6| The Step
The Apple of My Eye [COMPLETE]
Setelah melihat peristiwa tak mengenakan tadi siang, Agam merasa ada yang tidak beres dalam dirinya. Perasaan yang ia utarakan dua tahun lalu kepada Kaila seharusnya sudah selesai, bahkan tidak pernah ada kata mulai di sana. Agam menatap langit-langit kamarnya dengan tatapan menerawang.
"Masa sih gue masih suka sama si musang betina?" gumamnya. "Kagak! Kagak mungkin! Itu cuma cinta monyet! Lagian masih banyak cewek yang lebih normal ketimbang si musang." Agam berucap sambil tertawa hambar.
Suara pintu kamar terdengar diketuk. Agam mengalihkan pandangan malas ke arah pintu, pemuda itu menghela napas berat. "Masuk aja," ujarnya.
Pintu terbuka perlahan. Seorang pria dengan jambang tipis dan senyum lebar muncul di baliknya. "Bang Haikal?" Agam langsung terduduk di tepi kasur kemudian berlari memeluk sang Abang. "Buset, kapan sampenya? Kok lo ke mari kagak ngasih tau gue?"
Haikalâ merupakan saudara satu-satunya yang Agam punya. Jarak mereka cukup jauh, yaitu 7 tahun. Kini Haikal tengah menempuh pendidikan di salah satu universitas yang ada di kota Yogyakarta sebagai mahasiswa tingkat akhir jurusan Kedokteran.
"Yang sopan lo sama yang lebih tua." Haikal menjitak kepala Agam keras. "Ngapain juga gue ngasih tau lo? Yang ada bakal banyak titipan yang lo minta."
Deretan gigi Agam terlihat. "Yeeh tau aja dah, darah emang lebih kentel dari air ternyata. Sampe kapan lo di sini, Bang?"
"Muke gile, gue baru juga nyampe udah ditanya kayak begitu, kurang ajar lo."
Agam tertawa. "Lo kayak kagak tau yang namanya basa basi aja, Bang, ini adalah cara gue agar tidak mati topik," katanya membela.
"Basi tau nggak, basi!"
Pemuda tersebut mengelus dadanya dramatis, lalu mendudukkan diri di kursi belajar. "Kenapa dah orang-orang sensi mulu tiap ngomong sama gue? Perasaan gue juga kagak gimana-gimana, tapi tetep aja.."
"Ya karena elu emang suka mancing perkara. Gue yang abang lo aja kadang gedek, apa lagi temen-temen lo." Haikal memilih untuk duduk di sofa kamar Agam yang berada di dekat jendela kamar. Diperhatikannya kamar Agam dengan seksama. "Kamar lo masih sama aja."
"Lo berharap apa? Ni kamar gue cat pink gitu?"
Haikal terkekeh di atas sofa kamar. "Kali aja, 'kan? Gue liat-liat story lo sering banget tuh share lagu girlband Korea."
Merasa terciduk Agam lantas meringis pelan. "Ya elah cuma dengerin doang, kagak sampe beli album ini itu gue mah."
Haikal mengangguk pelan dengan mata menatap beberapa album K-pop yang ada di rak lemari buku milik Agam. "Terus tu apaan? Kotak bekel?" tanya Haikal sambil menggerakkan dagu ke arah rak.
Menyadari bahwa kebohongannya terbongkar, kini Agam tertawa sumbang. "Serius amat hidup lo, Bang. Itu punyanya si Kaila, nitip katanya biar kagak dimarahin Tante Ratna, biasalah," bohongnya tanpa merasa bersalah.
Lagi pula, orang yang dibawa-bawa juga tidak tahu, bukan? Harusnya memang tidak masalah membawa namanya beberapa detik saja.
"Iyain aja dah biar cepet."
"Gih sono, gue jadi kagak fokus nih mau belajar," usir Agam.
"Bentar dulu, gue ke kamar lo karena emang ada yang pengen gue tanya langsung ke lo."
"Buset wartawan lo, Bang? Nanya mulu."
Haikal bersedekap dada, menatapnya dengan serius. "Kenapa lo nggak jadi masuk Taruna Nusantara? Padahal dulu ngebet banget pengen masuk ke situ?"
Mendengar pertanyaan dari Haikal membuat Agam mengerjapkan mata beberapa kali. Ia bahkan memutar badannya, menghadap meja belajar pura-pura sibuk membuka buku.
"Itu... ya... nggak jadi aja," jawabnya sambil mencoret-coret asal.
Haikal mendekat, matanya mengerling jahil. "Bukan karena takut jauh dari crush depan rumah, 'kan?" godanya.
Agam menoleh tajam, hampir saja menjatuhkan bolpoin. "Apaan sih, Bang?"
Haikal tersenyum lebar, lalu menoleh ke luar jendela kamar Agam. Dari sana, ia bisa melihat rumah yang berdiri di seberang. "Soalnya dulu seinget gue, ada bocah yang cintanya ditolak mentah-mentah. Padahal doi udah full effort ngasih dua batang cokelat."
Wajah Agam seketika merah padam. "Ora danta, lo! Ora danta! Sono gih ke kamar lo sendiri. Gue mau belajar nih!" katanya berusaha tegas .
"Belajar mencintai dalam diam?" Haikal menambahkan dengan nada penuh kemenangan.
"Aish!" Agam akhirnya tidak tahan untuk tidak menghempaskan bolpoin ke meja. "Bunda, liat nih si Haikal!" teriaknya panik.
"Kenapa sih ribut aja? Bunda udah liat kok dari tadi," sahut Desi santai dari ruang tengah. Tawa Haikal meledak puas melihat Agam yang salah tingkah. Agam beranjak dengan langkah menghentak keluar kamar.
"Lah, mau ke mana lo?"
"Cari angin! Gerah di dalem."
Haikal semakin larut dalam tawanya. "Yeu, bocah! Bisa bae ngelesnya!"
ð¦
Suara milik Pak Darmawan guru Matematika sekaligus wali kelas X IPA 4, menggema tegas di ruangan kelas yang hening. Ia berdiri di depan papan tulis, menjelaskan materi tentang eksponen dan logaritma. "Cara pengerjaan jika 3² x 3³ bagaimana?" tanyanya, suaranya jelas menuntut perhatian penuh dari murid-muridnya.
Kelas tetap sunyi, hanya suara kipas angin tua yang berputar malas di sudut ruangan menemani keheningan itu. Beberapa siswa menunduk, berpura-pura sibuk mencatat, sementara yang lain saling melirik seakan berharap ada yang cukup berani menjawab.
Pak Darmawan mengetukkan spidolnya perlahan ke papan tulis, menandakan ia tidak menyukai sikap diam itu. "Halo, ini sederhana sekali lho," ujarnya.
Pak Darmawan kembali ke papan tulis, menulis sambil berbicara. "Sederhananya seperti ini. 3² x 3³ = 3 (² + ³) = 3âµ. Kalau soalnya dalam bentuk perkalian, pangkatnya ditambah." Spidolnya berhenti sejenak, lalu ia berbalik menghadap murid-murid yang tampak mencoba mencerna. "Kalau soalnya dalam bentuk pembagian, maka pangkatnya dikurangi. Dan jika bilangan berpangkat itu ada pangkatnya lagi, maka pangkatnya dikaliâ"
"Matematika~ ilmu yang mematikan~"
Suara nyaring bersenandung muncul entah dari mana, mengganggu penjelasan Pak Darmawan. "Suara nyamuk dari mana itu?" tanyanya tajam, pandangannya menyapu ruangan.
Semua mata serempak menoleh ke arah belakang kelas, berhenti di satu titikâ Agamâ yang kini membeku di tempat, wajahnya berubah panik. Seingatnya, beberapa detik lalu ia hanya bersenandung dalam hati. Tapi kenapa sekarang semua orang seakan bisa mendengarnya?
"You yang di belakang, sini maju ke depan!" suara Pak Darmawan memecah keheningan.
Agam melirik kanan-kiri dengan wajah bingung, lalu menunjuk dirinya sendiri. "Saya, Pak?" tanyanya dengan ragu.
"Bukan, temboknya!" Nada keki Pak Darmawan membuat kelas langsung menahan tawa. "Ya iya lah, pake nanya lagi. Sini you maju."
Dengan langkah berat dan raut wajah pasrah, Agam menyeret kakinya ke depan kelas. Seragamnya yang keluar dari celana dan dasi yang dililit seperti pita makin memperburuk kesan pertama di mata Pak Darmawan. "Gara-gara lo pada nih, pake acara liatin gue segala lagi," gumamnya pelan tapi cukup jelas untuk didengar teman-temannya.
Pak Darmawan melipat tangan di depan dada, menatap Agam dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Baru masuk kelas udah bikin ulah. Sekarang, seragam keluar dari celana, dasi dijadiin pita nggak jelas... you ini mau jadi apa, sebenarnya?" tanyanya dengan sarkasme khasnya membuat beberapa siswa kembali terkikik tertahan.
Agam menggaruk kepalanya yang jelas tidak gatal, mencoba mencari alasan yang masuk akal. "Dulu saya kepingin jadi Presiden, Pak. Tapi kalau sekarang mah udah beda," katanya dengan nada melas menundukkan kepala sedikit. "Sekarang saya cuma mau jadi yang terbaik aja buat pasangan saya nanti."
Kelas langsung heboh dengan cekikikan kecil yang susah ditahan. Bahkan Pak Darmawan yang biasanya tak tergoyahkan, mengangkat satu alis lalu menghela napas panjang. "You punya pacar? Who's that poor girl?"
"Kaila, Pak!" sahut seluruh anak kelas kompak, suaranya menggema penuh antusiasme.
Mendengar namanya disebut, mata Kaila nyaris keluar dari tempatnya. Gadis tersebut menatap sekeliling dengan pandangan penuh ancaman. Manusia-manusia ini beneran ngajak perang dunia ketiga, kayaknya, gerutunya dalam hati.
Pak Darmawan kembali bersuara, kali ini lebih penasaran. "Yang mana orangnya?"
Segala macam umpatan sudah menggema di batin Kaila. Gadis itu menarik napas panjang lalu sebelum mengangkat tangannya sambil menunduk. Buku-buku jemari kirinya memutih karena ia kepal dengan erat.
"Bener you pacarnya?" tanya Pak Darmawan.
Kaila mendongak dengan raut wajah dingin. "Bukan, Pak," jawabnya tanpa ragu sedikit pun, lalu menambahkan pelan. "Alhamdulillah mata saya masih normal buat liat mana manusia, mana kuyang."
Kelas langsung pecah oleh gelak tawa yang sulit ditahan. Agam hanya bisa memutar mata pura-pura tidak peduli meskipun jelas-jelas ego-nya baru saja tersenggol.
Pak Darmawan menatap Agam lagi. "Nice try?"
Agam mencoba mengatur napas lalu berkata dengan nada bercanda. "Tanpa mengurangi rasa hormat, mohon maaf nih Bapak Darmawan si paling menawan. Tapi saya enggak bilang tuh Pak kalo dia pacar saya. Lagian mana ada cowok yang mau sama jelmaan musang betina, Pak." Agam menutup kalimatnya dengan tawa kecil.
"Maling mana ada mau ngaku," sindir Pak Darmawan yang membuat seisi kelas kembali tertawa terbahak-bahak.
Pemuda tersebut memegang dada dengan ekspresi nyeri, menatap Pak Darmawan dengan penuh drama. Kalau bukan orang tua yang berbicara mungkin leher itu sudah ia pitting sampai tak berkutik.
Pak Darmawan menatapnya lagi. "Karena you nyanyi di belakang pas ai lagi jelasin. Sana keluar, berdiri sambil angkat kaki satu sampai jadwal ai selesai."
"Loh, Pak? Setelah barusan saya ditertawakan sekarang malah dikeluarkan?" ujarnya dramastis.
"Keluar."
Agam berdecak pelan, berjalan keluar sambil menatap sinis ke arah teman-temannya. "Durhaka ya lo semua sama gue."
Di depan kelasnya, Agam berdiri sambil mengangkat satu kaki. Tangannya juga diletakkan di kedua sisi telinga. Kalian pikir pemuda itu akan menggerutu? Tentu saja tidak. Sebaliknya, ia malah bersenandung kecil, sesekali bergoyang mengikuti irama yang hanya dia sendiri yang tahu. Satu-satunya yang tampak jelas adalah ekspresi geli yang muncul di wajah siapapun yang melintas di hadapannya.
Hampir 30 menit berdiri, barulah Agam merasakan pegal di tubuhnya. Ia menggeliat sedikit. "Ni kalau peredaran darah gue nggak lancar, pokoknya salah si menawan," gumamnya kesal.
"Stt, woi Kaila!" panggil Agam dengan nada berbisik saat melihat Kaila keluar dari kelas. Gadis itu berlalu begitu saja tanpa memperdulikan Agam. Raut Agam tampak jengkel kala diacuhkan oleh gadis tersebut. "Yeeh, bener-bener lo ya, liat aja ntar."
"Liat apa?"
Laki-laki itu tersentak kaget. Rupanya Kaila masih bisa menangkap ucapan Agam dengan jarak yang lumayan jauh. Bahkan Agam bisa menangkap ekspresi mendidih milik Kaila dari jarak yang cukup jauh. "Dih? Siapa juga yang lagi ngomong sama situ," belanya.
Niat Kaila yang ingin mencuci muka karena merasa ngantuk pun mendadak lenyap hanya karena berkomunikasi dengan Agam. "Stress," ucap Kaila sebelum berlalu sepenuhnya.
ð¦
Waktu pulang sekolah sudah lewat lima belas menit yang lalu. Lapangan sekolah yang tadi riuh dengan suara para murid, kini mulai sepi. Hanya beberapa siswa yang masih terlihat berbicara atau mengejar teman sementara sebagian besar sudah pada pulang. Kaila sedikit telat karena harus ke ruang OSIS terlebih dahulu untuk memberikan formulir peminatan ekstrakurikuler. Setelah beberapa pertimbangan akhirnya ia memantapkan diri untuk bergabung di sini. Meskipun sempat ragu, ia merasa ini adalah kesempatan bagus untuk memperluas relasi di sekolah yang masih terasa asing bagi dirinya.
Semenjak resmi menjadi murid SMA, teman-temannya memilih untuk membawa kendaraan sendiri. Mengingat efisiensi waktu yang lebih cepat dari pada harus naik angkutan umum. Sesekali Sekar mengajaknya untuk naik angkot, namun jika Sekar diantar maka Kaila pulang pergi seorang diri.
Sebetulnya bisa saja Kaila membawa kendaraan sendiri, akan tetapi ia memilih untuk tidak. Karena ia sendiri belum begitu berani jika harus melewati jalanan raya yang padat akan kendaraan.
"Kaila, pulang sama siapa?"
Kaila yang baru keluar dari ruang OSIS berhenti di ambang pintu pun menoleh ke sumber suara. Fadlan berjalan ke arahnya dengan menjinjing tas ransel. "Sendiri, Kak."
Fadlan tampak tenang. "Bareng gue aja kalo gitu," tawarnya.
Kaila menatap ragu. "Eh..."
"Ditolak lagi nih penawaran gue?"
"Enggak gitu, Kak," jawabnya cepat, khawatir Fadlan akan salah paham. "Gue enggak enak aja," lanjutnya mencoba menjelaskan.
Fadlan hanya tersenyum tipis. "Kenapa nggak enak? 'Kan gue yang nawarin, jadi jawabannya cuma ada duaâ mau atau enggak?"
Kaila menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Sedikit bingung namun pada akhirnya mengangguk pelan. "Ya udah, boleh deh, Kak." Fadlan kemudian masuk ke ruang OSIS sejenak, membuat Kaila bertanya-tanya. "Ada yang ketinggalan, Kak?"
"Mau ambil helm buat lo," jawab Fadlan yang membuat Kaila terdiam sejenak, mulutnya menganga sebelum akhirnya menutupnya lagi.
"Oh, udah sering nebengin orang, ya, Kak?"
Fadlan keluar lagi dengan helm bogo putih di tangannya. "Baru lo doang," jawabnya santai.
"Ha?"
"Kenapa?"
Kaila hanya menggelengkan kepala, masih bingung dengan sikap Fadlan yang begitu kelewat tenang. "Ini punya temen lo, Kak? Enggak masalah nih gue pinjem?" tanyanya agak ragu.
"Aman aja, punya gue kok itu," jawab Fadlan.
Mereka berjalan beriringan menuju parkiran. Suasana sekolah yang sudah sepi membuat Kaila merasa sedikit lebih santai, karena kalau suasananya ramai tentu saja ia takut akan menjadi bahan pergunjingan warga sekolah. Fadlan tampak tidak terburu-buru, meski ia merasakan beberapa tatapan penasaran terlempar ke arah mereka dari beberapa siswa yang masih ada di luar.
Saat sampai di motor Fadlan, Kaila kembali dibuat bertanya-tanya. Di motor tersebut sudah ada helm full face, lantas untuk apa helm bogo putih ini?
"Masa sih baru gue yang diboncengin?" pikirnya bertanya-tanya.
"Ayo, Kai," ujar Fadlan menyadarkan Kaila dari lamunannya. Ia mengenakan helm yang dipinjamkan dan menaiki motor Fadlan. "Pegangan aja ke gue, Kai. Tenang aja enggak bakal gue anggep modus, soalnya motor gue emang nggak ada pegangan di belakang, ntar yang ada nyungsep lagi lo."
Kaila meraba belakang motornya. Benar, tak ada pegangan. Dengan keberanian sebesar jagung, Kaila menggenggam sisi kiri dan kanan jaket kulit Fadlan yang terasa tebal. Selama perjalanan ia sering terhuyung ke belakang setiap kali berhenti di lampu merah. Secara spontan, Kaila meraih pinggang Fadlan untuk menyeimbangkan dirinya.
"Maaf, Kak," ucap Kaila sedikit canggung.
Karena kalau yang dipegang cuma iman, bisa-bisa dirinya sudah jungkir balik. Mau teriak pelan-pelan juga sebetulnya Fadlan tidak ngebutâ memang motornya aja yang merupakan motor pasangan-able!
____________________
Gambaran tipe motor yamaha xrs 155 :
Mood Kaila tiap hari ð :