, tolongin ini kucingnya nggak mau bernapas," adunya dengan tangan yang masih setia menekan-nekan dada kucing tersebut.
Laki-laki tersebut ikut berjongkok. "Kucingnya kenapa?"
"Tolongin, Agam."
Kini tubuh kucing tersebut sudah beralih. Agam berkali-kali menekan dada dengan harapan dapat membantu mengembalikan detak jantung sang kucing. "Bangun cing!"
Hampir 3 menit berlalu, namun tak ada kemajuan atas usaha mereka. Agam kembali meletakkan kucing tersebut. "Kai, kucingnya.."
"Agam, kucingnya bernapas, liat perutnya bergerak lagi!" Kaila semakin berseru saat erangan dari Kucing tersebut keluar. "Makasih, Agam!" Kaila mendekap Agam dari samping dengan erat.
Agam mengerjapkan mata, kemudian menarik seulas senyum di bibirnya. Ditepuknya perlahan bahu Kaila dari samping. Entah bisa dikatakan sebuah keajaiban atau tidak, kucing tersebut kembali bernapas. Mereka membawanya pulang untuk dipelihara. Namun, karena Ibu Kaila alergi bulu kucing, maka rumah Agam lah yang menjadi tempat yang aman untuk kucing tersebut.
"Suka kucing?" tanya Agam saat perjalanan menuju rumah.
Kaila menoleh dengan kucing yang ia dekap. "Kenapa nggak suka? Kucing 'kan lucu. Sayang aja Ibu alergi. Kalo enggak udah pasti buka asramah kucing di rumah."
"...tadi juga pertama kalinya nangis sesegukan gitu, ya?"
Dengan mata yang masih sembab, ia meringis malu, baru sadar akan kehisterisannya beberapa menit yang lalu. Sudut bibir Agam tanpa sadar berkedut. "Lucu."
"Siapa?" tanya Kaila.
Seperkian detik Agam terlihat kalang kabut, kemudian menunjuk si kucing. "Bono."
Alis Kaila bertaut. "Bono? Ish kok Bono, sih? Jelek banget! Dia ini betina ya, nih liat."
"Ya masalahnya di mana? Dia 'kan bakal tinggal di rumah, jadi suka-suka tuan rumah dong mau ngasih nama siapa," katanya bangga.
"Enggak ah, Miki aja," tolak Kaila.
Agam menggeleng tegas. "Bono udah paling cakep, nggak pasaran."
"Miki!"
"Bono!"
"Miki!"
"Bono!"
Di sepanjang perjalanan, suara mereka sayup-sayup beradu di bawah langit biru. Menambah catatan khusus di buku kecil yang terselip di antara buku lainnya.
11. Kaila suka kucing. Karena kucing itu lucu (Bonoooo)
Pemuda tersebut kembali menatap wajah yang tampak pucat. Wataknya yang keras kepala dan gampang tersulut emosi, nyatanya wanita ini tetaplah seorang wanita. Makhluk Tuhan paling perasa.
Selayaknya koin yang mempunyai dua sisi. Manusia pun begitu adanya. Sisi yang sering diperlihatkan, terkadang membuat mereka lupa bahwa sejatinya di balik sana, masih ada sisi yang tertutup. Sengaja atau tidaknya, manusia tersebut tetap tidak bisa menapikkan bahwa sisi itu juga bagian dari diri mereka sendiri.
ð¦
Seminggu pasca kejadian malam itu, Kaila akhirnya kembali ke sekolah dengan tangan kiri yang masih berbalut gips. Ada hal-hal kecil yang kini terasa lebih sulit ia lakukan sendirianâ seperti mengikat rambut atau memasang tali sepatu. Pagi ini rambut yang biasanya rapi terikat dibiarkan jatuh tergerai, membuatnya tampak lebih lembut dan feminin dari biasanya.
Saat menuruni tangga, langkah Kaila tiba-tiba melambat. Genggaman pada tali ranselnya tanpa sadar mengencang, matanya terpaku pada pemandangan di ruang tengah. Di sana terlihat Fadlan tengah berbincang dengan Ibunya. Pria itu tampak santai dengan senyum yang khas serta lesung pipinya yang muncul setiap kali ia tertawa kecil.
Seolah memiliki radar, pemuda tersebut langsung menoleh ke arah Kaila yang menatapnya. "Sudah siap?"
Ratna yang menyadari kehadiran anak gadisnya pun turut menoleh. Kaila berdehem pelan, mengalihkan kegugupannya dan mengangguk kecil sebelum berjalan mendekat. Setelah mencium tangan Ratna untuk berpamitan, Fadlan lantas juga mengikuti dengan sikap sopan.
Saat mereka sampai di teras, Fadlan tiba-tiba berlutut di depan Kaila. Gadis yang sedang bersusah payah memasang tali sepatu itu hanya bisa melongo sebentar. "Eh, nggak perlu, Kak," ucap Kaila cepat, mencegah tangan Fadlan yang hendak membantu.
Laki-laki tersebut mendongak. "Emang lo bisa ngiketnya?" alis tebalnya terangkat satu. "Biar gue bantuin," lanjut Fadlan membantu Kaila mengikat tali sepatu.
Kaila hanya bisa memperhatikan. Ada sesuatu dalam cara Fadlan yang begitu sabar dan telaten yang membuatnya tak mampu untuk menolak. Dan tanpa ia sadari, seulas senyum tipis terbit di bibirnya.
"Selesai, ayo." Fadlan berdiri kemudian mengulurkan tangannya tepat di hadapan Kaila.
Gadis itu tertawa kecil. Mencoba menutupi rona merah yang mulai menjalari pipinya. "Gue masih bisa jalan kali, Kak," celetuknya. Tetapi setelah itu ucapan barusan kehilangan bobotnya ketika Kaila tetap menyambut uluran tangan Fadlan tanpa ragu.
"Kagak ada! Bawa motor sendiri napa, sih? Ini kursi penumpang belum boleh didudukin siapa-siapa sebelum ada cewek yang duduk!" Agam menyahut.
"Motor gue pan di bengkel. Lo mah, perkara belum di dudukin cewek pelit amat lo sama sobat karib sendiri."
"Lagian, udah tau beat karbu lo sering opname, masih aje disimpen. Jual aja sono, jual," sindir Agam.
"Cukup tau lah, Gam, gue kira hubungan kita istimewa."
Suara gaduh tiba-tiba terdengar dari seberang. Kaila dan Fadlan kompak menoleh, melihat dua laki-laki yang tampak ribut di pinggir jalan. Agam terlihat ogah-ogahan saat Rizal terus memaksanya untuk berangkat bareng. Bahkan jok motor sport Agam sudah dilepas oleh sang pemilik.
"Mereka kenapa?" tanya Fadlan heran.
Kaila mengangkat bahu. Tepat saat Fadlan menaiki motornya. Rizal berlari cepat ke arah mereka. "Bang, gue nebeng, ya."
Bukan pertanyaan melainkan sebuah pernyataan.
Bahkan sebelum diizinkan, Rizal lebih dulu mengambil tempat di belakang Fadlan dengan senyum nyengir lebarnya. Fadlan tampak kaget, begitupun Kaila yang mematung dengan helm putih di tangan kanannya.
"Apa-apaan? Gue pergi bareng Kaila," ucap Fadlan tidak terima.
Rizal mengibaskan tangan. "Udah, Bang, Kaila biar sama Agam aja, tu orang medit bener. Kagak mau nolongin gue perkara motor barunya belum pernah didudukin cewek."
Lidah Kaila sangat gatal ingin mengumpat ke wajah Rizal. "Kok jadi gue?"
"Ya, lo 'kan cewek, Kai. Nah udah masuk kriteria boncengan Agam, noh."
Dalam kondisinya yang seperti ini bisa-bisanya masih ada manusia laknat yang memanfaatkan dirinya. "Enggak mau, ih. Lo liat nggak sih kondisi tangan gue? Enak aja lo suruh naik motor nungging kayak begitu."
Rizal menangkup tangan ke depan dada. "Tolong kali ini aja, Kai. Gue beneran nggak ada tebengan, Ilham udah berangkat duluan. Motor gue di bengkel. Si Agam kagak mau kalo bukan cewek yang ditebengin. Suer. Demi Allah, dia bilang sendiri."
Di atas motornya Fadlan bahkan masih belum paham akan situasi kali ini. "Gue juga nggak izinin lo," katanya yang lantas membuat Rizal nemeluk Fadlan erat.
Mata Fadlan melebar. "Lepasin nggak?"
"Tolongin gue kali ini aja, Bang."
"Enggak bisa, gue udah sama Kaila."
"Woi Agam sini lo!" panggil Rizal kala motor pemuda itu bergerak.
"Kenapa lagi?"
"Lo bareng sama Kaila, gih. Gara-gara elu, kita malah jadi barter partner," kata Rizal dongkol.
Agam memperhatikan Kaila yang menatapnya kesal. "Ya udah, jadi sekolah nggak, lo? Kalo kagak gue cabut duluan," katanya.
Kening Kaila mengernyit, kenapa pula jadi si Agam yang sewot? Padahal ia juga tidak berniat untuk berangkat sekolah bareng! Gadis tersebut menghela napas pelan. Sabar. Masih terlalu pagi untuk mengeluarkan emosi, diliriknya motor sport itu tanpa minat.
Fadlan yang sedari tadi berusaha melepaskan pelukan maut tersebut berakhir mengalah. Rizal betul-betul seperti gurita yang tengah memeluk mangsa. "Kaila, lo nggak papa tukeran motor?"
Pakai nanya segala.
Namun Kaila tetap mengangguk kepala pelan. "Enggak papa, lo duluan aja, Kak," katanya meyakinkan agar pemuda itu bergegas pergi ke ke sekolah. Kemudian saat berhasil meyakinkan Fadlan, Kaila berjalan mendekati motor Agam.
Memakai helm dengan satu tangan ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Rambut itu tampak menutupi sebagian wajahnya sekarang. Agam berdecak pelan sebelum turun dari motor. Ia membantu Kaila yang tampak kesusahan mengatur rambutnya. "Susah banget emangnya buat minta tolong? Punya mulut tu dipake buat ngomong," omel Agam, persis seperti ibu-ibu yang lagi menyuapi makan anaknya setelah mandi.
Mata hazel itu memperhatikan gerak gerik Agam yang tampak cekatan menata rambutnya agar terlihat rapi dari di balik helm. Terakhir, pemuda tersebut membantunya untuk mengaitkan kaitan helm dan memastikannya terkait aman.
Beruntung sebelum manik mata hitam legam tersebut memergokinya, Kaila sudah lebih dulu mengalihkan atensi kepada jok motor yang tadi sempat ia lihat dilepas, entah sejak kapan sudah terpasang kembali. "Makasih," ucap Kaila saat pemuda itu selesai membantunya.
Agam memutar tubuh dan naik ke atas motor seraya memindahkan tas ranselnya ke depan. "Naiknya pegangan bahu gue biar nggak jatuh."
Tampak ragu, namun ia tetap mengikuti arahan dari Agam. Kaki kirinya berpijak pada pijakan motor dan tangannya tersampir di bahu Agam, seketika dalam hitungan detik tubuh Agam menegang seolah tengah mendapat sengatan listrik. Sesaat setelahnya Agam kembali tersadar lalu menatap spion yang mengarah ke wajah Kaila.
"Udah?"
Kaila berdehem pelan sebagai jawaban.
"Pegangan, kalo jatuh ntar nambah lagi yang digips."
Refleks tangannya yang tidak cidera tersebut melayangkan pukulan kuat ke helm Agam dari belakang. "Tiati kalo ngomong," kesal Kaila dengan emosi yang tertahan. "Udah deh buruan jalan," titah Kaila.
Kiniâ senyum Agam merekah dengan sempurna.
____________________
Emang boleeee senyam senyum gitu? Ntar jatuh sakit bingit loch bangð
Reaction Kaila ke Rizal yang sebenarnya :
Salah satu isi catatan di buku Agam yang sudah lecek: