Back
/ 37
Chapter 8

7| The road, GPS, and Missed

The Apple of My Eye [COMPLETE]

Ada sebuah kalimat yang pernah terlintas di beberapa sosial media, kira-kira bunyinya seperti ini: We never know, we fall for someone we've never expected before.

Fadlan Danadyaksa merasakan kebenaran kalimat tersebut. Setelah mengantarkan Kaila pulang, detak jantungnya malah semakin kencang tidak karuan seakan-akan ingin meledak di sana. Apalagi saat memori terakhir sebelum Kaila turun dari motornya kembali terputar.

“Makasih buat tumpangannya ya, Kak. Kalau sudah sampai rumah kabarin.”

Kata-kata Kaila itu bagaikan anak panah yang melesat langsung ke sasaran.

Masalahnya sekarang— Fadlan tidak memiliki nomor pribadi Kaila.

Jadi, bagaimana caranya dia mau memberikan kabar?

Fadlan tersenyum kecil saat memori-memori kecil hari ini melewati pikirannya. Kaila memang berhasil mencuri perhatiannya sejak awal. Tidak dengan tebar pesona seperti siswi lainnya, malah sebaliknya. Saat MOS kemarin Kaila justru sibuk dengan kericuhan kecil yang ia buat sendiri di barisan belakang, mengabaikan dirinya yang sedang sambutan sepenuhnya.

“Dari tadi senyum-senyum terus, Mas? Mikirin siapa kamu?” sebuah colekan di bahu menyadarkannya dari lamunan. Ayu— sang Mama muncul sambil membawa secangkir cokelat hangat. Ia ikut duduk di balkon rumah dan menatap Fadlan penuh selidik.

“Mikirin cewek nih pasti, siapa? Kok nggak dikenalin sih ke Mama?” goda Ayu dengan nada penuh ingin tahu.

Fadlan menyeruput cokelat hangatnya, berusaha menghindari tatapan itu. “Siapa yang mikirin cewek, Ma?” elaknya.

“Habisnya dari tadi senyum-senyum terus. Mikirin cewek, 'kan?” Ayu terus menggoda.

Fadlan terkekeh. “Senyum itu 'kan ibadah, Ma. Masa Mama nggak tau?”

“Iya, tapi senyum kayak begini nggak gratis, Mas. Pasti ada sponsor di baliknya. Masa tiba-tiba anak Mama yang secuek itu bisa senyam-senyum sendiri gini?" Ayu terkekeh.

Fadlan hanya menggeleng, masih mencoba menyangkal. "Itu sih perasaan Mama aja. Mas nggak secuek itu kok.”

Ayu trsenyum tipis. “Fadlan... Fadlan... Kamu itu sudah tinggal sama Mama dari rahim, masa Mama nggak paham sama karakter kamu? Paham banget, lah.”

“Udah ah, Ma. Mas mau ke kamar dulu, ada tugas yang harus diselesaikan,” katanya mengalihkan pembicaraan kemudian mencium kening Ayu sebelum pergi.

“Kapan-kapan diajak ke rumah ya, Mas. Mama sudah super kepo nih sama perempuan pertama yang bakal kamu bawa ke sini,” teriak Ayu dari belakang.

Fadlan hanya bisa menahan bibirnya agar tidak tersenyum terlalu lebar.

Di sisi lain, Kaila dan Sekar memasuki sebuah kedai es krim yang belakangan ini menjadi favorit anak sekolah. Jendela kaca besar dengan tulisan neon pastel menarik perhatian setiap orang yang lewat. Dinding kedai dihiasi dengan gambar es krim, cone, dan kue penuh warna, menciptakan suasana nyaman. Ditambah udara yang dingin dari pendingin ruangan bercampur dengan aroma waffle yang manis. Musik yang lembut mengalun turut menciptakan suasana santai.

Setelah memesan es krim— satu stroberi untuk Kaila dan satu cokelat hazelnut untuk Sekar— keduanya memilih tempat duduk di pojok ruangan dekat jendela. Dari sana mereka bisa melihat jalanan kecil yang ramai dengan orang lalu-lalang.

Sekar membuka pembicaraan sambil mengaduk-aduk es krimnya. "Jadi, gimana first impression lo setelah dianter pulang tadi?"

Kaila mengangkat bahu santai lalu melahap sendok pertama es krim stroberinya. "Biasa aja."

Sekar memutar matanya, jelas tak puas dengan jawaban Kaila. "Buka mata lo lebar-lebar, Kaila. Lo nggak nangkep apa kalau Kak Fadlan itu lagi berusaha deketin lo?"

Kaila mendongak dari es krimnya. Menatap Sekar dengan ekspresi skeptis. "Yeeh, mulai deh ngehalu lagi. Dia kayak gitu ke semua orang kali, Kar. Apa lagi gue ini siswa baru, paling juga dia ngerasa itu tanggung jawab dia sebagai Ketua OSIS."

Sekar mendecak lalu menyandarkan tubuh ke kursi sambil menyilangkan tangan. "Tanggung jawab apaan? Kagak ada hubungannya anjir. Dia nggak pernah tuh basa-basi nawarin gitu ke gue," ucapnya dengan nada menohok.

Kaila mengerlingkan mata. "Oh... jadi lo juga mau dianterin balik sama Kak Fadlan?"

Sekar langsung mencondongkan tubuhnya ke depan, mengepalkan tangannya seolah siap menoyor kepala Kaila. "Pengen banget gue gaplok lo biar kagak lemot. Bukan itu intinya, cantik!" geramnya.

"Terus apa, dong?"

"Gini, logika aja ya, emang dia gojek lo yang rela nganterin pulang tanpa maksud tertentu? Mau taruhan selama satu bulan ini?" Tantang Sekar memprovokasi.

Mata Kaila membulat seketika. "Enggak! Gila lo! Haram," potongnya cepat.

Sekar malah terkekeh puas. "Ya udah, liat aja besok. Gue bakal minta dianter aja ah selama sebulanan ini, biar lo pergi pulang sendiri terus HAHAHA!"

"Lo temen gue bukan, sih?" Kaila menyipitkan mata kesal.

Sekar menyeringai seraya mengangkat bahu tak peduli. "Buat kebaikan lo sendiri, Kai. Lo harus berani buat maju selangkah, biar hidup lo lebih berwarna. Nggak kayak es krim lo itu yang cuma satu rasa."

Kaila mendengus pelan kemudian melahap es krimnya tanpa merespon. Sementara Sekar melahap es krimnya dengan senyum lebar. Merasa menang dalam debat kecil ini.

🦋

Pagi hari saat Kaila sedang bersiap untuk berangkat sekolah, suara bel rumah terdengar. Dari dapur Ratna yang sedang mencuci piring bekas sarapan melongok. "Siapa, Kai? Coba dibuka dulu pintunya."

Kaila berjalan untuk membuka pintu. Namun ia langsung terkejut ketika mendapati Fadlan berdiri di teras rumah. "Kak—Fadlan? Ada apa, Kak?" Kaila memandang dengan alis sedikit terangkat, jelas tak menyangka kehadiran pemuda itu di sini.

Fadlan mengusap tengkuknya. "Mau ngajak lo berangkat bareng. Sorry ya, Kai, kalo kesannya gue datang tiba-tiba. Soalnya gue nggak punya nomor lo dan DM gue nggak lo bales."

Kaila terdiam sejenak dengan tangan kiri yang menggosok lengan kanan karena merasa canggung. "Oh itu— maaf banget ya, Kak. Notif Instagram emang gue matiin, makanya gue jarang tau ada DM masuk," tutur Kaila.

"Ada siapa, Kai?" suara Ratna dari balik tubuh Kaila membuatnya berdehem kecil mencoba menenangkan dirinya.

"Ini— kenalin Kakak kelas Kaila, Bu. Namanya Kak Fadlan," ujarnya sambil sedikit menoleh ke belakang.

Fadlan langsung melangkah maju dengan percaya diri. Dia meraih tangan Ratna dan tersenyum sopan. "Pagi, Tante. Saya Fadlan. Mau minta izin buat ajak Kaila pergi sekolah bareng, boleh, Tan?" katanya dengan nada lembut.

Alis Ratna terangkat, cukup terkejut mendengar permintaan barusan. Pemuda ini tidak hanya sopan tetapi juga memiliki cara berbicara yang sangat dewasa untuk usianya. Tatapan mata Ratna bergantian menilai Kaila dan Fadlan seolah mencari tanda-tanda apa pun yang tidak biasa. Sedetik setelahnya Ratna tersenyum hangat.

"Tante sih boleh-boleh aja," jawab Ratna sambil melirik Kaila. "Tergantung anaknya mau atau enggak, nih..."

Gadis yang kini menjadi sorotan utama tersebut hanya menggaruk kepalanya bingung. "Tapi gue masih harus siap-siap, Kak. Ya 10 menitan lah, gimana?"

Fadlan tersenyum lembut kemudian mengangguk dengan penuh pengertian. "Enggak papa, Kai. Santai aja," katanya meyakinkan Kaila.

"Oke." Kaila langsung meninggalkan Ratna dan Fadlan untuk bersiap-siap.

Ratna menyuruh Fadlan untuk menunggu di ruang tamu. "Fadlan sudah sarapan?" tanya Ratna yang mendapat anggukan pelan dari Fadlan.

"Sudah, Tante."

"Biasanya Kaila berangkat sekolah itu naik angkot sama temennya. Soalnya dia masih agak takut buat bawa motor ke jalan raya, dianterin juga kadang mau kadang enggak padahal searah sama Tante," tutur Ratna sembari memandangi Fadlan dengan penuh perhatian. Sebetulnya ia sedang memastikan bahwa pemuda ini bisa menjaga Kaila dengan baik.

Kaila terlihat turun dari tangga dan langsung menghampiri Ratna untuk mencium tangannya. "Katanya sepuluh menit? Ini satu menit aja belum ada," ujar Ratna dengan senyum jahil di wajahnya.

"Enggak enak bikin anak orang nunggu, Bu," kata Kaila.

Ratna menatap Kaila seraya tersenyum nakal. Fadlan pun berdiri, ikut salim ke Ratna dengan penuh rasa hormat. "Saya izin buat anter Kaila ya, Tan," ujarnya dengan sopan.

Ratna menepuk bahu Fadlan. "Iya-iya, Tante izinin. Kalian di jalan hati-hati, ya. Jangan ngebut lho, Fad, bawa anak semata wayang Tante ini," katanya sambil mengantar Kaila dan Fadlan ke teras rumah.

Fadlan hanya tersenyum lalu mengangguk dengan lembut. "Tentu, Tan. Saya akan pastikan Kaila sampai dengan selamat dan nyaman. Kalo gitu kita pamit dulu ya, Tan, assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Saat Kaila hendak mengambil helm di garasi rumah, Fadlan lebih dulu menahan tangannya dengan lembut. "Pakai punya gue aja," katanya sambil tersenyum.

Kaila menatapnya bingung. "Terus lo nggak pake helm, Kak?"

Pemuda tersebut mengangkat alisnya sedikit seolah memberikan ingatan kepada Kaila. "Gue punya dua, kalo lo lupa."

Kaila hanya diam, sedikit malu, namun tak bisa menahan senyum kecil di bibirnya.

Suara batuk keras membuat Kaila dan Fadlan menoleh. Terlihat Agam memanaskan motornya dengan terbatuk-batuk. "Buset dah asepnya nyerep sampe ke tenggorokan!" ucapnya lantang dengan diselingi batuk.

"Rumahnya di depan?" tanya Fadlan dengan nada kaget.

Kaila kembali menatap Fadlan. "Si Agam? Iya dia tetangga gue. Itu di sebelah kiri rumahnya si Sekar, sebelah kanan rumahnya Agam itu rumah Ilham, dan nih sebelah kiri rumah gue— rumahnya Rizal kalo lo pengen tau, Kak," jelas Kaila yang membuat Fadlan berohria, tampaknya mulai lebih paham. "Yuk ah cabut, keburu ntar kejebak macet," ajak Kaila lagi.

"Pagi-pagi udah bikin badmood aja lu tong!" Agam terlihat menepuk-nepuk motor gedenya.

Tatapan Fadlan jatuh ke mata Kaila. "Dia emang gitu, ya? Kalau ngomong suka teriak-teriak?"

Kaila tertawa geli kemudian mengangguk. "Kita semua yang tinggal di sini sudah memaklumi itu kok, Kak. Kalo dilarang justru dia bakal gigit orang. Maklumi aja, ya?"

Fadlan terkekeh mendengar penuturan dari Kaila. "Ayo."

"Udah, Kak."

"Belum."

"Udah, Kak," ucap Kaila sambil menggerakkan tubuhnya ke samping untuk memperlihatkan dirinya yang sudah berada di atas motor.

"Belum pegangan," ujar Fadlan yang membuat Kaila mati kutu.

Gadis itu kembali ke posisinya. "Enggak perlu lah Kak, gue bisa kok jaga diri di belakang."

"Gue yang khawatir, Kaila. Gue udah janji sama nyokap lo buat make sure lo aman sama gue. Kemarin lo juga mau nyungsep 'kan?"

Kaila meringis malu, dengan gerakan yang lambat ia mengamit kedua sisi jaket kulit milik Fadlan. "Udah, Kak."

"Besok suruh Pak RT ah buat panggil fogging nyamuk. Ni komplek banyak amat nyamuknya." Lagi-lagi suara lantang tersebut terdengar hingga menyadarkan Kaila.

Gadis itu sempat menoleh namun langsung terpaku saat melihat Agam sedang menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Tidak ada raut wajah tengil menyebalkan, tidak aja ekspresi untuk mengajak perang, tatapan itu— bahkan belum pernah Kaila lihat selama 10 tahun pertemanan mereka.

🦋

Menjelang pelajaran terakhir, kekuatan mata Kaila sudah mencapai titik paling rendah, sekitar 5 watt. Dan apesnya mata pelajaran penutup hari adalah Sejarah Indonesia— yang selalu membuatnya semakin ingin terlelap. Sebagai jurus terakhir Kaila bahkan menempelkan selotip di kelopak matanya— berusaha agar matanya tetap terbuka.

Hana yang duduk di sebelahnya hanya bisa menahan tawa geli melihat aksi Kaila. "Cuci muka sono, diselotip juga kagak bakal mempan," katanya.

Kaila menguap lebar lalu dengan malas melepas selotip yang menempel di matanya. Setelah itu ia minta izin untuk ke toilet.

Di sepanjang koridor sekolah, Kaila menepuk-nepuk pipinya dengan keras berharap bisa sedikit terbangun. Tiba-tiba sebuah bola basket meluncur cepat dan menghantam punggungnya, membuat tubuhnya terhuyung ke depan.

"Allahuakbar! Siapa sih yang main basket jam segini?!" keluhnya, rasa kantuk sekejap hilang digantikan amarah yang meledak.

"Maaf gue nggak sengaja— eh, Kaila?" Fadlan terkejut melihat sosok yang jatuh di depannya namun cepat ia menetralkan wajahnya.

Kaila berdiri dengan bantuan Fadlan. "Elu rupanya, Kak. Ngapain sih Kak main basket jam segini? Nyungsep nih gue gara-gara lo," keluh Kaila kesal.

Fadlan tersenyum tipis mengerti akan kekesalan itu. "Maaf banget, Kai. Ini memang jam olahraga gue. Lo nggak papa, 'kan?" ujarnya sambil memeriksa apakah Kaila baik-baik saja.

Kaila menggeleng lantas memberikan bola basket yang ia pegang dengan malas. "Enggak, nih bolanya," katanya.

Fadlan menerima bola tersebut dan menahan tangan Kaila yang hendak pergi. "Kaila," panggilnya pelan. "Lo marah, ya?" tanya Fadlan yang kini menatapnya serius.

"Enggak, Kak, muka gue emang ketus gini," jawab Kaila sambil melepaskan cekalan Fadlan dengan pelan. "Lagipula ngapain juga gue marah? Lo kan udah minta maaf," katanya memaksakan senyuman canggung. "Ah, udahlah! Gue mau ke toilet," ucap Kaila yang ingin kembali berbalik badan.

Fadlan menahan tangannya sekali lagi. "Nanti sore setelah sekolah mau mampir sebentar, nggak?" tanya Fadlan lembut.

"Mau kemana?" tanya Kaila sedikit penasaran.

"Ada pokoknya, nanti lo yang baca mapsnya. Bisa, 'kan?"

"Bisa, sih..."

"Oke deh, sampai ketemu di parkiran, ya. Sekali lagi maaf banget udah bikin lo jatuh," kata Fadlan sambil memberikan tepukan ringan di bahu Kaila sebelum berbalik dan berlari kembali menuju lapangan.

Kaila melangkah menuju toilet dengan perasaan yang lebih tenang. Emosinya yang sempat meledak-ledak mulai mereda berkat sikap Fadlan yang tenang dan dewasa.

Padahal pemuda itu hanya meminta maaf dengan tulus dan menunjukkan perhatian yang sederhana— namun tidak Kaila sangka hal itu mampu menenangkan hatinya yang panas. Ada ketenangan dalam diri Fadlan yang menular. Sikap tenang pemuda itu mengajarinya untuk meredakan kekesalan tanpa perlu repot untuk memanjakan emosi.

🦋

"Ini lurus apa belok kanan, Kai?" tanya Fadlan dari atas motor.

Kaila sedikit kesulitan mendengar alhasil ia memajukan kepalanya. "Ha? Apa, Kak?"

"Jalannya lurus apa belok kanan?" ulang Fadlan yang kini mengendarai motor dengan pelan. Sengaja memberi ruang agar Kaila bisa mendengar lebih jelas.

"Kalau di maps sih— masih lurus," jawab Kaila sambil memeriksa ponselnya.

Motor mereka kembali melaju di tengah jalanan yang padat sore itu. Kaila merasa ada yang tidak beres dan memutar-mutarkan ponselnya. "Kak," panggil Kaila.

"Iya, kenapa?" jawab Fadlan.

"Kayaknya salah deh, harusnya tadi kita belok kanan," ujarnya.

Fadlan dengan santai menepikan motornya kemudian berhenti dan menoleh ke Kaila yang sudah terlihat menggigit jari di belakang. "Mana coba, sini gue lihat," katanya halus.

Kaila menyerahkan ponselnya. Fadlan mulai melihat layar dengan zoom in dan out beberapa kali. "Oh, ini sih udah deket," ucapnya meyakinkan.

Saat Fadlan menyerahkan ponsel Kaila kembali. Gadis itu menatapnya lekat. "Lo tau, Kak?" tanya Kaila.

Fadlan mengangguk. "Iya, gue tau," jawabnya sambil kembali menjalankan motor dengan santai.

Kaila sekarang lebih santai daripada sebelumnya. Ia menyadari bahwa meskipun situasi tadi sempat membingungkannya, Fadlan memang selalu tahu bagaimana caranya untuk mengatasi masalah dengan kepala dingin.

Apakah ada penjelasan mengapa pria begitu mudah menemukan lokasi di peta hanya dengan sekali pandang? Sementara wanita, meskipun berulang kali berusaha memahami tetap saja sering kali tersesat.

Di manakah letak keadilan jika untuk urusan sekecil itu wanita sudah tertinggal jauh? Kaila menarik napas dalam-dalam. Matanya menatap langit yang perlahan berubah menjadi jingga.

"It's okay, kita nggak nyasar kok," kata Fadlan menenangkan. "Cuma sedikit meleset aja," sambungnya sambil menatap Kaila lewat spion motor.

Kaila hanya bisa menghela napas kesal. "Sama aja, Kak. Harusnya lo yang baca maps dari awal," jawab Kaila.

"Terus lo yang bawa motor? Tukeran gitu?"

"Ya enggak, lah. Lo yang bawa motor, lo juga yang baca maps. Lagi pula yang ngajak itu 'kan Kak Fadlan, bukan gue."

Fadlan tertawa lepas hingga memperlihatkan deretan giginya yang rapi. Senyum itu membuat Kaila sejenak terpaku, matanya tak sengaja bertemu dengan mata Fadlan di spion. Dengan cepat Kaila mengalihkan pandangan ke jalanan karena mendadak diserang rasa canggung.

Kaila berdecak tak percaya saat motor mereka tiba di tempat tujuan. "Gue baru tau di tengah-tengah padatnya Bekasi ada tempat kayak gini," ucapnya sambil melepas helm.

Fadlan pun turut turun dari motor dan melepas helmnya. "Yuk."

Kaila memandang sekelilingnya. Tempat ini terlihat seperti kafe namun lebih sederhana dari kafe pada umumnya. Bisa juga disebut kedai namun juga tidak terlalu se-sederhana itu. Apalagi lokasinya ini terletak di pinggir bendungan besar— yang Kaila yakini adalah waduk. Di sekitarnya tampak anak-anak sekolah duduk santai, menikmati senja dengan es cokelat dan roti sebagai teman sejati mereka.

"Bang, es cokelatnya dua, ya," ujar Fadlan saat mereka berhenti di depan tenda lipat penjual es cokelat.

"Siap, Kak. Boleh duduk dulu, nanti saya antar."

Fadlan dan Kaila duduk di kursi kayu yang terletak di bawah pohon besar dekat waduk. Hanya sedikit kendaraan yang melintas, membuat suasana di sini terasa begitu tenang dan damai. Angin sepoi-sepoi yang berhembus menambah kedamaian sore itu, menciptakan nuansa yang begitu berbeda dari ribuan sore yang pernah Kaila lewati.

"Suka?"

Kaila mengangguk sambil tersenyum. "Suka."

"Sama gue?"

___________________

Bang.. bang fadlan..

Reaction Kaila sesungguhnya :

Share This Chapter