8| The Divide Between Souls
The Apple of My Eye [COMPLETE]
Waktu terus berjalan berbarengan dengan deru lembut air conditioner yang memenuhi keheningan kamar Kaila. Udara dingin menyelimuti ruangan yang tertata rapi dengan rak buku kecil di sudut ruang dan meja belajar penuh catatan.
Kaila yang masih bersandar di bantal empuk berwarna merah muda menatap layar ponsel yang memantulkan cahaya di wajahnya. Jemarinya sibuk membuka-tutup aplikasi pesan sementara pikiran bercabang-cabang memikirkan balasan yang tepat.
"Gue harus balas apa, ya?" Kaila menggumam pelan sambil menggigit ujung kukunya.
"Halo juga, Kak..." Kaila mulai mengetik tetapi jari-jarinya berhenti sejenak. "Enggak, enggak, sokab banget," gumamnya sambil buru-buru menghapus pesan itu.
Gadis itu menghela napas panjang lalu mencoba lagi. "Oh iya, halo juga, Kak Fadlan." Setelah membaca ulang pesannya Kaila langsung menggeleng.
"Idih, cringe abis."
Pikirannya terus berputar-putar, mencoba mencari respons yang sempurna. Setiap kata yang muncul tampak salah entah terlalu kaku atau terlalu berlebihan. Akhirnya Kaila menyerah. "Tau ah, bodo amat. Gue balas emot aja," putusnya sambil mengetuk ikon emotikon lalu menekan tombol kirim.
Pesan tersebut terkirim dan langsung dibaca oleh Fadlan, membuat Kaila cepat-cepat keluar dari aplikasi.
"Gue nggak boleh keliatan fast respon!"
Kaila melirik ponselnya, belum ada balasan dari Fadlan. "Apa gue salah jawab ya?" tanyanya pada diri sendiri.
Di tempat lain, di sebuah kamar sederhana dengan dinding abu-abu yang dihiasi poster-poster musik indie terlihat Fadlan terkekeh pelan. Di tangannya, ponsel tersebut menampilkan balasan Kailaâ hanya beberapa emotikon yang muncul setelah hampir sepuluh menit menunggu.
Dengan rambut yang masih basah setelah mandi malam, Fadlan memilih duduk di kursi dekat meja belajarnya. Di atas meja sebuah buku tebal tentang SNBT tergeletak terbuka ditemani secangkir teh hangat yang aromanya samar memenuhi ruangan.
Fadlan mengusap dagunya sambil memutar otak. Dia tahu Kaila tipe orang yang canggung dan berhati-hati bahkan mungkin terlalu hati-hati. Tapi itu justru membuatnya semakin ingin mengenal gadis itu lebih jauh. Ia mengetikkan sesuatu kemudian pesan itu terkirim.
Kaila sontak langsung membuka pesannya, kemudian jari lentik itu membalas pesan tersebut. Sesekali ia tersenyum kecil, dan diakhiri dengan tawa yang sedikit canggung.
Kaila tersenyum kecil bersamaan dengan Fadlan diseberang sana yang juga sama halnya sedang tertawa kecil. Pemuda tersebut memandangi layar ponsel di tangannya, balasan awal dari Kaila tadi seperti cerminan dari kepribadian gadis ituâ canggung tetapi menggemaskan di matanya. Sambil bersandar di kursi dengan cahaya lampu hangat menerpa wajahnya, pikiran Fadlan tiba-tiba terlempar kembali ke kejadian tadi sore.
"Sama gue?"
Kaila tersentak. "Ha?" ujarnya, memastikan bahwa dia tidak salah dengar.
"Lo bilang suka sama tempatnya. Kalau sama gue, lo juga suka nggak?"
Wajah Kaila seketika berubah, pipi merah jambu yang muncul karena terik matahari kini tampak semakin jelas diiringi kepanikan kecil di matanya. Jangankan untuk menjawab, untuk menatap wajah Fadlan saja dia tidak berani.
"Mending dapat uang kaget daripada pertanyaan yang bikin kaget begini," batin Kaila.
Untungnya abang penjual es cokelat datang menghampiri dengan langkah santai, membawa pesanan mereka. Kaila langsung mengambil momen itu untuk mengalihkan kegugupannya. "Makasih, Bang," ucap Kaila mengambil gelas dari tangan abang penjual.
Fadlan menahan tawa di sampingnya. "... dicuekin, nih?" katanya mencoba memecah kecanggungan.
Tiba-tiba Kaila menepuk bahu Fadlan sok akrab. "HAHAHAHA! Pertanyaan lo mah ada-ada aja, Kak. Siapa sih yang nggak suka sama lo? Nenek-nenek juga pasti demen sama lo," katanya dengan suara tawa yang terdengar sedikit dipaksakan.
Fadlan terkekeh pelan lalu mengangguk. "Ya udah sekarang cobain nih es cokelatnya. Kata temen gue sih enak."
"Jadi ini rekomendasi dari temen lo, Kak?"
"Iya, si Gisel bilang tempat ini cocok buat sharing, curhat, atau deep talk. Katanya sih suasananya tenang, nggak banyak kendaraan lewat."
Kaila menjentikkan jarinya sambil tertawa kecil. "Oh Kak Gisel? Yang cantik tapi ganteng eh ganteng tapi cantikâ" Kaila menggeleng. "Pokoknya yang mukanya beda banget sama cewek-cewek lainnya, itu ya?"
Fadlan mengangguk. "Iya, yang kemarin waktu MOS juga nyuruh lo ngasih bunga ke gue."
Kaila terdiam, matanya membulat. "Kok lo tau, Kak?"
"Gue lihat dari jauh," jawab Fadlan dengan nada santai.
"Jadi lo merhatiin gue, nih?"
Pertanyaan itu membuat Fadlan terdiam sesaat. Senyumnya perlahan muncul kembali, kali ini lebih hangat. "Iya," jawabnya singkat.
Mendengarnya membuat gadis tersebut terkejut tetapi segera ia netralkan kembali. Kaila mencoba menertawakan situasi. "Bercanda doang gue, Kak."
Namun Fadlan menggeleng kecil, matanya tetap tertuju pada Kaila. "Gue nggak bercanda kok. Semua gue pantau soalnya," alibinya dengan nada lembut.
Kaila meneguk es cokelatnya untuk menutupi rasa malu. Dalam hati dia merasa lega karena kecanggungan yang sempat mencuat perlahan lenyap digantikan suasana hangat oleh Fadlan yang pandai mencairkan suasana. Gadis yang biasanya canggung itu pun tak kesulitan untuk ikut menimpali candaan yang dibawa oleh Fadlan.
Dari balkon kamar, Fadlan menatap langit malam yang tampak ramai karena ada banyak taburan ribuan bintang di sana. Tidak ada bulan malam ini, namun harinya sudah cukup terang karena wanita yang bernama Kaila Azalea Syahnala.
ð¦
Kaila mengambil beberapa lembar kertas folio dari tasnya dengan sedikit kesal. Di depan kelas suara Pak Darmawan masih terdengar jelas menjelaskan apa yang harus dikerjakan pada tugas matematika hari ini. Beberapa teman mulai merapikan meja mereka sementara dirinya menatap diam. Tadi Kaila sempat memprotes pasangan kelompok yang ia terima, karena anak-anak yang lain ditentukan berdasarkan urutan nama. Sedangkan saat giliran Agam disebut, nama Kaila juga langsung menyusul.
"Pak, kok saya sama dia?" begitu pertanyaan yang ia layangkan karena merasa tidak terima, sedangkan teman-teman di barisan belakang hanya terkikik pelan.
Pak Darmawan hanya menatapnya datar sambil melipat tangan di dada. "Sudah, Kaila. You kerjakan saja. Kalau tidak mau kerja kelompok ya nanti nilai you jadi nol," ujar Pak Darmawan yang berhasil membuat Kaila mengalah.
Hari ini Kaila juga merasakan ada sesuatu yang berbeda dari Agam. Pemuda yang biasanya selalu penuh energi dan suka melontarkan bom peledak kepadanya kini tampak tidak banyak bicara. Setiap kali Kaila mencoba mengajaknya berdiskusi Agam hanya akan merespons seadanya.
Sangat jelas kalau sifatnya ini bukan sifat seorang Agam Pradana sama sekali.
Kaila berniat memancing Agam dengan memberikan beban tugas ke pemuda tersebut. "Lo cari jawaban soal nomor 1, 2 sama 3, gue nomor 4 sama 5."
"Oke."
Kaila menatap Agam yang sedang sibuk menatap kertasnya dengan tatapan terkejut. Seorang Agam yang biasanya tidak bisa mengalah begitu saja kini menyetujui pembagian tugas tanpa banyak bicara? Agam yang selalu saja penuh argumen atau setidaknya memberi komentar sarkastik kali ini hanya mengangguk dan kembali tenggelam dalam kegiatannya? Apa mungkin Agam lagi sakit gigi atau mungkin sariawan? Makanya pemuda itu tiba-tiba diam begini?
Agam tampak sibuk memecahkan soal sedangkan Kaila masih sibuk membuat garis pinggir di kertasnya dengan pikiran-pikiran yang tak bisa ia cerna begitu saja. Dengan tangan yang masih fokus menarik garis, Kaila membuka suara.
"Lo sariawan?" tanyanya kepada Agam.
"Enggak."
"Sakit gigi?"
"Enggak."
"Tumben lo diem?"
"Nggak ada kepentingan, jadi lebih baik diem, 'kan?"
Kegiatan Kaila terhenti seketika, diliriknya Agam sekilas sebelum kembali melanjutkan tarik menarik garis tepi tersebut. Entah Agam berniat bercanda atau tidak, tetapi intonasi pemuda ini terdengar dingin dan rasanya sangat aneh di pendengaran Kaila.
Gadis itu tanpa sadar menggigit bibir. Lagi pula, bukankah ini yang Kaila inginkan dari dulu? Seorang Agam Pradana yang diam tanpa keributan atau godaan berlebihan. Agam yang lebih tenang dan tidak mengacaukan konsentrasi Kaila seperti hari-hari yang lalu.
Namun kenyataannyaâ hal yang ia inginkan ini jauh berbeda dengan apa yang ada di ekspektasinya. Kaila merasa ada kekosongan di antara mereka. Sesuatu yang sangat ia harapkan itu justru malah membuatnya merasa sedikitâ sedih? Kaila menatap Agam yang kini sibuk menulis di kertasnya dengan wajah datar.
Gadis tersebut berdehem pelan mencoba mengusir pikiran-pikiran yang berputar dalam benaknya. Mungkin perasaan gundah gulana ini datang karena mendekati jadwal datang bulan yang membuatnya sedikit lebih sensitif dari biasanya.
Mungkin saja.
Mereka berdua mengerjakan soal tanpa satu kata pun keluar dari mulut mereka. Setengah jam berlalu, Agam akhirnya menyerahkan kertas coretannya kepada Kaila.
"Udah selesai?" tanya Kaila.
Agam hanya mengangguk singkat. Kaila mengangguk balik. "Oke bentar, punya gue sedikit lagi habis itu gue salin ke folio."
"Gue aja."
Kening Kaila berkerut. "Apanya?"
"Yang salin ke folio biar gue aja." Agam berkata dengan nada datar.
Mata Kaila mengerjap beberapa kali, kembali terkejut dengan sikap Agam. Jujur sajaâ situasi ini benar-benar membuat Kaila merasa tidak nyaman. "Ya... udah.. tu salin ke folio yang sudah gue kasih garis tepi," jawabnya menunjuk folio yang dimaksud dengan dagunya.
Tanpa banyak basa-basi Agam langsung mengambil folio itu dan mulai menyalin soal beserta jawabannya. Keheningan yang menyelimuti mereka perlahan membuat Kaila semakin merasa canggung.
ð¦
Di kantin sekolah Kaila yang sudah selesai makan hanya menopang dagu, matanya kosong menatap sisa minumannya yang mulai berkurang. Tanpa minat ia mengaduk-ngaduk cairan itu dengan pikiran yang melayang jauh. Sekar dan Hana yang duduk di depannya mulai menyadari perubahan sikap Kaila.
"Mikirin apa?" tanya Hana memperhatikan wajah Kaila dengan cermat.
Kaila menatapnya sekilas dan menggeleng. "Enggak ada."
"Kagak mikir apa-apa, tapi ekspresi mukanya kayak rentenir yang gagal narik utang gini?" Sekar berkata dengan nada sarkastik.
Kaila tersenyum kecil. "Sialan lo, gue nggak papa, kayaknya mau dateng bulan aja makanya mood gue agak nggak jelas gini," jawabnya dengan nada sedikit lelah.
Hana mengelap sudut bibirnya dengan tisu lalu melirik sekeliling kantin, seakan mencari sesuatu. "Kok gue ngerasa ada yang kurang, ya?"
"Apanya?" tanya Sekar penasaran.
"Gue nggak lihat biang onar hari ini di kantin. Kemarin-kemarin juga, kemana Agam dan para komplotan? Pada puasa apa gimana?" tanya Hana heran.
Sekar tiba-tiba terdiam tampak seolah menyadari sesuatu. Ia menatap Kaila yang sedang menatapnya dan Hana bergantian.
"Kenapa?" tanya Kaila.
"Gue baru sadar kalo belakangan ini udah nggak ada keributan lagi. Setelah bertahun-tahun jadi anjing dan kucing, lo apain si Agam sampe tobat gitu?"
Kaila mendengus pelan. "Nggak gue apa-apain, lah. Harusnya bagus dong dia nggak cari masalah sama gue."
Sekar mengerutkan kening bingung. "Tapi Kai, belakangan dia juga bersikap aneh ke gue, masa nih ya, gue ngomong panjang lebar malah dicuekin? Aneh, 'kan?"
Kaila mengangkat bahu acuh. "Ya mana gue tau, gue sih nggak merasa ada apa-apa. Lagian ya, hidup gue bertahun-tahun rasanya berat banget tiap berinteraksi sama dia. Let him go from my life, si biang keributan, tukang cari masalah, gitu ngapain lo heranin segâ"
Tiba-tiba Hana mengisyaratkan Kaila untuk berhenti berbicara. Gerakan matanya meminta Kaila untuk menoleh ke belakang.
"Apaan?"
Hana memberikan kode lebih jelas sementara Sekar sudah lebih dulu membalikkan badan dan terkejut melihat sesuatu di belakang mereka. Kaila yang awalnya tidak sadar pun mendadak terdiam begitu menyadari kehadiran Agam di dekat mereka bersama Rizal, Ilham, dan Ben.
"Meja depan ada yang kosong tu, bro," ucap Rizal yang mencoba mencairkan suasana.
Agam dengan wajah datar berjalan lebih dulu diikuti teman-temannya. Kepergian Agam tanpa meninggalkan ucapan apa-apa itu, membuat Kaila semakin kebingungan di tempatnya. Sebuah perasaan aneh menyelip ke dalam dadaâ perasaan yang sulit untuk Kaila jabarkan. Pada akhirnya ia harus menekan berbagai pertanyaan yang terus mengemuka di kepalanya tanpa ada satu pun jawaban yang ia terima.
Sekar menatap diam Kaila yang tiba-tiba diam. "Kai, ini seriusan kagak ada apa-apa?"
Kaila menatap Sekar diam, gadis tersebut pun bingung ingin menjawab seperti apa, karena memang ia tidak merasa habis melakukan apa-apa.
"Oh iya, gue baru inget!! Dia 'kan gabung klub fotografi, mungkin lagi banyak tugas di sana kali ye, makanya dia kagak minat ngeladenin siapa-siapa," kata Hana yang berusaha membalikkan atmosfer.
Mendengar informasi dari Hana membuat Sekar berohria, pun dengan Kaila yang kini mengangguk. "Udah gue tebak sih, dia bakal gabung ke situ."
"Tau banget, nih?"
"Kar, lo 'kan juga tau kali hobi dia apaan. Bukan gue doang yang tau, tu Rizal sama Ilham juga pasti tau."
Sekar tersenyum. "Iya deh iya."
Mirisnya, walaupun suasana sudah tidak secanggung tadi. Kaila semakin yakin ada yang tidak beres antara mereka, melihat bagaimana laki-laki tersebut minim respon kepadanya namun sekarang malah tertawa lepas saat sedang bercanda di meja depan sana.
Seperti ada sekat tipis antara para jiwaâ yang perlahan mulai membentuk benteng perbatasan.
____________________
Sebelapa cuex c kmu?ð
Di tujukan kepada Kaila Azalea Syahnala :