Back
/ 37
Chapter 2

1| The Gate

The Apple of My Eye [COMPLETE]

Berita menyebar dengan cepat seolah dihempas angin topan. Kabar Kaila ditembak Agam di kelas 8A itu sudah menjadi rahasia umum. Namun sayang, selang beberapa menit setelah kejadian itu, se-antero sekolah kembali dihempaskan oleh kabar yang mengatakan bahwa Agam dan Kaila hanya berniat mengerjai teman-temannya tanpa ada unsur lain.

Kejadian ini tentunya sangat hangat untuk dijadikan bahan per-gossipan anak-anak, bahkan kelewat hangat hingga mampu bertahan menjadi trending topik selama satu bulan penuh di sekolahnya. Anak-anak sekolah juga mendadak terbelah menjadi dua kubu, ada yang berada di tim pro maupun di tim kontra.

Salah satu antek dari tim pro adalah Hanif, teman satu meja Agam yang saat itu juga langsung mengumpati ulah temannya itu.

"Bader bet dah ah! Capek-capek gue teriak ternyata lo berdua malah bercanda?!" cecar Hanif yang berjalan memasuki kelas, tadi dia sempat menjadi salah satu yang paling histeris di tim suksesnya Agam— yang ternyata gagal.

"Yang nyuruh lo buat teriak siapa gue tanya?" tanya Agam santai di bangkunya dengan memakan cokelat yang niatnya ingin ia berikan ke Kaila sebagai tanda ungkapan cinta.

Hanif terdiam. "... ya emang kagak ada yang nyuruh, ah tau ah, lo berdua emang kurang ajar," diliriknya Agam yang tampak asik memakan cokelat. "Igab apa tuh cokelat."

"Ogah," balasnya santai.

"Najis medit bat! Pantes si Kaila kagak mau sama lo."

Mendengar kalimat tersebut tentu saja membuat Agam menatapnya sinis. "Jangan sampe behel lo gue ganti sama pager rumah, ya, Nif."

Hanif sontak menutup mulut, kemudian berdehem pelan. "Tadi itu kagak bercanda, 'kan?"

"Menurut lo? "

"Gue sih kagak ngeliat ada candaan tuh, di muka lo yang nggak seberapa ini," katanya sambil mengamati wajah Agam dari samping. "Ditolak, yak?"

Pemuda tersebut terbatuk di tempatnya. "Muke gile."

"Udah jujur aja ke gue, ditolak Kaila 'kan lo?" ujar Hanif dengan raut penasaran yang tinggi.

"Kan udah gue bilang berkali-kali kalo tadi bercandaan doang, ape lagi?"

Hanif lantas menggebrak meja sebal lantaran tidak mendapat jawaban yang ingin ia dengar. "Payah lo, Gam! Gue doain semoga dipanggil BK, biar lo berdua sekalian dikawinin," kesalnya.

Suara cekikikan dari gerombolan anak perempuan yang baru memasuki ruang kelas mengalihkan perhatian Agam dan Hanif, seketika Hanif menyikut lengan Agam. "Noh partner BERCANDA lo."

Tatapan Agam dan Kaila bertemu, namun Kaila langsung memutuskannya lebih dahulu, gadis itu melenggang santai dengan kedua temannya menuju bangku. Entah disadari atau tidak, ada raut kekecewaan yang terpancar di kedua mata milik Agam yang secara kebetulan ditangkap oleh Hanif.

"Tau gue, punya mata! Bisa liat sendiri tanpa perlu lu ingetin."

"Bisa diliat tapi kagak bisa dimiliki ya percuma, bray," pancingnya.

"Eh bahlul, udah gue kata bercanda juga."

Hanif menyeringai. "Iyain aja dah biar cepet.."

Pemuda tersebut ingat sekali apa saja yang ia lewati pada hari itu. Hari di mana ia ditolak mentah-mentah oleh Kaila. Kalimat-kalimat yang dilontarkan Hanif hari itu pun juga masih ia ingat dengan jelas. Di sudut kelas, Kaila bersama temannya tampak terlalu asik membahas sesuatu hingga suara tawa mereka menggelegar di dalam kelas.

Agam memperhatikan semua gerak gerik Kaila dari jauh, gadis itu benar-benar bersikap seolah tidak pernah ada kejadian yang terjadi di antara mereka. Tidak ingin pusing berkepanjangan, pemuda ini lantas menghela napas panjang sebelum pada akhirnya memilih untuk tidur merebahkan kepala di atas meja.

Selang 15 menit kemudian Bapak Indro— guru mata pelajaran IPS masuk ke dalam kelas. Bapak Indro memulai kelas dengan kalimat-kalimat randomnya, siapapun yang mendengarnya pasti akan terhanyut ke dalam mimpi.

"Baiklah, hari ini saya akan bagikan hasil ulangan kalian, dan yang nilainya di bawah KKM saya kasih waktu 30 menit untuk mengganti jawaban yang salah kemudian dihapal dan setor hari ini juga," tutur Bapak Indro.

Di atas kursinya Kaila menahan napas, seingatnya saat ulangan kemarin ada beberapa soal yang tidak bisa ia jawab, dan agar kertas ulangannya tidak terlihat begitu kosong ia malah berinisiatif untuk menuliskan kembali soal-soal yang ada ke dalam jawabannya.

Satu persatu nama mereka dipanggil dan tibalah nama Kaila disebut. Dengan langkah yang amat berat ia maju ke depan. Buru-buru ia mengambil kertasnya, Kaila juga sengaja mengalihkan pandangannya agar tak langsung melihat nilai yang terpampang di pojok kertas.

"Berapa tuh nilai lo?" tanya Sekar saat Kaila sudah balik ke kursinya.

Dengan tangan yang menutup mata, ia membalik lembaran kertas ulangannya di atas meja. "Widih gokil, pas banget tuh di KKM," ujar Sekar.

Kaila membuka matanya, melihat nilai yang tersemat tepat sekali di batas KKM, kini ia bisa menghela napas lega. "Alhamdulillah ya Allah! Gue pikir bakal remedi."

"Ya elah, kurang 5 point lagi tuntas ini, mah." Terdengar suara samar-samar dari Agam yang menggerutu di belakang sana.

"Remed mah remed aja kali! Kagak usah lo pake alasan kurang ini kurang itu," ujar Hanif. "Nih liat, gue yang kurang banyak aja ikhlas jalaninnya."

Agam melihat nilai yang tertera di kertas ulangan Hanif, ia berdecih saat mengetahui ternyata nilai laki-laki itu bahkan tidak sampai lima puluh. "Buset, ini mah buat beli siomay ceban di kantin juga bakal dikasih sosok ceban."

"Asem!" spontan Hanif.

Dengan wajah yang tertekuk, Agam menghempaskan kertas ulangannya ke atas meja. Agam itu tergolong tampan. Tubuhnya lebih tinggi dari anak seusianya, kulitnya kuning langsat, alisnya tebal, rahang tegas, hidung yang bangir. Di awal-awal sekolah, Agam sukses membuat anak-anak perempuan di sekolahnya terpukau karena tampangnya, ia bahkan juga berhasil masuk ke dalam kategori idaman mereka.

Tapi— semakin ke sini, sisi yang lebih menonjol dari Agam Pradana adalah sifatnya yang tengil dan suka bikin orang keki. Keunggulan-keunggulan yang Agam punya tadi lenyap begitu saja, berganti menjadi keamit-amitan jabang bayi saat melihatnya.

🦋

Bel pulang sekolah telah berbunyi sejak sepuluh menit yang lalu. Kaila yang mengenakan ransel biru muda, berjalan santai menuju halte depan sekolah seorang diri. Dari jauh dapat gadis itu lihat situasi yang sangat ramai di sana, Kaila kemudian berdiri dengan bersandar di tiang halte sembari menunggu angkotnya tiba.

"Kaila!"

Merasa terpanggil, gadis tersebut menoleh ke sumber suara. Terlihat Rizal melambaikan tangannya dengan senyum sumringah disusul oleh Ilham dan Sekar.

"Sendirian aja lo, si Agam mana kok kagak bareng?" tanya Rizal.

"Mana gue tau," sewot Kaila.

"Yeeh bini Rozali, sensi bae. Habis makan kambing ya, lo?" goda Ilham yang mengundang tawa Rizal.

"Apaan, dah? Ora danta bat lo berdua."

Ilham melambaikan tangannya pada Agam yang berjalan kearah mereka. "Noh panjang umur tu bocahnya, baru juga diomongin," bersamaan dengan kedatangan angkot yang mengarah ke rumah mereka.

Maka dari itu Kaila langsung masuk terlebih dahulu disusul oleh yang lain. Agam masuk paling akhir, badannya yang baru masuk setengah, mendadak berhenti bergerak saat melihat kursi angkot sudah penuh. Hanya menyisakan satu kursi yang biasa diduduki oleh kernet angkot. Dan itu persis di depan Kaila.

"Udah kagak napa. Duduk aje, kali-kali jadi kernet angkot, lu tong," ujar Pak Sopir.

Mau tidak mau ia harus duduk di sana. Sebenarnya di atas sound masih kosong, namun Agam trauma untuk duduk di sana. Saat sound berbunyi saat itu pula tubuh dan organ dalamnya berguncang sesuai beat, jarak antara rumah dan sekolahnya memakan waktu 15 menit dan selama itu pula tubuh dan seisinya diguncang oleh dentuman sound angkot— Agam beneran kapok jika harus mengulang kejadian yang sama.

"Ntar warnet Bang Ahmad, kuy," ajak Rizal.

"Ayo aja gue mah, tapi lo aman kagak? Entar kayak kemaren lagi. Disusul emak lo ke warnet, hangus dah tu taruhan kite," Agam berucap.

Sekar menatap Agam dan Rizal bergantian. "Gue aduin emak bapak lo pada ya mainnya taruhan-taruhan."

"Pengadu lo, itu mah cuma istilah aja. Aslinya kagak begitu, kagak pake duit kita mainnya," bela Ilham.

"Tetap aja, sama."

"Beda!" timpal Rizal tiba-tiba.

"Sama!"

"Etdah buset, ni cewek bener-bener ya. Beda ya beda. Lo mending main dokter-dokteran bae sono. Ngapain dah ikut-ikutan," cecar Rizal.

"Ish, lo tu ya kalo dikasih tau—" ucapan Sekar berhenti saat Kaila memegang lututnya. Kaila menggeleng pelan.

"Bagen bae, Kar, mereka bertiga 'kan emang hobinya main dare-dare an," sindir Kaila pedas dengan menekankan kata perkata.

Agam mengerjap beberapa kali. "Lah apaan, sih? Orang kita kagak pernah main begituan juga," ujarnya dengan nada sedikit kesal karena dituduh akan hal yang memang tidak pernah ia lakukan.

"Kena mulu, ni yang berulah siape yang kena siape." Ilham mengelus dada sabar.

"Ya Allah ya salam, sumpah dah Kai, kita kagak pernah main begituan." Rizal menimpali dengan mengacungkan dua jarinya.

Sekar berdecih pelan. "Semua cowok emang sama aja," katanya mengompori suasana di dalam angkot.

Suara deheman Pak Sopir terdengar, membuat mereka seketika diam dan menoleh ke depan. "Jadi siape same siape nih yang becinta?" tanya Pak Sopir diselingi cekikikan khas bapak-bapak, pertanyaan yang terlontar ini juga sukses mengundang tawa dari penumpang lain.

Kaila dan Sekar menggeleng tegas. "Enggak ada ya Pak! Kita masih anak kelas 2 SMP, masih belum boleh pacaran!" kata Sekar. "Ya pan, Bu?" tanyanya pada ibu-ibu yang duduknya tak jauh darinya.

"Kalo cowoknya kayak bocah ganteng ini, Ibu kagak napa-napa sih, Neng. Sayang kalo kagak diiket dari sekarang, itung-itung juga nyimpen calon mantu." Ibu tersebut menepuk bahu Agam kemudian mengerlingkan mata jenaka.

"Yeeh si Ibu, dikata saya ini daging apa ya pake disimpen segala," protes Agam yang lagi-lagi mengundang tawa satu angkot.

Melihat riuhnya dalam angkot, Kaila menghela napas berat. "Bocah kayak gini harusnya dibuang ke kali, Bu, bukan malah disimpen," gumamnya pelan namun masih mampu terdengar oleh salah satu dari mereka.

Hari ini, ternyata tidak seburuk yang ada di bayangan kepala salah satu dari mereka. Dalam diam, ia justru menikmati momen ini. Momen yang mungkin tidak akan pernah terjadi lagi di masa mendatang.

Langit biru cerah, angkot—  serta seragam putih biru menjadi saksi atas kejadian hari ini.

____________________

Notes

-) Bader : Nakal

-) Igab : Bagi

-) Ora danta : Ga jelas

-) Bagen : Biarin

-) Ceban : 10.000

Kaila tiap berinteraksi dengan Agam :

Share This Chapter