Back
/ 37
Chapter 14

13| Asmalibrasi

The Apple of My Eye [COMPLETE]

Kaila keluar dari ruang OSIS dengan langkah pelan. Tubuhnya terasa remuk setelah rapat evaluasi bulanan yang seolah tak ada habisnya. Sebagai Wakil Sekretaris, ia harus menggantikan Nia— Ketua Sekretaris yang entah sengaja atau tidak, sering kali absen. Jadilah semua beban notulensi jatuh ke tangannya.

Menghela napas panjang, Kaila berjalan menyusuri koridor sekolah yang sepi. Langit di luar sudah berubah warna dari biru cerah menjadi jingga keemasan. Sesekali angin sore berembus membawa aroma dedaunan basah setelah hujan.

Di tengah langkahnya Kaila melihat sosok Agam turun dari tangga lantai dua. Laki-laki itu berjalan santai, seragamnya bahkan sudah tergantikan dengan kaos hitam. Seketika Kaila menghentikan langkahnya, ia melirik jam tangan ternyata udah pukul setengah enam sore. Tumben sekali pemuda itu belum pulang. Dan—bukankah ruangan klub fotografinya ada di lantai satu? Lantas apa yang Agam lakukan di atas sana?

Rasa penasaran membawa gadis tersebut melangkah mengikuti jejak langkah Agam. Tanpa disadari Kaila sudah berada di jarak cukup yang dekat dengan Agam.

"Habis ngapain, lo? Tumben baru balik jam segini," tanya Kaila yang menatap penuh curiga.

Agam yang hendak memasang helm menoleh sedikit terkejut melihat Kaila berdiri tak jauh darinya. "Gue?" tanyanya sambil menunjuk dirinya sendiri.

"Habis merokok ya, lo?" tembak Kaila.

Agam memasang ekspresi santai. Pemuda tersebut meletakkan helmnya kembali di atas jok motor, lalu berjalan mendekat. "Emang kenapa? Kagak boleh?"

Kaila mengerutkan hidung saat aroma nikotin tercium samar dari tubuh Agam. Ia buru-buru menutup hidung dengan tangannya lalu mengamati laki-laki itu dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Sejak kapan lo ngerokok?" tanya Kaila.

Agam mengangkat bahu dengan acuh. "Anak kecil dilarang kepo."

"Dih."

Hening sesaat, Kaila mengamati Agam yang tampak lebih tenang dari biasanya. Selama ini Agam selalu identik dengan sikap tengilnya, tetapi hari ini— ada sesuatu yang berbeda yang terpancar dari aura Agam Pradana.

"Pulang sama siapa?" tanya Agam tiba-tiba.

"Sendiri, lah," jawab Kaila.

Agam menyandarkan punggungnya ke motor sambil melipat tangan di depan dada. "Mana tuh mantan gebetan lo? Kok nggak bareng?" tanyanya dengan nada menggoda.

Kaila mendelik, ia tidak suka bagaimana Agam menyebut Fadlan dengan embel-embel 'mantan' padahal hubungannya dengan Fadlan masih baik-baik saja— hanya saja memang mereka sedang sibuk dengan urusan masing-masing.

"Jangan mulai," potong Kaila.

"Bareng gue aja, ayo," tawar Agam sambil menggerakkan dagunya ke arah motor.

Kaila langsung menggeleng. Hari itu, di mana ia pernah menaiki motor Agam adalah hari pertama sekaligus terakhir. Jok motor itu terlalu curam, membuatnya tidak nyaman. "Makasih, tapi nggak dulu," tolaknya.

Agam melirik jam tangan. "Ini udah mau jam enam. Emang lo nggak takut digondol supir angkot? Belakangan ini lagi banyak, berita—"

"Apaan, sih?! Kok malah nakutin gitu!" sentak Kaila memotong ucapan Agam.

"Yeeh, gue 'kan cuma ngasih tau," jawab Agam.

Kaila menghela napas panjang, berusaha mengabaikan Agam. Ia membuka ponselnya dan segera memesan ojek online. Agam memperhatikan Kaila yang sibuk dengan ponselnya. "Dari pada bayar dua kali lipat, mending bareng gue aja. Gratis nol biaya," katanya lagi.

"Enggak mau." Kaila tetap bersikukuh.

"Emangnya motor gue kenapa, sih? Cakep begini, ganteng lagi kayak yang punya."

"Bikin yang dibonceng jadi nungging begitu, cakep dari mananya gue tanya?" balas Kaila cepat.

Agam tercengang. Butuh beberapa detik sebelum akhirnya ia meledak dalam tawa. "Ya elah, jadi gara-gara jok motor?!"

Tanpa menunggu jawaban, Kaila berbalik meninggalkan Agam yang masih terbahak di sana. Ojek online yang ia pesan sudah tiba di depan gerbang. Kaila menoleh sekali lagi sebelum naik ke ojek online yang sudah tiba. Agam masih berdiri di sana memasang helmnya sambil sesekali melirik ke arah Kaila.

"Lo serius nggak mau bareng gue?" teriak Agam.

Kaila hanya menggeleng. "Nggak. Makasih!" balasnya sebelum motor ojek melaju meninggalkan sekolah yang kini sepenuhnya sepi.

🦋

12 Desember, 2016

Kaila mengucek matanya yang terasa berat kala pintu kamarnya terdengar diketuk berkali-kali. Menyibakkan selimut lalu ia berjalan malas untuk membuka pintu. Jantung Kaila nyaris melesat saat mendengar suara terompet yang teramat nyaring di telinganya. Matanya juga langsung melek seketika.

"Selamat ulang tahun, Kaila!" teriak Sekar dan yang lain.

Gadis itu menutup setengah wajahnya dengan tangan. Bingung— dan terharu tentunya. Ditambah orang-orang di hadapannya sekarang sedang bernyanyi tanpa memperdulikan suara sumbang mereka.

Kaila menggeleng pelan sambil tertawa.

"Ayo make a wish, Kai," titah Ilham sambil merekam situasi dengan ponselnya. Kaila memejamkan matanya kemudian meniup lilin dengan sukacita.

"Aamiin!" seru mereka.

"Selamat ulang tahun, ya, Kaila."

Seorang laki-laki membelah gerombolan di hadapannya. Jalan mendekat dengan membawa sebuket cokelat. Kaila lantas menerima buket tersebut dengan suka cita. "Makasih, Kak," dilihatnya jam dinding yang menunjukkan pukul setengah dua dini hari.

Astaga, mereka rela memakai waktu istirahatnya hanya untuk memberikan kejutan seperti ini? Fadlan juga— bisa-bisanya dini hari rela ke sini hanya untuk ikut-ikutan merayakan padahal dirinya punya jadwal yang padat dalam menyiapkan huru-hara ujian.

Kaila jadi penasaran, siapa komando dari pasukan malam ini?

"Sakit gigi ntar, baru tahu rasa."

Alis Kaila terangkat sebelah. Kepalanya sedikit dimiringkan untuk melihat siapa yang berbicara— Agam, laki-laki yang malam ini hanya mengenakan kaos kutang berwarna hitam dan celana pendek berwarna abu tua itu tampak sedang mengamit kedua sisi pipi Rizal dengan kuat.

"Bwajingwan. Swakwit njir!"

"Elu ngeyelan, sih. Gue kata kalo kebanyakan makan cokelat ntar bakal sakit gigi."

"Lepwaswin swat!"

Terlihat Ratna yang datang menghampiri mereka. "Kalau pada mau minum, itu di bawah sudah tante sediakan minuman, ya. Kalau mau makan juga boleh masak mie. Maaf ya sayang, kalau lauknya sudah pada habis."

"Ah, Tante kayak sama siapa aja," celetuk Sekar.

"Tante lanjut tidur aja, enggak papa kok. Makasih ya, Tan, atas kerja samanya," kata Ilham.

Ratna tersenyum simpul. "Makasih juga buat kalian yang sudah rela-rela kasih kejutan ke Kaila. Tante ke kamar dulu, ya. Have fun, inget, jangan larut-larut. Besok 'kan masih pada sekolah."

Sepeninggalan Ratna, mereka kembali riuh. "Potong kuenya, Kai." Sekar menyodorkan kue di hadapannya.

Menghargai usaha para sahabatnya. Kaila menurut, memotong kue dan langsung melahapnya.

"Yeeh, malah buat diri sendiri."

Kaila menatap heran ke arah Agam dengan mulut yang dipenuhi kue. Pemuda tersebut balas menatapnya seolah kalimat barusan bukanlah apa-apa.

Ilham menyenggol Agam. "Lah ngapa, sih? Bagen bae buat ndiri sendiri, lo berharap kuenya buat lo, gitu?" kini alisnya naik turun jenaka.

"Ngarep lo!" sahut Sekar dan Rizal berbarengan.

Sontak laki-laki tersebut melepas rangkulan Ilham dengan tidak bersahabat. "Dih, kagak! Cuma heran aja, pan biasanya potongan pertama buat orang lain."

"Ya udah, sih? Kok sewot? 'Kan gue yang ulang tahun. Ya buat gue lah," kini akhirnya Kaila bersuara.

Mereka hanya terkekeh pelan, pun dengan Fadlan yang mengacak puncak kepala Kaila dengan gemas. Lalu dengan gerakan secepat kilat ia mencolek ujung hidung Kaila dengan krim.

Kaila terperanjat dan melotot. "Gue udah skincare-an, Kak," kesalnya tertahan.

"For your birthday, enggak afdol rasanya kalo nggak dicolek."

Tiba-tiba Rizal berlari ke arahnya. "Serbu!" serunya lalu memitting leher Kaila. Sekar turut mencolek wajah Kaila dengan tangan yang penuh krim, kalo ini sih sepertinya dendam kesumat.

"Tante, aku minta minum, ya!" Agam tiba-tiba turun ke bawah. Pada siapa dia berbicara, Ilham yang mendengarnya pun tidak tahu. Ia hanya mengamati tingkah Agam sambil menggeleng heran.

🦋

Masih Kaila ingat beberapa minggu yang lalu saat ia membuka media sosial dan mendapati story Instagram dari Laura yang sedang keluar bersama Agam.

Kala itu jari Kaila sempat berhenti di layar. Matanya tertahan memperhatikan bagaimana kedua sosok itu tampak akrab dalam video berdurasi singkat. Laura tertawa renyah sedangkan Agam tersenyum tipis sambil menundukkan pandangannya ke layar ponsel.

Saat melihat potongan story tersebut ia mencoba mengabaikan sensasi aneh yang tiba-tiba memenuhi rongga dadanya. Meyakinkan diri bahwa itu hanya video biasa.

Toh, semua orang punya teman, bukan?

Kendati demikian, tak bisa dipungkiri bahwa ingatan itu terus terbayang hingga beberapa waktu kemudian. Kaila juga masih ingat saat Sekar penasaran siapa sosok yang Rizal dan Ilham maksud di grup obrolan mereka. Meski pembicaraan itu akhirnya berhenti begitu saja, Kaila menduga dengan mudah— sosok yang dimaksud pastilah Laura Christy.

Sejak saat itu Kaila mulai sering 'tidak sengaja' memperhatikan. Beberapa kali ia mendapati Agam dan Laura bersama di kantin. Kadang mereka hanya berdua, terkadang bersama teman-teman Agam yang lain. Seperti siang tadi— saat ia sedang membeli minuman dan mendapati Agam dan Laura duduk di sudut kantin berbincang sambil menikmati es teh manis.

Pemuda tersebut menyadari kehadirannya di kantin. Namun tidak ada yang terjadi di antara keduanya selain melemparkan tatapan dari kejauhan. Kaila juga tak berniat berusaha mencari tahu lebih dalam. Tidak ada hubungannya juga— itulah yang ia yakini.

"Diem-diem bae, berak celana lo?"

Suara Sekar memecah lamunannya. Kaila mendongak mendapati Sekar dan Hana sudah berdiri di depannya sambil membawa dua botol minuman. Kaila yang duduk di pinggir lapangan hanya berdehem pelan.

"Nggak, papa," jawab Kaila singkat.

Sekar mengernyit. "Yeeh, kagak papa dari mana? Muka lo sekarang aja bentukannya udah kayak orang habis diputusin."

"Putus sama ari-ari, noh. Orang gue cuma capek habis nulis laporan OSIS kemarin."

Sekar dan Hana saling pandang namun memilih untuk tidak berkomentar lebih jauh. Sementara itu Kaila kembali menatap lapangan, menonton anak-anak yang sedang tanding basket.

Ah iya.

Hari ini mereka sedang classmeeting, merayakan rasa lelah setelah dua minggu penuh menghabiskan waktu ujian untuk mengakhiri babak semester satu. Waktu begitu cepat berlalu bukan? Telalu cepat membawanya untuk segera bertemu semester dua kelas satu SMA.

Bahkan dalam hitungan beberapa bulan ke depan anak kelas XII akan melaksanakan ujian akhir yang kemudian dilanjut perpisahan sekolah. Bicara soal perpisahan— Fadlan, laki-laki itu serius dengan ucapannya. Pemuda itu sempat berbagi cerita pada Kaila. Mengajak gadis itu keluar hanya untuk sekadar mengumpulkan banyak memori bersama sebelum nantinya mereka akan berpisah.

"Nanti kalau gue beneran keterima kuliah di Malang. Lo baik-baik, ya."

Kaila ingat Fadlan mengatakan hal tersebut dengan sangat percaya diri, membuat Kaila tidak kuasa untuk menahan lekungan garis di bibirnya kala itu. Gadis itu juga dibuat kaget kala Fadlan menunjukan bunga kantil yang sempat ia berikan karena tugas MOS waktu itu. Sudah dilaminating oleh Fadlan untuk dijadikan gantungan kunci.

Sepanjang hari itu, Kaila dibuat feeling guilty tidak menentu. Mempertanyakan seharian, kenapa bisa hatinya tidak bisa terbuka seutuhnya untuk laki-laki setulus Fadlan? Begitu kira-kira.

"Eh lo pada denger info kagak? Katanya nih ya, ada anak baru dari Aussie njir!" ucap Sekar memburu.

Kaila menatap Sekar. "Ilok?"

Gadis itu mengangguk mantap. "Gue kagak sengaja nguping obrolan anak kelas, sih. Mana katanya cakep. Jadi penasaran, dah ama perawakannya."

Hana menyengir. "Kacau juga ya ni warga sekolah, tiap masalah cowok ganteng cewek cantik, napa cepet bener nyebarnya, udah kayak teleportasi."

Kaila mengangguk setuju. Apa yang diucapkan Hana sangat Kaila benarkan, ia juga bahkan heran dengan kekuatan intel anak-anak sekolah. Lambe turah bahkan tidak ada apa-apanya.

"Kapan tu anak baru masuk?" tanya Hana, sedangkan Sekar menjawab dengan gelengan. Ia beneran tidak tahu kalau masalah ini. "Yeeh, gimana sih lo, ah. Nyari tahu kok setengah-setengah."

"Masa gue harus ngulik sampe ke akar-akarnya? Gue kagak segabut itu kali."

Kaila tertawa melihat persepupuan ini bertengkar. Definisi cermin ketemu cermin. "Lagian katanya lo ngincer anak Futsal. Siapa tu kemarin namanya—"

"Jordan!" sela Hana cepat.

Kaila menjentikkan jarinya. "Nah iya, si Jordan! Katanya lo demen sama dia? Kok masih aja ngomongin cowok lain?"

"Ya elah, lo mah kayak baru kenal dia sehari aja sih, Kai," timpal Hana. "Gatelan orangnye, tiap denger info cogan, langsung gemeteran. Pengen bat ni cewek atu gue garuk pake sekop."

Sekar hanya bisa menunjukkan senyuman terbaiknya. Bingung harus membela diri kayak gimana lagi kalau diucapkan mereka adalah fakta. Saat mereka bertiga tengah asik bercerita. Tanpa diundang sebuah bola basket melambung dengan mulus dan terpental ke kepala milik Kaila.

"Fuck," umpat Kaila.

Hana dan Sekar pun sama kagetnya, saat bola oranye itu memantul ke arah mereka. "Kaila, lo nggak papa?" tanya Hana.

"Bayangin palalu kena hantaman bola, terus ditanya kayak gitu apa kagak pengen nelen orang lo?!" sembur Kaila.

Sekar mengambil bola tersebut dengan cepat. Ia juga jadi ikutan emosi. Lebih tepatnya— dia sangat terganggu karena pembahasan mereka yang sempat seru malah terputus begitu saja. "Buta kali ya matanya. Ring basket di sono bisa-bisanya nyasar sampe sini."

Gadis itu berdiri, memantau siapa yang akan menghampiri mereka untuk mengambil bola basket ini. Tampak dari sini segerombolan anak laki-laki di tengah lapangan sana hanya diam saling berkumpul. Singkatnya, tidak ada yang berani mengambil bola yang kini berada di tangan Sekar.

"Siapa nih yang ngelempar bolanya kemari?!" teriak Sekar dengan lantang. Tidak tahan karena mereka sama sekali hanya saling menyuruh satu sama lain.

Kaila dan Hana bahkan terperanjat saat mendengar teriakan tersebut. "Yang kena bola sebenarnya siapa, dah?" bisik Hana.

Kaila menggeleng samar. "Seinget gue, kayaknya cuma gue doang yang kena bola," bisiknya balik.

"Woi lo pada jangan ampe gue gamparin atu-atu, ya! Maju atau gue kempesin nih bola!!" Lagi ancamnya dengan lantang. Nyeri di kepala Kaila bahkan sudah tidak berasa sama sekali.

"Nih orang habis nelan petasan disko ape begimane? Kenape jadi meledak-ledak begitu?" bisik Hana yang membuat Kaila terkekeh.

Mereka berdua diam-diam ikut mengamati situasi. Sampai seorang laki-laki bertubuh jangkung berlari pelan ke arah Sekar.

"My Bad."

Pandangan Kaila dan Hana kembali beradu. Saling bertanya kala melihat Sekar yang tak bergeming di tempatnya. "Kenapa lagi, tuh?" bisik Kaila.

"Tau, dah."

Dalam diam kedua perempuan ini mengamati dari belakang punggung Sekar.

"Oh.. bukan gue kok yang kena."

Tunggu sebentar, kemana larinya suara lantang tadi? Kenapa mendadak berubah menjadi sok halus seperti ini?

"Aduh, terus bolanya kena siapa?"

Sekar menggeser tubuhnya, menunjuk Kaila yang duduk di belakangnya bersama Hana. "...dia."

Kini Kaila bisa melihat wajah pria jangkung tersebut. Tampak tetesan air keringat jatuh di peluhnya. Baju basketnya pun bahkan tampak sangat basah. Laki-laki tersebut berjalan ke arahnya. Bersimpuh lutut di hadapannya. "Are you ok? Sorry gue beneran nggak sengaja. Let me know if anything gets sick."

Kaila mengerjap beberapa kali dengan raut kaget karena disebu secara tiba-tiba begini. Berhubung kepalanya memang sudah tidak nyeri lagi akibat melihat tindakan lucu Sekar tadi, kepalanya menggeleng pelan. "Udah nggak papa," terangnya.

"Thank God. Sorry ya, gue bener-bener nggak sengaja."

"Makanya lain kali, mainnya lebih hati-hati lagi. Ring bolanya di sana, bukan di sini." Kaila berujar mengingatkan.

Laki-laki tersebut mengangguk. Lalu berdiri. Membuat Kaila ikut mendongak. "By the way gue Jake, what's yours?" tanyanya dengan uluran tangan menjuntai di hadapan Kaila.

Matanya memandang tangan tersebut lalu setelahnya menatap Jake. "Kaila."

"Such a cute name."

___________________

Ada udang di balik batu❌️

Ada Kaila di balik batu🫣🙂‍↔️✅️

Eike juga kalo jadi Sekar bakal marah kalau topik seru nan hangat diputus gitu aja😌🙏🏻

Share This Chapter