12| Time Flies So Fast
The Apple of My Eye [COMPLETE]
29 November 2016
Dari kecil, Kaila tidak bisa mengartikan makna dari figur seorang Ayah Kandung. Baik itu bentuk perhatian, cinta, kasih sayang, bahkan sampai rasa kekhawatiran dari sosok Ayah.
Kailaâ kurang mengerti perasaan itu.
Kedua orang tuanya yang berpisah saat umurnya masih terbilang amat dini, membuat memori masa kecil pun tak begitu rapat tersimpan di ingatan. Dulu ia sempat bertanya-tanya pada diri sendiri.
Bagaimana ya, rasanya dipeluk seorang Ayah?
Bagaimana ya, rasanya mendapat telfon berkali-kali dari Ayah saat sedang merasa khawatir?
Bagaimana dan bagaimana selalu saja muncul di kepalanya. Sampai pada akhirnya takdir membawanya bertemu dengan keluarga harmonis. Bambangâ berhasil menjadi perantara atas rasa penasaran itu. Kendatipun perasaan itu masih belum terbayarkan secara penuh.
Hingga satu waktu takdir membawanya bertemu dengan pria yang membawa segudang perhatian. Memberikan perhatian-perhatian sederhana yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Ternyata hal itu berhasil menciptakan kehangatan dalam diri Kaila.
Kaila nyaman.
Dan laki-laki yang berhasil membawa kenyamanan tersebut adalah Fadlan Danadyaksa.
Tak pernah sekalipun Kaila mengemis perhatian, akan tetapi usaha pria tersebut berbicara dengan sendirinya. Dari menjemputnya sekolah, mengajaknya ke tempat-tempat yang belum pernah ia kunjungi, bahkan saat ia cederaâ Fadlan secara sukarela menawarkan diri untuk menjadi teman check-up rutinnya ke rumah sakit.
Kini satu bulan lebih sudah berlalu dengan kondisi tangan yang digips. Menurut dokter, hari ini adalah hari di mana gipsnya boleh dilepas. Mengingat cedera yang ia alami tidak terlalu parah, alhasil proses penyembuhan pun tak perlu memakan waktu yang lama.
Aroma antiseptik dan obat-obatan mulai menyelimuti ruangan rumah sakit yang terlihat ramai. Di luar sana, suara riuh aktivitas pasien dan perawat berlalu-lalang.
"Sebelum dilepas, siniin deh tangannya."
Tubuh Kaila tak bergeming saat Fadlan bergerak mendekat. Pandangannya terpaku. Sampai jemari kekar tersebut berhasil mendarat di atas permukaan gips Kaila. Laki-laki itu mengeluarkan pulpen dari saku kemudian menuliskan sesuatu di atas sana.
(Terima kasih sudah melindungi tangan nona jutek ini. Jangan pernah mampir lagi, ya ^_^)
Fadlan menaikkan pandangannya, mempertemukan iris mata mereka. Kaila menatapnya dengan mata sedikit terbelalak. "Maaf," kata Fadlan.
Kaila menundukkan kepala, tersenyum tipis. "Udah dicoret, baru minta maaf."
Fadlan kembali duduk di sampingnya. "Ini namanya pamitan," katanya.
Alih-alih tersinggung, raut tenang milik Fadlan mampu meredamkan semua gemuruh di dadanya. Tatapan gadis itu mengamati tulisan Fadlan. "Emang gue beneran jutek, Kak?"
Pemuda itu tersenyum tipis, kini tampak berpikir sesaat. "Kadang-kadang," jujurnya sebelum kembali berbicara. "Tapi menurut gue sifat jutek pada perempuan itu penting. Karena secara nggak langsung kalian para perempuan punya boundaries atas diri kalian sendiri. Dan loâ"
Alis gadis tersebut terangkat. Menunggu lanjutan kalimat dari Fadlan.
"Atas nama Kaila Azalea Syahnala."
Panggilan dari suster tiba-tiba terdengar, mengalihkan perhatian mereka berdua. "Ayo." Fadlan segera berdiri dan menggandeng tangan Kaila untuk membawa gadis tersebut masuk ke dalam ruangan. Mereka berdua pun mengambil duduk di kursi yang telah disediakan di sana.
Sang dokter mendekat, menarik kursi di sebelah Kaila dan mulai memeriksa tangan kiri yang terbungkus gips. Suasana di ruangan terasa lebih tenang. "Hallo, Kaila," sapa dokter itu dengan senyum ramah.
"Hai, Dok," jawab Kaila sedikit tersenyum meskipun sedang merasa gugup.
"How was your day so far?" tanya sang dokter, berusaha mencairkan suasana.
Awal-awal Kaila sempat kaget mendapat pertanyaan seperti ini. Walaupun tampang sang dokter sudah sepuh, namun cara berkomunikasinya patut diacungkan dua jempol. Kaila bahkan menyimpulkan bahwa love language sang dokter mungkin word of affirmation. Semakin sering konsul semakin ia memaklumi hal-hal dari dokter ini, dan sekarang ia malah terbawa suasana setiap kali kontrol.
Kaila menatapnya sejenak lalu mengangguk. "Not bad, Dok. Bedanya, hari ini agak sedikit excited karena bisa lepas gips."
Dokter itu tersenyum. "Pasti kamu sudah sangat lama menunggu momen ini, ya? Sejauh ini ada keluhan atau rasa sakit di tangan kamu?"
Kaila menggelengkan kepala pelan. "Enggak, Dok. Rasanya sudah normal, cuma kadang-kadang agak kaku."
Sang Dokter mengangguk paham sambil mencatat sesuatu di clipboardnya. "Bagus, berarti proses penyembuhannya berjalan dengan baik. Sekarang kita akan buka gipsnya, ya. Semoga semuanya baik-baik saja."
Sang Dokter memberi isyarat kepada perawat untuk mulai memulai proses pelepasan gips. Suara mesin gergaji perlahan terdengar dan tanpa sadar Kaila mencengkram paha Fadlan tanpa sadar. "Kak, tangan gue nggak bakal dipotong, 'kan?" bisiknya.
Sekali lagi, gadis itu tidak sadar bahwa cengkramannya di sana semakin kuat.
"Aduh ini bisa-bisa tulang paha gue yang gantian digips." Fadlan mengeluh kesakitan.
Kepalanya menoleh dan langsung menyadari perbuatannya. "Maaf Kak, habisnya gue takut."
Fadlan menepuk pelan pucuk kepala Kaila. "Tangan lo enggak bakal luka. Itu gergajinya punya sensori yang kalo kena kulit nggak akan gerak kok."
"Serius, Kak?"
"Serius, Kaila."
Kaila menarik-narik kemeja Fadlan. "Tapi gue takut, Kak. Lo ngerti nggak, sih? Gue tu takut," bisiknya.
Fadlan terkekeh. "Iya-iya ngerti, tapi yang kayak gue bilang tadi, alatnya nggak akan ngelukai tangan lo sedikitpun."
Sang dokter yang menyadari interaksi mereka hanya terkekeh pelan. "Tadi katanya excited mau lepas gips."
"Kalau pake gergaji gituâ ciut juga, Dok, nyali saya."
Mereka semua yang berada di dalam ruangan tertawa kecuali sang pasien yang tampak pias. "Ini aman," ucap sang dokter meyakinkan. "Tangan kamu nggak akan kenapa-napa, kalau kamu takut tutup saja mata kamu sebentar."
Kaila menggigit bibir bawahnya gugup. Matanya terpejam kala sang dokter mulai mengarahkan mesin tersebut ke tangannya. Menyadari bahwa gadis di sebelahnya ini ketakutan, naluri Fadlan tergerak untuk membantu menutupi mata Kaila dengan tangannya.
"Just close your eyes, ada gue di sini."
Setelah beberapa saat, gips akhirnya terlepas sepenuhnya. Sang dokter mengangkat gips yang terbelah dengan hati-hati. Tak menyentuh sedikitpun coretan milik Fadlan di sana. "Tuh, sudah selesai, Kaila. Tangan kamu aman."
"Makasih, Dok."
Sang Dokter tersenyum puas. "Sekarang kita perlu rontgen untuk memastikan bahwa cederanya sudah benar-benar sembuh."
ð¦
Berapa kali pun ia memotret, hasil yang didapat selalu tak memuaskan hatinya. Kini wajah tampan tersebut tampak pupus.
"Mana, coba sini gue liat."
Agam menyerahkan kameranya saat Laura datang menghampiri. "Ajarin dong, puh. Capek banget gue ngatur cahayanya. Enggak pas gitu."
Kini mereka berada di sebuah lokasi di mana menjadi salah satu tujuan hunting mereka hari ini.
"Gue juga masih amatiran, kok. Cuma nggak gampang nyerah gitu aja." Laura meliriknya sekilas sebelum kembali mengotak atik kamera.
"Coba lo berdiri di sana, Gam," titah Laura.
"Di mana? Di sini?" tanya Agam yang kini berdiri di dekat sebuah tiang kayu sambil menyanggahnya.
Laura mengangguk kemudian mengarahkan kamera di depan wajahnya. Mendadak ia tertawa renyah. "Astaga kaku banget, sih, candid atau gaya apa kek. Lo berdiri gitu mirip bapak-bapak buncit yang punya tiga anak."
"Muke gile," protesnya. "Gue emang calon bapak-bapak, tapi nggak bakal sampai buncit juga kali," sahut Agam kemudian mulai berlagak candid.
Suara bidik kamera terdengar. Laura memperhatikan hasil jepretannya. "Nih," katanya sambil menyerahkan kamera tersebut. "Lo tinggal mainin pengaturan kameranya, dari ISO, shutter, aperture, gitu-gitu. Terus pas mau motret lo stabilkan dulu fokusnya, lo bisa coba-coba sudut dan posisi objek di kamera. Ya intinya sih bereksperimen aja dulu, ntar juga bakalan terbiasa."
"Widih cakep juga ya," pujinya saat melihat hasil potret diri sendiri.
Laura menggeleng heran. Berbicara soal hunting, belakangan ini mereka berdua memang sering keluar berdua untuk sekadar mengedit, berburu objek foto, pembahasan mereka sejauh ini masih sekitaran dunia fotografi.
Dari balik punggung tegap tersebut, diam-diam Laura menjadikan Agam sebagai salah satu objek di dalam kamera analognya. "Agam," panggil Laura. Ia tiba-tiba menekan bidik kamera kala pemuda itu menoleh.
"Awas naksir lo sama gue," celetuk Agam saat menyadari bahwa Laura memotretnya. "Testimoninya udah banyak dan terbukti akurat kalau pesona gue memang nggak ada duanya."
Laura memincingkan mata. "Terlalu percaya diri itu nggak bagus," ujarnya, walaupun dalam batin Laura tak menyanggah sama sekali atas kalimat Agam.
"Lo masih satu keluarga sama Meimei-nya si kembar botak itu, Lau?"
Laura menatap bingung ke arah Agam. "Kembar botak siapa?"
"Itu, Upin Ipin, bocil tetangga yang kagak gede-gede."
Seketika Laura tertawa. "Astaga, kenapa emangnya?"
"Mohon maaf dulu nih, mata lo sipit-sipit gitu, langsung ngingetin gue sama temennya si botak itu. Lo ada keturunan Chinese, yak?"
Laura menjawab dengan anggukan pelan. "Bokap gue Chinese."
Bibir Agam berohria, mereka lekas melanjutkan perjalanan mencari spot-spot yang mereka inginkan. Namun baru beberapa langkah, mereka berhenti saat suara dari perut Laura terdengar. Suara normal milik Agam kembali terdengar. "Mending kita berburu makanan aja, dah," ajaknya. Laura sontak menahan Agam yang hendak berbalik, menggeleng pelan.
"Santai aja, gue juga belum makan, kok." Terang Agam yang memahami perasaan tidak enak yang tersemat di wajah Laura. "Deket sini setau gue ada warteg yang katanya enak. Lo bisa makan begituan, 'kan?"
"Pertanyaan lo aneh banget, ya bisa lah."
"Soalnya muka loâ"
"Bisa stop bawa-bawa muka gue, nggak?"
"Lah, kenapa? Muka lo cakep gitu apa salahnya dibawa-bawa, kalo ditinggal di rumah malah serem kali jalan berduaan gini."
Lantas kepala Laura menoleh, menipiskan bibir agar tidak tersenyum. Kini kaki itu membawa mereka menuju warung tegal yang dimaksud. Dari sini Laura bisa melihat lokasi yang mungkin menjadi tujuan mereka. Terlihat beberapa pelanggan yang sedang makan siang menuju sore ini.
Sesampainya di tempat, mata mereka saling mengedar untuk memilah lauk yang akan dipilih. Lalu mereka berjalan menuju sebuah meja untuk mereka singgahi.
"Itadakimasu~"
"Kalo mau makan, doa yang bener. Biar berkah makanannya," sentil Laura.
Cengiran lebar Agam tunjukan. "Maaf maaf.." katanya lalu mulai berdoa, pun dengan Laura. Mereka berdoa sesuai dengan kepercayaan masing-masing.
"Aamiin."
"Amen."
"Jalmeokkeseumnida~"
Laura menggeleng heran. "Lo nguasain berapa bahasa, Gam?"
Agam tampak menimbang lalu menunjukan satu jarinya. "Dua doang."
"Terus itu tadi? Bahasa Jepang sama Korea, kok bisa tau?"
"Karena gue sering nontonin orang mukbang. Latah, makanya kalo mau makan gue berasa lagi ngonten."
Saat Agam hendak melahap nasinya, Laura kembali bersuara. "Dua itu apa aja? Inggris?"
"Nggak bisa bahasa enggres. Ah, ini gue mau makan apa mau wawancara, dah?" sadarnya.
Bibir Laura berkedut. "Sorry.. lanjutin." Laura mengeluarkan ponsel lalu membuka salah satu akun sosial medianya.
"Gue boleh posting hasil foto tadi nggak, Gam?" tanya Laura sambil menunjukan hasil jepretannya, karena mulutnya penuh dengan nasi, maka anggukan cukup menjadi respon pengganti.
ð¦
Tak ada bulan malam ini. Rintik-rintik hujan turun membasahi bumi, menciptakan suara ritmis yang bersatu dengan gemuruh petir beserta bising klakson kendaraan yang berlalu lalang. Aroma khas hujan menyeruak ke indera penciuman Kaila dengan membawa rasa tenang.
"Maaf, ya. Kita malah jadi kehujanan gini," ujar Fadlan.
Kaila dan Fadlan berteduh di depan sebuah ruko tak berpenghuni. Lampu temaram di bawah kanopi tua menjadi satu-satunya penerangan. Cukup samar untuk menyembunyikan ekspresi mereka dari tatapan orang lain yang juga berteduh di sana.
"Enggak papa ih. Lagian cuaca belakangan memang suka nggak jelas," ucap Kaila.
Tanpa banyak kata Fadlan melepas kemejanya, menyisakan kaos hitam polos lalu menyampirkannya ke bahu Kaila. Kaila tertegun seketika. Gadis tersebut memberanikan diri menatap Fadlan dari samping. Rahang tegasnya yang terpahat sempurna, alis tebal, bulu mata panjang yang tak lentik, dan hidung mancung itu menciptakan bayangan yang seolah mustahil diraih.
Fadlan Danadyaksa.
Sosok yang menurutnya nyaris sempurna. Tetapi mengapa pemuda ini malah memilih masuk ke dalam dunia Kaila? Membuka ruang nyaman yang belum pernah Kaila miliki sebelumnya. Padahal dengan tampang yang seperti ini, Fadlan bisa saja menemukan wanita yang jauh lebih unggul.
"Lo nggak kedinginan, Kak?"
Fadlan menoleh dengan bibir membentuk senyum hangat. "Enggak, dipakai aja."
Dalam hening Kaila terus memandang Fadlan seolah ingin menemukan alasan mengapa laki-laki ini sangat peduli akan dirinya. Kilatan cahaya di langit bahkan tak mampu mengalihkan tatapannya. Menyadari bahwa Kaila memperhatikannya pemuda itu pun menoleh balik bersamaan dengan gemuruh petir yang membuat Kaila refleks ingin menutup telinga dengan tangan. Tetapi lebih duluâ Fadlan melakukan untuknya. Jemari besar itu menutupi kedua telinga Kaila dengan lembut.
"Lo nggak papa?"
Gadis tersebut terkejut kemudian mengangguk pelan. Bukankah seharusnya Fadlan menutup telinganya sendiri, alih-alih telinganya? Kaila semakin merasakan dadanya berkecamuk. Hatinya memanas mendapati perhatian tiada henti dari laki-laki ini.
Kalau diperkenankan untuk berterus terangâ Kaila nyaman berada di dekat Fadlan yang penuh effort. Cara pemuda ini dalam mengayomi dirinya dengan amat telaten, membuat Kaila selalu merasa aman bersama Fadlan. Selalu. Kendati demikian, Kaila belum bisa merasakan perasaan yang lebih selain dari pada nyaman. Mengingat mereka sudah menjalani pendekatan yang cukup memakan waktuâ terkadang gadis tersebut dihantui oleh perasaan bersalah karena telah menggantung anak orang terlalu lama.
Kaila tidak ingin membuat pemuda ini semakin tersiksa karena menanti jawabannya terlalu lama. Kaila tidak ingin membuat pemuda baik ini terus digantungi rasa penasaran.
"Kak Fadlan," panggil Kaila di tengah derasnya hujan.
Di bawah sorot lampu ruko yang temaram, dengan tangan yang masih berada di kedua sisi telinga Kaila. Fadlan menatap mata hazel tersebut dengan seksama.
"Iya, Kaila, kenapa? Lo kedinginan?"
Tidak.
Bukan itu yang ingin Kaila katakan. Gadis tersebut menggenggam erat ujung kemeja Fadlan yang disampirkan di pundaknya. Gumpalan kalimat seolah tertahan di leher dengan bibir bungkam diam seribu bahasa.
"Kaila? Ada apa?"
"Gue mau jawab pertanyaan lo, Kak," ucapan Kaila menggantung, tampak ia menarik napas dalam. "Jujur, gue nyaman banget sama lo, Kak. Gue nyaman dan selalu ngerasa aman kalau lagi sama lo. Gue ngerasa seneng kalau kita lagi jalan keluar kayak gini. Gue juga seneng ngeliat lo antusias ngajakin gue buat berburu makanan yang belum pernah gue coba. Gue bahagia saat lo peduli dan selalu ingat hal-hal kecil tentang gue, Kak."
Ada jeda di sana, mata hazel itu menembak tepat di manik mata Fadlan. Hujan terus mengguyur membuat suasana di antara mereka semakin terasa membeku. Gadis itu menggigit pipi bagian dalam, menahan gejolak yang semakin berkecamuk.
"But, I can't lie to my feelings, I can't lie to you. Gue selalu mencari cara agar rasa sayang gue itu tumbuh lebih besar dari rasa sayang seorang adik ke kakak." Kaila tersenyum getir, suaranya terdengar gemetar. "Tapiâ ternyata gue nggak berhasil numbuhin rasa lebih dari itu, Kak."
Fadlan hanya terdiam sambil menatap Kaila yang kini mulai menundukkan kepala. Dalam satu gerakan Fadlan membawa tubuh kecil Kaila ke dalam pelukannya. Didekapnya erat tanpa berkata apa-apa. Perlahan Kaila merasakan kehangatan dari tubuh Fadlan menjalar ke tubuhnya.
"Gue nggak tahu harus bilang apa." Suara Fadlan akhirnya pecah di tengah keheningan. "Gue pernah bilang 'kan kalau keputusan itu ada di tangan lo? Dan jawaban lo hari iniâ gue terima, apa pun itu."
Air mata Kaila mulai mengalir bersamaan persamaan bersalah yang menyelimuti dirinya. "Maaf ya Kak, lo pasti kecewa banget sama jawaban gue."
Fadlan melerai pelukan, ibu jarinya tergerak menghapus air mata Kaila. "Gue nggak kecewa, Kaila. Justru gue bersyukur banget bisa kenal lo sampai sejauh ini. Lo harus tau betapa bersyukurnya gue karena bisa kenal lo," ucap Fadlan dengan memberikan penekanan di setiap kalimatnya.
Air mata Kaila semakin deras. Gadis tersebut bahkan terlihat menggigit bibir untuk mencoba menghentikan tangisan. Fadlan kembali menyapu air mata Kaila. "Ngapain nangis? Hei, gue nggak papa, Kaila. Kita udah sama-sama jujur. Mungkin jalan yang jauh itu memang nggak tepat untuk kita berdua."
Kaila terdiam di depannya, tampak berusaha untuk mengendalikan perasaan sedih yang menggerayangi hati.
"Padahal yang mau ulang tahun itu lo," Fadlan berkata dengan suara sedikit serak. Pemuda itu mengusap sisa air mata Kaila. "Tapi kenapa rasanya malah gue yang dapat kado malam ini?" Tangan Fadlan terulur untuk menyematkan helaian rambut Kaila yang terlepas ke balik telinga. "12 Desember, sebentar lagi," tutupnya.
Kaila mengerjapkan mata, menatap Fadlan dengan tatapan bertanya. "Lo tau, Kak?"
Fadlan tersenyum hangat. "Seperti yang lo bilang. Gue selalu ingat hal-hal kecil tentang lo, Kaila."
Kaila mengusap pipinya untuk memastikan tak ada lagi jejak air mata. Bahkan di situasi ini, di mana seharusnya manusia normal memperlihatkan raut kecewanyaâ pemuda itu justru malah memperlihatkan raut yang sangat Kaila hapal.
Raut penuh ketenangan.
Hening memeluk mereka sejenak. Sapuan udara malam menyelinap masuk ke dalam pakaian mereka. Fadlan terlihat mengambil duduk di sebelahnya, membuat Kaila turut mengikuti hal yang sama.
"Udah kepikiran mau kuliah di mana, Kak?" tanya Kaila memecah keheningan.
Fadlan membiarkan punggungnya menyandar pada dinding ruko. Pemuda itu menatapnya seraya tersenyum. "Udah," jawabnya.
Kaila memeluk kedua lututnya. "Di mana?"
"Di Malang, gue udah kepikiran mau ambil Teknik Sipil di salah satu universitas yang ada di sana."
Kaila memandang Fadlan dari samping, memperhatikan raut wajah yang selalu terlihat teduh meski diterpa sorot lampu redup. "Ternyata waktu cepet banget bawa kita sampai ke titik ini, perasaan baru aja jadi siswa baru," gumam Kaila pelan "Ngomong-ngomong, di awal kita kenal, gue sempet mikir yang nggak-nggak tentang lo, Kak."
Alis Fadlan terangkat sedikit, ia mengalihkan pandangannya dari jalanan untuk menatap Kaila sepenuhnya. "Mikir apa?" tanyanya penasaran.
"Awalnya gue mikir kenapa harus gue di antara banyaknya perempuan yang lebih dari gue? Gue sempet nebak kalau lo playboy, kardus, bahkan gue kepikiran lo lagi jalanin misi taruhan."
Fadlan menggeleng pelan sambil tersenyum. "Terus jawaban yang lo dapet apa?" tanya Fadlan lagi.
"The assumption just came to me. Probably because no one taught me how to think about men." Kaila menghela napas panjang. "Enggak ada satu pun dari asumsi itu yang terbukti benar. Lo emang tulus ke gue, Kak." Fadlan mendengarkan tanpa menyela, pandangannya tetap fokus pada Kaila. "Cowok sesempurna lo, terlalu nggak masuk akal untuk diasumsikan dengan hal-hal kayak gitu," lanjut Kaila.
Hening kembali menyelimuti. Fadlan menatapnya dalam penuh arti, hatinya berkecamuk. Mencintai tanpa harus memiliki? Kenapa stigma ini harus ada di dunia ini? Tidak bisakah ia memilikinya tanpa harus menerima kemungkinan-kemungkinan yang tak diinginkan?
Fadlan sungguh jatuh cinta, tak bisakah membiarkan ia mengalaminya lebih lama?
"Setelah ini, kalau gue ngajak lo main keluar lagi, lo masih mau nggak?" Suara berat Fadlan kembali terdengar.
Kaila mengangguk pelan dengan tersenyum hangat. "Kapanpun Kak, 'kan udah gue bilang, gue nyaman sama lo. Gue juga sayang sama loâ sebagai Kakak."
Fadlan melemparkan seulas senyuman hangat. Kini, di depan ruko dengan penerangan yang tidak seberapa ini mereka sama-sama diam memandang jalanan yang masih senantiasa dibasahi hujan.
"Jadi anak tunggal yang besar tanpa sosok Ayah bikin gue secara nggak sadar bertumpu semua hal sama lo. Maaf ya Kak, kalau gue banyak ngerepotin dan sekarangâ malah terdengar menyedihkan gini," kata Kaila tiba-tiba berucap di tengah keheningan.
Tidak kuat lagi menahan keinginannya. Fadlan membawa kepala Kaila ke dalam dekapan. "Don't say like that anymore, Kaila. Lo selalu luar biasa di mata gue, itu yang bikin gue suka sama lo."
Terkadang ada kejadian-kejadian yang kehadirannya tak pernah diundang untuk datang. Bukan satu hal yang harus selalu dieluhkan. Seperti malam ini, kehujanan dan berteduh di depan ruko tak berpenghuni, ternyata tidak begitu menghasilkan kenangan buruk bagi mereka yang berhasil dikuasai oleh perasaan bahagia.
Dalam hidup, ada yang memang hanya ditakdirkan sebagai pewarna bagi kehidupan kelabu seseorang. Hanya sekadar pemantik atas peristiwa-peristiwa lain yang akan datang.
Bukan untuk ditakdirkan hidup bersama.
Unfair. But that's a life.
Manusia yang ditakdirkan seperti itu memang ada.
Namun bukan berarti ia hanya diberi takdir yang tidak bahagia. Bukan. Hanya saja memang jalur bahagianya, ada di rute lain.
Itu jawabannya.
_____________________
Babak awal hampir berakhir. Ready for the next adrenaline?ð«£ Kok nyesek sendiri ya sama secondlead eikeeeð¥¹ð
Bang.. bang fadlan :