2| The Ants and Sugar
The Apple of My Eye [COMPLETE]
03 Juli 2016
Pernah mendengar istilah enemies to friends or enemies to lovers? Musuh jadi teman karib, musuh jadi cinta. Pada dasarnya kebanyakan juga yang terjadi seperti itu bukan? Akan tetapi, beda lagi ceritanya pada kisah Agam dan Kaila. Atas insiden beberapa tahun silam, situasi antara mereka berhasil membawa ke sudut perubahan hingga 180°. Sudah banyak sekali cara yang dilakukan oleh para sahabatnya agar hubungan mereka kembali tenang dan damai, namun hasil yang didapat hanya angin lalu.
Kaila jadi suka menyindir, padahal awalnya ia yang mengatakan untuk bersikap biasa saja. Dan Agamâ tentu saja pemuda itu awalnya sabar, namun karena keseringan dikikis tiap hari, membuat kesabaran yang tebal itu menjadi setipis tisu dibagi tujuh. Bagai api yang disiram bensin yang lantas menghasilkan api besar. Bahkan DAMKAR pun sulit menemukan titik api di antara mereka.
Seperti saat ini, walaupun masa seragam putih biru telah berganti ke masa putih abu, lemparan tatapan nyalang antara satu sama lain tidak kunjung mereda. Lagi pula, kenapa juga Agam ikut-ikutan mendaftar di SMA yang Kaila pikir tidak akan bisa ditembus oleh bocah tengil tersebut, karena mengingat selama masa putih biru, kerjaan si Agam hanya mengeluh dan mengeluh akan pelajaran.
"Gue masih kagak nyangka, kita berlima bakalan satu sekolah lagi," ucap Rizal saat mereka tengah baris di lapangan dalam rangka membuka acara masa pengenalan lingkungan sekolah dengan posisi yang berpencar-pencar. Kebetulan sekali Rizal dan Agam satu kelompok dalam MPLS ini, maka dari itu ia bisa sedikit mengobrol diam-diam pada Agam yang kini sudah mengeluarkan senyum tengilnya.
"Ya gimana ya, titisan Albert Einstein gini ya kali kagak lolos," katanya sambil memainkan jambul rambutnya.
"Tinggi bat kalo ngomong, awas nabrak pesawat, lo. Tinggal bilang nyogok doang berat amat tu mulut," celetuk Kaila.
Baru juga membuka hari, namun pancingan demi pancingan sudah saling terlempar. Lagi dan lagi kebetulan menghampiri, kelompok Kaila dan kelompok Agam bersebelahan. Kini posisi Kaila persis ada di sebelah Rizal. Tepatnyaâ Rizal yang berada di tengah-tengah mereka berdua.
"Jangan sekate-kate lo kalo ngomong. Timbang lo ngatain gue, mending ngaca dulu sono, itu rambut apa rumah makan Padang? Yailah banyak amat cabangnya."
Gadis tersebut mendelik sinis. Mungkin bagi mereka yang punya keahlian lebih, sudah bisa melihat asap yang keluar dari ubun-ubun, telinga, dan lubang hidung milik Kaila.
"Ape liat-liat?" tantang Agam.
"Suka-suka gue, mata-mata gue."
"Masya Allah saudaraku sebumi dan sesurga, bisa tahan dulu kagak ributnya?" Rizal mengingatkan.
"Berisik lo," seru Agam dan Kaila.
Pemuda yang berada di tengah-tengah mereka itupun tersentak kaget. "Timbang gini doang lo berdua baru kompak," gumam Rizal.
"Kalian yang ngobrol," tegur salah satu panitia yang sedang patroli. "Iya kalian berdua! Pakai tolah toleh segala lagi, cepet ke sini!" sindirnya.
Kaila terdiam di tempat, seketika dirinya menciut akibat ditegur oleh panitia MPLS, sedangkan Agam memasang wajah pasrah sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Ah elah, gara-gara elu, nih. Ribet dah urusannya."
"Ayo cepetan!"
Agam dan Kaila lantas berjalan mendekati panitia perempuan yang menatap tajam ke arah mereka. Panitia dengan nametag Laura Christy tersebut meraih kalung nametag kardus mereka satu-satu. "Kaila Azalea Syahnala.. Agam Pradana.." gumamnya kemudian menatap Kaila dan Agam bergantian. "Kalian berdua dengerin nggak kalau di depan lagi ada sambutan Ketua OSIS?"
"Dengerin, Kak," jawab mereka kompak.
"Terus kenapa kalian malah ngobrol?"
"Nih, dia nih yang mulai duluan, Kak," sela Agam cepat sambil melirik Kaila.
"Kok jadi gue?" protes Kaila tidak terima. Gadis itu menatap Laura serius. "Enggak, Kak, dia duluan yang mulai," katanya menunjuk Agam di sebelahnya.
Mata pemuda tersebut sontak melebar. "Gue?" ulangnya tak percaya. "Eh musang betina, jelas-jelas yang ngatain gue duluan tadi elu, ya, makanya gue katain balik! Banyak noh saksinya."
Mendengar kalimat yang keluar dari mulut Agam, membuat Kaila refleks menggigit bahu pemuda tersebut. "Argh! Kaila sakit!" Jerit Agam. "Lo kata bahu gue jelly apa? Main gigit-gigit bae, gue gigit balik nangis lo," protesnya sambil mengelus bahu yang terasa perih.
"Makan tuh musang betina," kesal Kaila.
"Tuh 'kan, Kak, saya tuh enggak bohong, Kakak bisa liat sendiri betapa bengisnya perempuan satu ini. Percaya sama saya, Kak, bukan saya yang mulai duluan," bela Agam.
"Kak jangan percaya gitu aja sama jelmaan buaya kali Angke, dia tu bohong! Aslinya emang dia yang mulai duluan."
Agam menggeleng dengan tangan menutup mulut hiperbola. "Tipu daya wanita itu bener-bener nyata, ya. Dih, merinding banget gue liat lo, Kai."
"Orang emang lo duluan kok yang mulai."
"Iring iming li diliin kik ying milii," ejek Agam.
Gadis tersebut lantas menatap Agam sepenuhnya, raut wajahnya bahkan sudah memerah akibat emosinya mulai terpancing kembali. "Lo beneran ngajak ribut, ya?"
"Li binirin ngijik ribit yi," balasnya lagi dengan nada ledekan sambil melirik sekitar. Sedetik kemudian jambul yang sudah ditata sedemikian rapi itu berantakan akibat ditarik kuat oleh Kaila.
Kericuhan pun kembali terjadi di belakang barisan membuat beberapa siswa diam-diam menoleh penasaran. Genggaman Kaila yang cukup kuat membuat Agam kewalahan sendiri, mereka bahkan saling berputar karena Agam berusaha keras untuk melepaskan diri.
"KAILA AGAM CUKUP!" teriak Laura tak kalah frustasi.
Tersadar akan atmosfer yang semakin serius, kedua orang itu berhasil memisahkan diri. Laura berdiri sambil berkacak pinggang. "Kalian berduaâ" ucapannya terhenti tampak Laura mengatur napas pelan. "Kalian berdua keliling lapangan 25 kali putaran, sekali protes dikali 5. Sekarang!" titahnya lelah.
Kaila berdecak kesal namun tetap mengikuti arahan dari Laura. Dengan wajah tertekuk, ia melewati Agam, tidak lupa memberikan senggolan maut kepada pemuda tersebut. "Masih aja ternyata," gumam pemuda itu, kemudian ia berlari mendekati Kaila. "Santai aja kali larinya, ngeri-ngeri tu cabang rumah makan Padang malah pada ambruk," ujarnya sebelum berlari kencang.
Kaila menghentikan langkah, terperangah sesaat sebelum mengigit bibit kesal. "Dasar jambul khatulistiwa! Buaya kali Angke! Monyet ragunan! Jauh-jauh lo dari gue!" kesalnya tak tertahan.
ð¦
Teriknya matahari menggerogoti energi Kaila habis-habisan. Gadis itu baru berhasil mengelilingi lapangan sebanyak 15 putaran, yang berarti masih ada sisa 10 putaran lagi yang harusia tuntaskan, sedangkan Agam sekarang sudah masuk putaran ke - 21 cukup jauh untuk sekadar dibandingkan. Akibat kelelahan, Kaila tanpa sengaja tersandung oleh kakinya sendiri. Gelak tawa samar-samar terdengar di telinganya, tanpa perlu melihat Kaila sudah tahu milik siapa suara lancang tersebut, ya, siapa lagi kalau bukan dari mulut laki-laki bernama Agam Pradana.
"Yah nyungsep," suara Agam mulai terdengar jelas di telinganya. "Butuh ambulan nggak, tu?"
Kaila tidak menggubris, ia memilih bangkit dan kembali berlari kecil dengan sesekali mengatur napas yang mulai terasa pendek di setiap hembusannya. Melihat gadis itu tidak merespon, Agam pun mensejajarkan larinya, dari jarak yang cukup dekat ini dapat ia lihat wajah Kaila yang memerah beserta buliran peluh di keningnya akibat dari teriknya paparan sinar matahari.
Agam berdehem singkat sebelum bersuara. "Kalau kagak kuat lari bilang aja sono, jangan batu jadi cewek. Masalahnya kalo lo pingsan kagak ada yang mau seret ke UKS."
"Bisa nggak mulut lo sehari aja diem?" balas Kaila malas.
"Bisa tuh, kalo lagi tidur. Gue bakal jadi orang pendiem, anteng lagi."
Kaila kembali memilih untuk menghiraukan ucapan Agam. Saat ini rasa pusing lebih besar dari pada emosinya, sedangkan di sebelahnya Agam masih saja berceloteh tidak jelas, yang lama kelamaan hanya terdengar sayup-sayup di pendengaran Kaila. Tidak lama kemudian tubuh tersebut ambruk begitu saja, membuat Agam kaget bukan main. Agam langsung bergegas menghampiri Kaila. "Kai?" panggilnya sambil menepuk pelan bahu gadis tersebut beberapa kali. "Kaila?" Agam memeriksa napas Kaila, untungnya masih bernapas.
"Kembali ke kelompok kamu, biar saya yang bawa dia ke UKS."
Suara interupsi barusan menghentikan tangan Agam yang ingin menggendong Kaila. Tidak butuh waktu dan energi yang ekstra, pasalnya dalam seperkian detik tubuh Kaila sudah berada di dalam rengkuhan pria berkaca mata yang Agam sendiri tidak tahu namanya. Gadis yang terkulai tanpa tenaga itu seketika langsung dibawa menuju UKS yang kebetulan juga posisinya tidak jauh dari lapangan.
Di UKS, dengan sigap perawat yang ada di sana membantu membuka tirai dan menuntun ke arah bed crank. "Kenapa ini Fadlan?"
Pemuda itu terdiam beberapa saat. "... habis dihukum lari lapangan, Bu," jawab pemuda yang diketahui bernama Fadlan.
Perawat UKS menggeleng tidak percaya. "Kalian ini ada-ada aja kalo ngasih hukuman! Mending disuruh bersihkan sampah atau mengerjakan hal yang lebih berbobot, karena kalau udah ada korban gini, siapa yang mau bertanggung jawab?"
Fadlan meringis di tempat. "Maaf Bu atas keteledoran kami kali ini. Untuk masalah ini, saya yang sepenuhnya akan tanggung jawab."
Perawat UKS menatap Fadlan dan Kaila yang terbaring di atas ranjang bergantian. "Ya sudah, kamu boleh keluar," titah sang perawat yang kemudian membuat Fadlan mundur sambil menutup tirai.
Perawat UKS pun mulai melaksanakan tugasnya, dengan cekatan membuka ikat pinggang, kancing atas, kancing rok, sepatu, apapun yang menyesakkan badan Kaila kemudian mengoleskan aroma terapi di berbagai titik, memeriksa denyut nadi, mata dan sirkulasi pernapasan.
Tiga puluh menit telah berlalu, Fadlan tiba-tiba datang kembali dengan membawa kantong plastik penuh akan berbagai macam roti. Perawat UKS yang tampak menutup tirai Kaila seketika terkejut oleh kehadiran Fadlan yang datang tanpa suara. "Astaga Fadlan, kamu ini bikin kaget aja. Ada apa lagi?"
Pemuda tersebut menggaruk tengkuk bingung. "Saya pikir dia pingsan juga karena belum sarapan, Bu."
Melihat plastik bawaan Fadlan membuat perawat UKS menggeleng pelan. "Ini buat satu kelas juga masih kelebihan, Fadlan," celetuk perawat UKS.
Fadlan terdiam sesaat, ia memandang wajah Kaila yang belum kunjung menampakkan hilal kesadarannya di sana. Melihat kerisauan dari wajah Fadlan, sang perawat pun memberikan sebuah penjelasan. "Anaknya enggak papa, cuma kelelahan aja."
Pemuda itu pada akhirnya mengangguk pelan. "Baik Bu, maaf dan makasih juga karena tadi sudah ingetin kita, bakal saya sampaikan ke yang lain. Kalo begitu saya pamit dulu, permisi, Bu."
Pemuda berkaca mata itu pada akhirnya kembali menuju lapangan. Sepuluh menit setelah sepeninggalannya, mata Kaila mengerjap beberapa kali, berusaha menetralkan pandangan dari cahaya ruangan yang masuk ke matanya.
"Masih pusing?" tanya perawat UKS yang langsung dijawab anggukkan pelan. "Ngerasa mual?" tanya perawat lagi.
"Enggak, Bu."
"Minum dulu yuk," kata perawat sambil memapah tubuh Kaila untuk duduk. "Dinetralin dulu tenggorokannya, kamu dehidrasi ini." Kaila lantas meneguk setengah gelas air putih hangat.
"Maaf, ya." Aroma terapi kembali dioleskan ke leher Kaila dan pelipisnya. "Biar mengurangkan rasa pusing."
"Tadi dari rumah sudah sarapan?"
"Sudah, Bu."
Perawat UKS tersebut tersenyum hangat. "Kenapa bisa kamu dihukum keliling lapangan begitu?" tanyanya yang membuat Kaila mati kutu dan hanya bisa meringis tanpa menjawab.
"Ya sudah, ini dimakan buat ganjel perut kamu, ya, biar badan kamu juga ada energi lagi." Perawat UKS memberikan satu kantong plastik penuh roti.
Mata Kaila melebar. "Taâ tapi ini kebanyakan, Bu."
"Enggak papa, dimakan aja mana yang kamu mau."
ð¦
Akibat kejadian tadi, peserta MPLS diberi kelonggaran oleh panitia untuk beristirahat lebih lama dan dibebaskan untuk membeli jajan ke kantin sekolah. Sembari mereka istirahat, para panitia juga melakukan rapat dadakan di ruang OSIS sana.
"Gue nggak mau kejadian kayak tadi keulang lagi. Siapapun yang bersikap semena-mena dan melanggar aturan yang udah kita sepakati, you might as well throw yourself into the ring of chaos with me." Suara dingin tersebut berhasil membuat para panitia mati kutu di tempat, Fadlan benar-benar terlihat seratus kali lebih serius dari pada biasanya. "Paham?"
"Paham."
"Tadi siapa yang ngasih hukuman ke anak-anak itu?"
Laura yang berada dipojokan pun memejamkan mata sejenak, kemudian mengangkat tangan ragu. Fadlan menatap dingin ke arah Laura. "Lo sadar nggak Lau, kalau siswa yang lo hukum tadi juga ada perempuan?" tanyanya yang membuat Laura mengangguk pelan. "Coba lo bayangin, lo yang ada di posisi dia, apa lo sanggup?"
"Sorry, Fad."
"Bukan ke gue, tapi ke adik-adik tadi. Lagian gue selalu menekankan ini dari awal, di tahun ini kata MOS diganti MPLS dengan tujuan biar lepas dari kata perpeloncoan, dan bisa-bisanyaâ lo ngerusak apa yang udah kita usahain bareng-bareng. Gue juga selalu ngasih warning ke kalian semua kalau mau melakukan sesuatu itu tolong dipikir dengan panjang, bayangkan kalau anak jurnalistik dan kepala sekolah tau tentang kejadian ini, apa yang bakal terjadi sama image OSIS?" tanya Fadlan sembari mengamati para panitia. "Image kita bakal dicap buruk, bakalan ada cap senioritas di sebuah organisasi dengan isi orang-orang anarkis."
Suasana panas masih amat terasa di ruang OSIS. Sedangkan di tempat lainâ tepatnya di area kantin, suasana sangat ramai akan manusia yang berlalu lalang. Di salah satu meja yang berisikan tiga orang pemuda, terlihat salah satunya mengeluarkan raut gelisah, bahkan makanan di hadapannya belum tersentuh sama sekali membuat Rizal yang sedang melahap makanan bersuara.
"Paranin sono ke UKS kalau khawatir."
"Siapa?"
"Elu lah."
"Yang nanya."
Rizal tertawa hambar sambil menunjuk-nunjuk wajah Agam. "Kampret juga ni orang, pantes Kaila sensi mulu kalo sama lo."
Agam tak menggubris, membuat Ilham menimpali. "Kaki lo bisa diem kagak? Nih meja dari tadi geter-geter. Nih ya, kalo lo ngerasa khawatir ya paranin sono ke UKS, laki bukan?"
"Khawatir apaan, dah? Siapa yang khawatir?"
Rizal dan Ilham berdecih sambil terkeleh pelan. "Buset dah nih bocah beneran bikin gue gedek, eh Malih, ni semut juga tau kali kalo lo lagi khawatir," kata Rizal sambil menunjuk salah satu semut yang lewat di atas meja makan mereka.
"Ah, sotoy lo sotoy," ujarnya sambil berdiri. "Dah ah, gue mau cabut ke kamar mandi dulu."
"Idih najis bat gue liatnya, ngeles mulu udah kayak bajaj bajuri lo! Gih sono, jangan salah jalan ke kamar UKS!" teriak Ilham saat pemuda itu berlalu dari hadapan mereka.
Saat di pertigaan koridor, Agam tiba-tiba menghentikan langkahnya. Pemuda itu tampak memperhatikan sekitar sebelum pada akhirnya langkah kaki jenjang itu berjalan menuju jalan yang tak seharusnya ia lewati jika ingin menuju kamar mandi. Derap langkah kaki jenjang itu, membawanya ke arah yang berlawanan.
Dan sekarang, disinilah Agam, berhenti tepat di depan UKS. Pemuda ini berusaha melihat keadaan UKS dari balik jendela. Decakan pelan lolos saat ia tidak melihat apapun di sana selain tutupan kain tirai. Agam kemudian memilih masuk dan berdiam diri di balik tirai putih, dari posisinya berdiri sekarang, dapat ia dengar suara dua orang gadis yang tengah ngobrol.
"Sumpah, gue mana pernah bohong sih, Kai. Kak Fadlan gendong lo ala bridal style. Nih ya, ampe anak kelompok gue pada gaduh, buset dah kata gue, itu karismanya si Kak Fadlan.. beh! Beneran meledak!" Sekar berucap dengan semangat hingga urat-urat di lehernya terlihat jelas.
Kaila merinding. "Kak Fadlan tuh yang mana orangnya? Ih, tapi pasti tadi muka gue jelek banget pas pingsan, mana badan gue juga berat lagi."
"Bagus sadar diri, berhubung tadi gue juga ada di dekat lo pingsan, nah keliatan dah tu muka lo jelek banget! Mana pake mangap segala lagi." Terdengar suara nyaring dari balik tirai beserta cekikikan. "Bridal style katanye? Yeeh, orang diangkut kayak karung semen begitu, apaan bat bridal style! Gaya kuli bangunan noh yang iya."
Sekar yang duduk tak jauh dari tirai pun spontan menyibakkan tirai berbarengan dengan penampakkan wajah tengil milik Agam di balik sana. Di atas bed crank, mata Kaila telah melotot sempurna. "Ngapain lo?" kesalnya.
"Tau nih, ngapain sih Gam, pake acara nguping segala? Sono lu balik, kagak tau apa kalo this is girls time!" sambung Sekar.
Agam berdehem pelan. "Jangan pada geer dulu, siapa juga yang ngupingin lo pada? Orang gue kesasar, tadinya mau ke toilet!" katanya membela diri, Agam kemudian membalikkan badan untuk berjalan ke arah perawat UKS. "Bu toilet di mana, ya?"
"Kamu tadi dari mana?"
"Kantin, Bu."
"Kalau dari kantin ke UKS berarti kamu memilih jalan ke kanan, nah ke toiletnya itu ada di jalan yang kiri."
Pemuda itu langsung bergegas jalan keluar dari sana setelah mengucapkan terima kasih ke perawat UKS, meninggalkan dua perempuan yang menatapnya dengan sorot mata kesal. Diam-diam, perawat UKS yang memang sudah menyaksikan kejadian tersebut dari awal kedatangan Agam di luar pintu hanya bisa terkekeh pelan. Sedangkan Kaila, hanya bisa menahan amarahnyaâ setidaknya untuk kali ini saja.
____________________
Mood Rizal today :