Back
/ 37
Chapter 16

15| The Planning

The Apple of My Eye [COMPLETE]

Rembulan malam ini tampak bulat sempurna. Cahaya itu bersinar terang, menunjukkan kedudukan atas keelokan paling unggul yang tak akan bisa diraih oleh siapapun.

Hampir setengah jam gadis ini menghabiskan waktu di atas JPO. Memandang kesempurnaan langit malam dengan kendaraan yang tiada henti melewatinya di bawah sana. Kaila tidak mengerti, kenapa fasilitas ini sangat jarang digunakan oleh masyarakat sekitar. Padahal kalau berdiri di sini di malam hari, sangat cukup membantu me-refreshingkan diri kala melewati hari yang menguras energi.

Peraduan cahaya langit malam dan cahaya dari bangunan-bangunan kota sangat memanjakan mata. Seolah menyerap semua rasa lelah yang ada.

"Ngapain di sini?"

Gadis yang bertumpu pada pembatas jembatan, menoleh ke sumber suara. Raut terkejut kala memandang sosok tinggi menjulang, berdiri di dekatnya. Pendar cahaya bola mata hazel ini tampak kembali normal. "Lo?"

Jake hanya tersenyum. Tak ada yang bersuara setelahnya. Hanya kebisingan lalu lalang kendaraan. Angin malam menyapu anak rambut Kaila lembut. Gadis itu kemudian kembali memandang jalanan.

"Lagi ngapain malam-malam di sini? Kok nggak langsung pulang? Nggak takut emangnya?" tanya Jake ulang sembari mengamati Kaila yang masih mengenakan pakaian putih abu.

"Baru juga setengah tujuh."

Jake ikut bersandar. "Jembatan ini jarang banget dilewati. You must be carefull, nggak semua tempat terbuka itu aman, apalagi lo cewek."

"Being a woman doesn't mean we don't dare to do anything, kita nggak selemah itu."

Jake tertegun, sebentulnya sejak awal, pria ini sudah mampu menilai bahwa Kaila tidak semudah itu diajak komunikasi. Apa lagi didekatin. Benar-benar tipekal yang harus dikejar, bukan mengejar. Tipekal yang harus didekatin secara halus, bukan secara gamblang.

"Iya tahu, tapi bukan itu maksud gue. Sekalipun cewek bisa bela diri, alangkah lebih baik menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, 'kan?"

Kaila menghela napas pelan. "Tadi pulang emang agak kesorean karena rapat evaluasi MPLS kemarin. Terus— ya udah sekalian aja gue jalan-jalan sambil ngilangin bosan."

"Emang nggak dicariin?" tanya Jake.

Kaila mengangkat bahu acuh. "Jam segini di rumah belum ada orang."

Laki-laki itu memandang Kaila dengan alis terangkat. Sadar kalau sedang diperhatikan, Kaila pun menoleh. "Kenapa?"

"Nope." Jake menggeleng.

Lalu, sekarang Kaila yang balik memandang Jake dari samping. "Lo juga ngapain di sini?"

"Nih, habis keliling main skateboard," jawabnya dengan pandangan yang menuntun Kaila untuk melihat apa yang ada digenggamannya.

Kaila berohria lalu mengangguk paham. "Sebelum gue lupa, gue pengen nanya deh, Jake."

"Tentang?"

"Lo anak pindahan yang pernah viral di sekolah itu 'kan? Soalnya gue nggak pernah liat lo sebelumnya," mata Kaila menatap manik Jake.

Merasa asing dengan situasi ini, Jake memilih untuk membuang pandangannya. "Nggak lah, nggak sampe viral," katanya terkekeh.

"Kenapa milih buat balik ke sini? Emang di sana nggak enak, ya? Lingkungannya bikin nggak betah?" tanya Kaila penasaran.

Tidak ada raut takut. Tidak ada kegentaran di setiap ucapannya. Jiwa penasaran yang murni tanpa adanya unsur tebar pesona. Sungguh gadis yang tidak biasa.

"... my parents died, that's why I came home and chose to live here with my big sissy," ujar Jake.

Bola matanya jelas melebar saat kalimat dari Jake masuk dengan mulus ke dalam pendengarannya. Kaila menutup mulut lalu mengusap wajahnya panik. "Jake, sorry. Gue nggak bermaksud—"

"Enggak papa, there's nothing you need to worry about."

Bahu Kaila merosot. Perasaan tidak enak tetap menggerayangi hatinya. Gadis itu bahkan kini malah menatap Jake dengan perasaan bersalah. Kaila kembali bersuara. Menggigit bibit bawahnya. "Sorry."

"Gue nggak papa, Kaila."

Butuh waktu bagi Kaila untuk merespon kalimat Jake. Memiliki orang tua yang tidak lengkap saja rasanya ada yang kurang. Apalagi kehilangan keduanya? Kaila tidak bisa membayangkan situasi itu.

Terlalu larut dalam pikirannya, Jake kembali bersuara memecahkan keheningan di antara mereka. "Mau denger satu cerita, nggak?"

Kaila tidak bersuara namun rautnya menunjukan kalau ia penasaran.

"Ini tentang kupu-kupu— yang lahir tanpa tahu siapa induknya. Dari telur bahkan mereka sudah ditinggal, tapi mereka bisa tetap berproses menjadi larva, lalu menjadi kepompong yang bergelantungan di bawah cuaca yang nggak menentu."

Jake memilih bertumpu di pembatas jembatan. Sejenak memandang Kaila yang mulai larut dalam ceritanya.

"Begitu keluar dari kepompong, mereka langsung kesana kemari buat mencari makan sendirian di dunia yang bahkan mereka sendiri nggak tahu gimana cara kerja hukum alam di sini. Tapi— sebebas-bebasnya mereka mencari makan, nggak semua bunga memiliki nektar yang bisa mereka hisap."

Gadis ini masih terhanyut di dalam cerita Jake. Bahkan ia ikut menumpukan diri di pembatas jembatan.

"That's way kupu-kupu masih harus berjuang pagi untuk terbang dari satu bunga ke bunga yang lain. Tapi buktinya— mereka bisa tumbuh menjadi kupu-kupu dewasa yang indah. Kupu-kupu aja bisa hidup seorang diri, masa gue nggak bisa? I'm also not alone in this world, there are still people who care about me— and if you want to be one of them, I'll let you." Jake tersenyum, hingga matanya ikut menyipit. Menciptakan debaran jantung yang datang tanpa permisi di dalam dada Kaila.

Gadis tersebut tercengang sebelum terkekeh renyah. "Foreign culture is still with you," katanya sambil menggeleng pelan. "Thanks udah berbagi cerita tentang kupu-kupu. And seeing you standing in front of me now— makes me pretty sure you've grown well, Jake." Kaila menepuk bahu Jake beberapa kali.

🦋

Tidak ada yang spesial di hari Senin ini. Kecuali seorang pemuda yang berjalan mondar-mandir, mendokumentasikan kegiatan upacara dengan kamera yang digenggamnya. Upacara kali ini adalah penyambutan resmi siswa/i baru angkatan 2017 oleh kepala sekolah.

Sesekali dahi pemuda itu terlihat mengerut saat meninjau hasil jepretannya. Sepertinya ia tak menyadari bahwa dirinya menjadi pusat perhatian beberapa anak perempuan termasuk di antara mereka— para siswa baru.

Saat Agam melangkah sedikit lebih jauh, mata para anak perempuan pun ikut bergerak mengikuti setiap geraknya. Ketika Agam  membidik kamera ke arah mereka, beberapa anak perempuan terkejut dan menjerit tertahan.

"Agam makin kesini makin ganteng aja ya, kalo diliat-liat."

"Lah, pacarnya aja cakep. Ya kali dia kagak ikut glow up."

"Ya elah, lo mah. Kenapa pake diingetin lagi, sih?"

"Sadar, sadar. Saingan lo spek bidadari, tuh."

Kaila mendengar obrolan dari dua anak di kelas barunya ini. Ia mengerutkan dahinya, geli. Apa sih yang dilihat orang-orang dari pria tengil itu? Rasanya perbincangan soal kehidupan pribadi Agam tak ada habisnya.

Tiba-tiba Kaila tersadar, belakangan ini mereka berlima semakin jarang berkumpul dengan formasi lengkap. Dulu mereka kerap kali berkumpul di salah satu rumah untuk sekadar bertukar cerita atau berleha-leha. Namun saat ini— paling-paling cuma Sekar yang selalu bersedia menemani Kaila di rumahnya, itupun tidak selalu. Waktu mereka di luar sekolah sekarang sudah mulai terbagi dengan rutinitas masing-masing.

Ilham yang kadang bermain futsal, Agam yang banyak menghabiskan waktu di klub fotografi atau Rizal yang nongkrong sana-sini karena temannya ada di mana-mana.

Berkurangnya waktu berkumpul secara lengkap membuat Kaila merasa tertinggal banyak hal. Bahkan sekadar kevalidan simpang siur yang saat ini beredar— ia tidak tahu apa-apa.

"Eh, tu bocah motret kita nggak, sih? Senyumin kali, ya?"

"Iyalah! Ya Allah, kapan lagi, coba."

Kaila menatap Agam dari kejauhan. Matanya bertemu dengan mata Agam yang membalas pandangannya dengan senyuman miring penuh arti.

"Disenyumin balik dong, anjir?!"

"Walaupun tampangnya kayak buaya kali, gue akui pesona Agam nggak main-main."

Sementara itu, Kaila kembali memfokuskan perhatiannya pada pidato penutupan dari kepala sekolah. Ketika upacara akhirnya selesai suasana di lapangan perlahan mulai kembali normal. Para siswa baru terlihat berbicara riang dan saling berkenalan satu sama lain.

Kaila menghela napas pelan mencoba menepis rasa hampa yang tiba-tiba datang begitu saja. Mungkin ini yang disebut perubahan— gadis itu mengamati momen mereka dengan seksama. Seulas senyuman tipis tercetak di wajahnya, Kaila jadi merasa de javu dengan momen-momen yang tak bisa diulang tersebut.

🦋

Di tengah-tengah penjelasan guru di depan, Kaila menyibukkan diri di kursinya dengan menggambar sketsa sebuah baju. Jake yang duduk di sebelahnya pun hanya menopang dagu, memperhatikan gerak gerik tangan Kaila.

"Suka gambar?" tanya Jake akhirnya.

Gadis itu tersenyum. "It will be my job soon."

"Really? You wanna be a designer?" Jake memastikan.

Kepala gadis ini tergerak untuk mengangguk. "Doain aja."

Jake berdecak kagum, pasalnya tangan Kaila begitu lihai dalam mencorat coret sketsa di atas kertas putih itu. Dan saat gambarnya sudah jadi sepenuhnya, Jake kembali dibuat terkesima. "Such a talented girl," pujinya tulus.

Kepala gadis ini menoleh lalu sedikit medongak untuk menatap Jake. "Lo pengen jadi apa?" tanya Kaila.

Tidak langsung menjawab. Kelopak mata itu mengedip beberapa kali lalu membenarkan posisi duduknya. Jake berdehem pelan sebelum bersuara. "Nggak tahu, belum kepikiran, sih."

Kaila mendengus lalu memperhatikan hasil gambarnya. "Seriusan belum kepikiran? At least udah punya bayang-bayang, lah." katanya menasehati. "Hobi lo apa?"

"Hobi, ya? Gue sih suka main basket."

Seperti hal yang pertama kali Kaila tangkap dari Jake. Bola basket. Kaila lalu memperhatikan Jake dengan seksama, tubuhnya memang menunjukan postur seseorang yang gemar berolahraga. Masih tergolong pas untuk anak sekolahan. Tidak terlalu besar tidak terlalu kurus juga.

"Kayaknya lo cocok deh jadi model," celetuk Kaila.

"Ha?"

Kaila terkekeh dengan ucapannya kemudian menggeleng pelan. "Seenggaknya lo harus menyiapkan planning buat masa depan dari sekarang. Jangan sia-siain waktu yang terus berjalan, udah kelas sebelas, terus nggak lama lagi bakal jadi anak tertua di sekolahan. Nah, lo 'kan demen basket tu, kenapa nggak tekuni aja? Siapa tau someday ada club basket yang siap nampung pemuda bertalenta kayak lo."

"Udah ada kok."

"Lah, beneran?"

Jake mengangguk. "Cuma belum gue terima, bahkan kontraknya juga belum gue baca."

Kaila gregetan sendiri di kursinya, beruntung sekarang ada guru di kelas. Kalau tidak habis sudah Jake kena siraman ceramahnya. "Ih dodol banget sih, lo. Kenapa nggak lo baca?"

"Iya-iya habis ini gue baca."

"Jangan iya-iya doang! Tapi bener-bener dimanfaatin, Jake. Itu kesempatan emas buat lo juga."

"Siap, coach!"

Mendengarnya membuat gadis tersebut terkekeh sambil menggeleng pelan. Seiring berjalannya waktu. Kekakuan yang melekat pada diri kedua insan ini melebur menjadi sebuah kehangatan di setiap komunikasi yang terjadi.

____________________

Memasuki masa feeling lonely-nya dek Kaila nih karena temenya udah pada punya kesibukan masing-masing..

Batin Kaila saat mendengarkan gosip anak-anak:

- JPO : (Jembatan Penyebrangan Orang) yang biasa ada dijalanan raya.

Share This Chapter