Back
/ 37
Chapter 17

16| The Difference

The Apple of My Eye [COMPLETE]

"Menurut lo, Agam tuh beneran pacaran nggak sih sama Kak Laura?"

Demi Tuhan, hari ini Kaila sudah mendegar topik ini lebih dari lima kali. Dirinya yang sedang serius menonton serial drama Korea hanya melirik Sekar sekilas. "Mana gue tau sih, Kar? Emang gue Tante Desi? Kenapa nggak lo tanya aja sama yang bersangkutan?"

"Ish!" Sekar berdecak. "Udah Kai, tapi kagak direspon serius."

"Lagian lo beneran ngarepin Agam ngomong serius? Ya elah, bakal keduluan limbad ngaji depan publik percaya dah ama kata gue."

"Gue tu kepo, Kaila!"

"Ya udah sih, sono datengin aja rumahnya di depan. Lo dobrak tu pintu kamarnya biar dia mau nge-spill hubungannya."

"Tu anak aja kerjaannya pergi-pergi mulu! Beneran pacaran dah kayaknya, Kai."

"Au dah, Kar, gue mau fokus nonton, nih," kata Kaila.

Sedangkan Sekar hanya mencibir lalu ikut menelungkupkan badan di sebelah Kaila. Turut menyaksikan drama Fight For My Way. Kali ini pesona Park Seo Joon berhasil menghipnotis kedua perempuan ini.

"Duh ini emaknya si Park Seo Joon ngidam apa, ya? Ampe anaknya cakep begini," gumam Kaila.

"Buset roti sobeknya," Sekar turut bergumam. Kemudian seolah tersadar sesuati. "Eh Kai, kok gue jadi keinget anak baru itu, ya? Yang temen semeja lo itu."

"Kenapa tuh tiba-tiba inget dia?" tanya Kaila dengan tatapan yang masih fokus ke layar laptop.

"Diliat-liat doi badannya juga keker nggak, sih? Atletis gitu, ya walaupun badannya ketutupan seragam tapi gue yakin dah kalo perutnya itu kayak roti sobek, bukan roti donat."

Kaila menyemburkan tawa. "Anjir lo."

"Bener, 'kan? Mukanya juga mana ganteng banget lagi. Enggak ngebosenin gitu. Please, kali ini lo harus setuju sama ucapan gue," kata Sekar hiperbolis.

Kaila hanya berdehem kemudian mengangguk, membuat Sekar menatapnya dramatis. Matanya bahkan tampak berbinar-binar sekarang seolah habis mendapatkan sebuah pengakuan sakral yang tidak akan pernah didengar ulang.

"Sumpah lo setuju sama ucapan gue?!" seru Sekar, sontak tangan Kaila tergerak untuk mendorong wajah Sekar dari samping.

"Finally ada juga cowok yang diakui ganteng di depan gue!" Sekar berucap gemas. "Hoki lo udah kepake tu, Kai. Duduk sebelahan sama cogan selama setahun, kagak bakal ngantuk dah di kelas."

"Hoka hoki hoka hoki, diem ah. Gue jadi gagal fokus, nih."

"Ceileh, gagal fokus karena habis muji cowok," Sekar berseru semangat sambil menoel-noel lengan Kaila. "Asik.. udah gede, udah bisa nentuin cowok ganteng.."

Kaila menjeda drama yang ia tonton, kini matanya menatap Sekar tak percaya. Sementara itu, Sekar sudah mengambil posisi duduk untuk mengambil ancang-ancang sebelum dihantam oleh bantal guling oleh Kaila.

"Balik nggak lo? Balik!"

Sekar tertawa puas lalu turun dari kasur. "Uuu.." ujarnya lagi sebelum benar-benar berlari keluar dari kamar Kaila.

🦋

Gadis itu mengedarkan pandangan ke segala sisi, mencari kursi ataupun pijakan bantuan namun tidak menemukan satupun alat bantu pijak di sana. Lantas Kaila memilih untuk berjinjit, berusaha mengambil buku yang terlampau tinggi di atasnya.

Gotcha.

Tangannya berhasil meraih buku tersebut bersamaan dengan pergelangan kaki kirinya yang mendadak terasa kram, membuat dirinya tidak seimbang. Buku yang digenggam tadi sudah terbang melayang begitu juga dengan tubuhnya yang nyaris menghantam lantai— kalau saja sebuah tangan tidak menopangnya.

"Aduh." Kaila meringis kesakitan pada kaki kiri yang kram.

"Udah tau badan pendek sok banget mau ngambil buku paling atas."

"Bisa nggak sih, ditahan dulu hinaan lo itu?" Kaila berdiri seutuhnya dibantu oleh Agam.

Gadis itu tampak melemaskan kaki kirinya, bertopang pada rak buku kemudian kaki tersebut sedikit dihentak-hentakkan ke lantai. Cara ini menurutnya adalah cara paling jitu agar kram cepat hilang. Tidak butuh waktu lama, kakinya sudah terasa kembali normal.

Kaila menatap laki-laki di hadapannya dengan tidak minat. "Makasih."

"Enggak ikhlas banget tu muka," gerutu Agam. "Tau gitu tadi gue biarin lo nyium lantai."

Kaila mendelik sesaat lalu membenarkan posisinya. "Beneran?" katanya yang kemudian berjalan mendekat ke arah Agam dengan tapak langkah yang halus.

Tatapan mereka bahkan belum putus. Aroma  parfum milik Agam juga mulai memasuki indera penciuman Kaila, membuat sang lawan merasa kalang kabut sambil menahan napas gusar dan turut mundur pelahan.

"Ma— mau ngapain lo?!" sungut Agam.

Langkah Kaila terus maju. Mengikis jarak di antara keduanya hingga punggung pemuda ini menabrak rak buku di belakangnya. Bulu kuduk Agam jelas berdiri kala helaan napas Kaila menyapu ceruk lehernya.

Aroma rambut Kaila bahkan tercium— aroma vanila.

"Orang gue cuma mau ambil ini," ujarnya enteng saat berhasil mengambil buku yang tergeletak di lantai, tepat di sebelah tubuh Agam. Gadis itu lantas berdiri dan beringsut mundur kembali dengan memberikan jarak tiga langkah.

Agam merasakan telinganya yang memanas sekarang, sedangkan di hadapannya Kaila mengeluarkan senyum penuh kemenangan.

Salahkan saja Agam karena salah mencari lawan. Walaupun penampilan luar Kaila sekilas bak seorang peri, nyatanya gadis ini adalah titisan Medusa.

"Salting lo?"

"A—apaan?! Jangan sok tau!" sungut Agam.

Kaila tersenyum miring. "But, your ears tell me," katanya sambil menunjuk telinga Agam yang merah.

Dan sekarang Agam digeluti perasaan malu yang bertalu.

Sialan..

Sebelum memilih berlalu dari hadapan Kaila, pemuda itu menyempatkan diri untuk menjentik kening Kaila kuat. Dengan teriak tertahan, Kaila menatapnya tajam. Pemuda tersebut berjalan cepat meninggalkan Kaila dengan senyuman yang tak kalah puas. "Satu sama," ucap Agam.

🦋

"Dikejar siapa lo? Sampe merah begitu tu muka."

Agam menghempaskan tubuhnya di atas bangku kantin tanpa memberi respon, membuat Rizal menatap Ilham dan Ben bergantian, mengendikkan dagu saling memberikan sinyal bertanya satu sama lain.

"Argh sialan banget!" umpat Agam sambil menggebrak meja kantin. Jelas hal itu membuat mereka bertiga kaget bukan main.

"Anjing! Ni bocah kenape, sih?" Rizal kembali memastikan. Sedangkan Agam masih saja tidak menggubris mereka.

Keterdiamannya tidak bertahan lama di sana. Saat netra milik Agam tak sengaja menangkap siluet Kaila yang baru saja memasuki kantin— bersama seorang laki-laki yang belum ia ketahui namanya. Terlihat gadis itu tertawa sumringah. Tidak ada raut mendidih, tidak ada raut emosi, dan gadis itu tidak tampak seperti Medusa.

Tanpa sadar tangannya terkepal kuat. Memperjelas urat-urat di sekitar kepalan. Deru napasnya juga terdengar memburu. Lagi, membuat ketiga orang temannya menatapnya heran.

"Gam..." cicit Ben.

"Kayaknya dia kerasukan penunggu taman belakang, dah," sahut Ilham.

Mereka bertiga diam mengamati. Menyadari kalimat yang baru saja terlontar dari bibir Ilham. Di sekolahnya ini— memang ada rumor bahwa taman belakang sekolahnya itu angker! Terlebih ada dua pohon beringin tua di sana. Tidak lucu bukan kalau sampai si Agam beneran kesurupan.

Baru juga jadi topik perbincangan batin mereka bertiga. Laki-laki itu kini tertunduk di tempatnya. Sesekali terkekeh halus. "Fine! Berani lo ya sama gue," gumamnya pada diri sendiri.

Rizal menoleh kepada Ilham dan Ben, memberikan kode ancang-ancang. Lebih tepatnya— mereka mempersiapkan diri untuk kabur dari kantin detik ini juga. Perihal preman mungkin mereka bisa tangani. Tapi perihal makhluk tak kasat mata, tangan mereka jelas terangkat.

Menyerah.

🦋

Kaila baru saja keluar dari ruang OSIS usai melakukan rapat bulanan seperti yang sudah-sudah. Langit telah memperlihatkan awan mendungnya. Suasana juga sudah sepi sekarang. Gadis ini berjalan cepat menuju gerbang utama.

Di sana, ia menunggu angkot dengan sedikit gusar. Kadang kala jika situasi sedang seperti ini, keinginan untuk sekolah dengan membawa kendaraan pribadi lebih besar dari rasa takut yang ia punya. Beberapa kali kepala itu menoleh untuk melihat angkot jurusan rumahnya.

Suara klakson mobil membuat atensinya teralihkan. Dilihatnya mobil hitam yang berhenti di hadapannya. Kaca mobil terbuka, memperlihatkan Jake yang sedikit menundukkan kepala menatap Kaila dari dalam.

"Ayo bareng."

"Makasih, tapi nggak perlu repot-repot. Bentar lagi angkot gue dateng, kok," tolak Kaila halus.

Jake mengedarkan pandangannya ke langit yang tampak semakin gelap. "Udah mau hujan tuh, yakin mau nunggu?"

Kembali diingatkan, Kaila pun turut memperhatikan suasana langit yang muram, gadis itu mengigit bibir, tampak menimbang sesuatu.

Tidak tahan, Jake pun keluar dari sana. Mengitari mobil, lalu membuka pintu penumpang. "Kelamaan mikir, ayo cepet masuk."

"Thanks," Kaila pun masuk kedalam mobil Jake.

Selama diperjalanan tidak ada yang membuka suara. Hanya playlist lagu The 1997 yang memecahkan keheningan di antara mereka.

"Kok lo baru balik?" tanya Jake akhirnya.

"Biasalah, rapat OSIS," jawab Kaila sekenanya. "Lo juga kok masih di sekitar sekolah?" kini Kaila yang balik penasaran.

"Gue habis main basket."

Kaila mengangguk samar, memandang Jake dari samping. Pantas saja seragam sekolah tersebut sudah berganti kaos abu tua tanpa lengan. Keringat Jake juga masih terlihat di beberapa titik. Ada satu hal yang menjadi pusat perhatian Kaila sekarang.

Sebuah kalung rosario titanium yang pria ini kenakan.

Ah, ternyata— mereka berbeda.

"Muka gue ganteng banget emangnya?"

Gadis itu sontak terkesiap. Membuang pandangan keluar jendela, merutuk diri dalam hati karena kepergok menatap Jake secara terang-terangan. Tanpa tahu, kalau Jake sedang mati-matian menahan senyum agar tidak terbit detik ini juga.

____________________

Pesona cowo beda agama :

Jangan terbawaa ea kai😞 You both are different😞🧎🏻‍♀️‍➡️

Share This Chapter