Back
/ 37
Chapter 15

14| The Opportunity

The Apple of My Eye [COMPLETE]

05 Juni 2017

Hari ini adalah hari perpisahan anak kelas tiga. Kaila menjadi salah satu panitia penyelenggara dan sejak pagi gadis itu tak berhenti mondar-mandir dari lapangan ke ruang OSIS. Panas matahari, keringat yang membasahi pelipis, serta sepatu yang terasa sesak seolah sudah jadi bagian dari dirinya hari ini.

Saat langkahnya tergesa menuju ruang OSIS, lengan Kaila tiba-tiba tertahan dari belakang.

“Mau ke mana?”

Kaila terkesiap, berbalik, dan mendapati Fadlan berdiri di hadapannya. Untuk sesaat dunia Kaila terasa melambat. Dari tempatnya berdiri ia terpaku memperhatikan Fadlan yang hari ini tampak begitu rapi. Kemeja hitam dengan dua kancing atas terbuka, dibalut jas hitam senada. Rambutnya tertata rapi dengan sedikit gel mengilap.

"Oh, Kak Fadlan." Kaila akhirnya bersuara. "Mau ke ruang OSIS, Kak. Ambil baterai kamera buat si Jafar."

Fadlan tersenyum tipis dan melepas cekalan tangannya. "Oh, ya udah. Jangan lari-lari, ntar malah jatuh."

Kaila merapatkan bibirnya sembari tersenyum. Tangannya tergerak di depan wajah. “Ngomong-ngomong Kak, lo keliatan cakep hari ini," ujarnya sebelum kembali berjalan menuju ruang OSIS.

Di tempatnya berdiri Fadlan membeku. Rahangnya mengetat dan untuk pertama kalinya selama mengenal Kaila— ia mendengar gadis itu memuji fisiknya secara langsung.

Setelah Kaila menyerahkan baterai kamera kepada Jafar, ia kembali ke gerombolan panitia OSIS. Wajahnya yang memerah karena panas matahari. Gadis tersebut mengipasi wajahnya dengan kertas lipat. Tak sengaja dari tempat ia duduk, pandangannya tersangkut pada Agam dan Laura di sudut lapangan. Agam tampak merangkul Laura yang berdiri cantik dengan kebaya gold-nya.

"Kak Laura sama Agam pacaran, ya?" suara dari sebelahnya memecah lamunannya.

"Kayaknya iya, deh. Beberapa kali gue sempat liat mereka pulang sekolah bareng. Terus sering makan di kantin juga berdua, masa yang kayak begitu kagak pacaran."

Kaila hanya diam, mengulum bibir dengan pipi yang menggembung. Pikirannya berputar— ternyata bukan hanya dia yang memperhatikan kedekatan itu. Seketika Kaila merasa sedikit tak nyaman mendengar percakapan di dekatnya.

"Bukannya mereka beda agama, ya?"

"Ya elah coi, pesona yang beda agama mah susah buat ditolak. Apalagi lo liat bentukan Kak Laura kayak idol Korea gitu, ya kali si Agam kagak kepincut."

Kaila kembali menatap objek yang dijadikan pembicaraan oleh dua orang di sebelahnya ini. Tak sengaja tatapan mereka salling beradu dari jauh, mempertemukan manik mata masing-masing.

Satu detik, dua detik, hingga detik ke lima belas tatapan itu baru terputus karena Agam diajak Laura untuk mencari spot foto lain. Kaila merasa dadanya sedikit berat, mungkin ini efek samping karena terlalu all out bekerja hari ini? Ia memilih untuk menutup matanya, berusaha menghilangkan perasaan tak nyaman barusan. Belum selesai ia menata perasaannya, suara berat lain menyapa.

"Kaila."

Kaila mendongak mendapati Fadlan berdiri di depannya. "Kenapa, Kak?"

"Foto, yok."

Kaila mengerjap bingung. "Foto?"

Fadlan tersenyum. "Kita belum pernah foto berdua, 'kan? Anggap aja ini hadiah perpisahan lo buat gue."

Senyum Kaila mengembang. "Boleh deh. Ayo gue kasih foto gratis," candanya lalu gadis itu berdiri. Sedetik kemudian tangan Kaila diamit oleh Fadlan menuju suatu tempat— taman sekolah.

"Di sini?" tanya Kaila.

"Kenapa? Nggak suka tempatnya? Mau cari tempat lain?"

Kaila langsung menggeleng. "Eh nggak kok, di sini aja nggak papa, Kak," sanggah Kaila. "Terus yang fotoin kita siapa?"

Laki-laki itu tampak mengedarkan pandangannya. Lumayan banyak anak-anak yang juga sedang berswafoto di sini. Hingga Fadlan menemukan seseorang yang dirasa bisa membantunya.

"Agam!" panggil Fadlan.

Raut kaget jelas saja terpatri di wajah Kaila, gadis itu ikut menatap arah tatapan Fadlan. Di sana— Agam berdiri tak jauh dari mereka.

"Apaan?" tanya Agam yang mendekat.

"Boleh tolong fotoin kita, nggak?" pinta Fadlan.

Agam tampak bimbang sebelum mengangguk singkat. Fadlan pun langsung menyerahkan ponselnya. "Tolong ya, bro." Fadlan langsung mengambil tempat di sebelah Kaila.

Dalam diam, bola mata hazel milik Kaila mengamati gerak gerik Agam. Dilihatnya laki-laki itu bergumam tanpa suara, tidak terima kala Fadlan memanggilnya bro.

"Tapi baju gue nggak selaras nih sama baju lo, Kak." Kaila menunjukkan baju panitianya yang jomplang dengan setelan Fadlan yang sangat formal.

"Enggak papa, lo tetep cantik," ujar Fadlan.

"Takut gue mintain bayaran foto 'kan kalo kagak muji gue?"

Agam berdehem keras, mengalihkan atensi Fadlan dan Kaila. "Gue hitung, nih ya! Satu.. dua.."

Fadlan menarik Kaila ke dalam rangkulan, membuat Kaila sedikit terkejut namun tetap menunjukan senyuman terbaiknya.

"Jelek. Si Kaila kayak musang birahi, ulang-ulang."

Nyaris mengumpat, akan tetapi gadis itu tahan. Rangkulan Fadlan juga semakin terasa di pundaknya. Akhirnya Kaila memilih untuk bersedekap sambil menyender di bahu Fadlan.

"Apaan banget tuh begitu? Terlalu intim ini, lo berdua malah keliatan kayak biawak kawin, ganti ganti, kagak pantes diliat bocil."

Kaila tercengang di tempat, menatap Agam tidak percaya. Gadis itu bahkan telah berkacak pinggang kesal. Sadar akan tatapan bengis itu, Agam malah bertanya sambil menggerakkan dagu.

"Apa?"

Kaila menghela napas, dirinya masih sadar total kalau mereka lah yang membutuhkan jasa foto Agam. "Lo tuh, yang serius bisa nggak, sih? Mulut lo juga jelek banget ngomongnya."

"Kan gue cuma mengarahkan, dari pada ntar susah-susah foto tapi kagak ada yang bagus?"

Fadlan menepuk pelan bahu Kaila yang masih di dalam rangkulannya. "Udah udah, kita lanjut, ya?"

Kaila mengepalkan kedua tangannya erat. Napasnya tampak memburu dengan mata yang masih fokus melemparkan tatapan kesal ke arah Agam, suasana hati gadis ini sudah diambang kerusakan. "Kok lo nggak marah sih, Kak? Dia tu ngatain kita!"

Fadlan terkekeh. "Bercanda itu, Kai, jangan gampang kepancing emosi."

"Noh dengerin," timpal Agam. "Buru ah lanjut."

Kaila mengatur napas pelan, berusaha semaksimal mungkin untuk mengontrol ekspresinya. Kalau mukanya jelek di kamera, yang rugi kan Kaila sendiri.

"Satu.. dua.. lanjut."

"Satu.. dua.. dah."

Agam mengembalikan ponsel Fadlan. "Nih, kagak ada tambah dan pengulangan," katanya kemudian berlalu dari sana, sedang Kaila hanya menghentakkan kaki kesal.

🦋

Suasana bandara sangat ramai. Manusia berlalu lalang di sini. Seminggu setelah perpisahan kemarin, tepat hari ini— Kaila ikut mengantarkan Fadlan ke bandara. Gadis ini merasa sedih, belum apa-apa ia sudah merasakan kehilangan salah satu support system-nya, teman yang pengertian, Kakak yang amat mengayomi, pendengar yang tidak pernah protes saat ceritanya terlalu berkepanjangan.

Pohon itu— kehilangan salah satu daunnya yang paling sempurna.

"Lo nggak bakal lupain gue 'kan, Kak?"

Fadlan tersenyum penuh arti. "Harusnya gue sih yang nanya kayak gitu," canda Fadlan.

Kalau saja— kalau saja perasaan bisa dikendalikan melalui sistem teknologi. Maka sudah pasti gadis ini akan mengaturnya untuk membalas perasaan Fadlan yang tidak memiliki celah kekurangan ini.

Kalau saja perasaan itu bisa ditebak kapan akan datang, maka Kaila jelas akan memilih untuk menunggu hingga waktu itu akan tiba.

"Boleh peluk?" tanya Fadlan.

Kaila mengangguk pelan, lalu dalam hitungan detik tubuh mungil itu sudah berada di dalam dekapan Fadlan. Dipeluknya tubuh Kaila erat, memori ini selamanya akan terpatri di sudut hati.

"Sekolah yang pinter, ya. Kalau capek istirahat, bukan menghilang dari pandangan orang-orang. Kurang-kurangin emosiannya, lo tu cantik kalo lagi senyum." Fadlan mengusap kepala Kaila lembut.

Kaila tersenyum. "Makasih ya, Kak, untuk beberapa bulan belakangan ini. I'm really grateful to know you, Kak. Thank you for everything. Jaga diri di sana, lo jangan pernah telat makan. Karena katanya, gerd itu penyakit anak kos."

Pelukan tersebut melerai. Saling beradu tatap sebelum terputus akibat suara intruksi bandara terdengar. "Iya Kaila, gue masuk dulu ya, yang lain sudah di dalam. Sampai ketemu di lain waktu, Kaila."

"Take care and safe flight ya, Kak. Salam sama keluarga, ya!"

Fadlan melambaikan tangannya yang turut dibalas oleh Kaila. Di bulan Juni 2017, kedua insan yang ditakdirkan hanya untuk saling mewarnai hidup mereka yang kelabu tersebut, berpisah.

Tidak ada dendam. Tidak ada amarah. The feeling of not wanting to let go was at the bottom of their hearts. Saling melepas, tapi bukan berarti kisah mereka tuntas.

🦋

Waktu berjalan tanpa jeda. Terasa cepat bagi mereka yang dilanda perasaan bahagia, terasa begitu lama bagi mereka yang dihadapi perasaan menyesakkan dada.

Namun bagi Kaila, kehidupannya terasa seimbang. Ada kalanya hari berlalu begitu cepat, ada kalanya terasa lambat. Seperti hari ini, hari di mana ia kembali masuk sekolah setelah melewati libur kenaikan kelas selama sebulan. Kini mereka kembali sekolah di tahun ajaran baru dengan status baru pula.

Kaila resmi menjadi anak kelas sebelas— tepatnya XI IPA 3.

Gadis ini menghela napas dengan amat berat karena tidak ada satupun temannya yang sekelas dengannya di tahun ini. Agam berada di IPA 4, Sekar berada di IPA 1, Hana berada di IPA 2, sedangkan Rizal dan Ilham berada di IPS yang memang sedari awal sudah beda jurusan dengan dirinya.

Kali ini ia benar-benar sendiri, dan harus kembali beradaptasi lagi dari nol.

Langkah kaki jenjang itu membawanya untuk melangkah ke bangku pojok belakang. Tak ada semangat untuk duduk di barisan depan.

Sesampainya di bangku, gadis tersebut memilih merebahkan kepalanya di atas meja untuk tidur sambil menunggu wali kelas datang. Dalam kondisi mata yang terpejam, Kaila masih dapat mendengar bahwa kursi di sebelahnya diseret. Malas membuka mata karena rasa lelah lebih menguasai dirinya sekarang, Kaila tetap memilih untuk mengabaikan siapapun yang duduk di sebelahnya nanti.

Cukup lama Kaila menyelam ke alam mimpi hingga tepukan pelan di bahunya kembali membuat ia tersadar. Kaila menegakkan punggung, menguap, lalu mengucek mata kanannya.

"Don't do that, your eye could be damaged."

Sebuah tangan menghentikan aktifitas Kaila. Mata Kaila beralih pada seseorang yang mengambil duduk di sebelahnya. Butuh waktu beberapa detik bagi gadis ini mengenali wajah pemuda tersebut. "Lo—" matanya menyipit sambil menerka nama seseorang di sebelahnya. "Jake?"

"You remember me."

Siapa juga yang bisa melupakan nama laki-laki yang membuat kepalanya yang tak bersalah ini dihantam bola basket? Gadis ini berdecih pelan. Kemudian menyisir rambut kebelakang. "Lo di kelas ini juga?" tanya Kaila.

Kepala Jake tergerak untuk mengangguk. "Kursinya nggak ada orang, 'kan? Gue duduk sini, ya."

"Udah lo dudukin dari tadi, ngapain masih izin segala," ujar Kaila.

Jake tertawa gamang mendengar ucapan Kaila yang sedikit menendang ulu hatinya. Keduanya lalu kembali diam saat wali kelas yang sudah masuk mulai terdengar memperkenalkan diri di depan sana. Kaila melirik Jake dalam diam. Setidaknya untuk satu tahun ke depan, dirinya memiliki teman yang bisa diajak ngobrol di sini.

____________________

Kaila sama Agam diliat-liat hobi bener ye tatap-tatapan. Kunci aja mulutnya pake gembok kalo kagak tau fungsi mulut🙂‍↔️

Kaila to Jake : 🤾🏻‍♀️🖐🏻

Share This Chapter