3| Tampan, Mapan, Beriman
The Apple of My Eye [COMPLETE]
Jika manusia diberi satu kesempatan untuk melakukan apapun yang dia mau kemudian langsung terwujud, maka Kaila akan memilih untuk memutar waktu saat ini juga. Gadis itu benar-benar merasa malu akibat mengingat insiden pingsan tadi siang. Saat bel pulang sekolah terdengar, Kaila turut keluar UKS dengan kepala yang menunduk karena beberapa anak-anak yang masih berada di sekitaran sekolah menatapnya dengan tatapan penasaran.
"Oi."
Teriakan tidak asing itu membuat Kaila menoleh ke sumber suara, terlihat Agam berlari kecil ke arahnya. Saat kaki jenjang itu berhenti tepat di depan Kaila, pemuda tersebut mengamati wajahnya yang pucat pasi. "Masih kuat, Bu Haji?"
"Udah ya Gam, gue lagi nggak ada tenaga buat berantem," balas Kaila lesu.
"Etdah bocah soudzon mulu, siapa juga yang mau ngajakin berantem?"
Karena energinya belum 100% kembali, Kaila memutuskan untuk berjalan menuju gerbang tanpa harus repot-repot meladeni Agam. Di tengah perjalanan, Kaila merasakan bahwa beban di pundaknya terasa sedikit lebih ringan, gadis tersebut menoleh dan menyadari jika tangan Agam tengah membantunya dalam menenteng ransel dari belakang.
"Kagak usah protes, jalan aja udah," ujar Agam saat melihat alis Kaila terangkat menatapnya.
Kaila pun berdehem pelan untuk mengusir rasa kering yang tiba-tiba menggerayangi tenggorokannya. Mereka berdua beriringan dalam melanjutkan perjalanan ke halte depan, tampak Rizal, Ilham dan Sekar sudah menunggu mereka di sana.
"Udah enakan lo?" tanya Ilham yang diberi anggukan oleh Kaila.
Sekar mengamati Kaila dan Agam bergantian, seperti memperhatikan sebuah kejanggalanâ tetapi apa? Matanya yang masih menyorot penasaran itu disadari oleh Kaila, buru-buru ia menjauhkan diri dari Agam dan bergegas untuk mendekat ke arah Sekar. "Lo demam ya, Kai?" tanya Sekar.
"Enggak, emang cuma karena pusing doang."
"Terus, kok pipi lo merah?"
Kaila spontan menutup pipinya. "Ha? Mâ mungkin kaâ karena tadi AC-nya dimatiin," ujarnya gugup, dalam hati mengutuk Sekar karena melontarkan pertanyaan barusan. Alhasil dirinya sekarang langsung mendapatkan atensi dari ketiga pemuda di dekatnya, termasuk Agam yang kini menatapnya lekat.
Rizal menggeleng kepalanya dramatis. "Lagian jadi bocah bader bangat! Kata gue juga ape, berhenti berantem, kena 'kan lo."
Saat keduanya nyaris berdebat, sebuah motor tipe Yamaha XRS 155 berhenti di hadapan mereka, kelimanya saling pandang saat sosok yang mengenakan helm full face tersebut berjalan mendekat ke arah mereka.
"Kaila?" panggilnya.
"Bukan Ngab, ini Zaenab."
Celetukan dari Agam membuat Kaila mendelik. Kaca helm full face tersebut terbuka, membuat manik mata hazel milik Kaila mengerjap beberapa kali. Berusaha mengenali siapa sosok di balik kaca helm tersebut.
"Itu diaâ Kak Fadlan yang tadi gue bilang," bisik Sekar yang langsung membuat Kaila melebarkan matanya.
Ternyata laki-laki yang ada di hadapannya saat ini adalah sosok yang sempat membuat heboh akibat aksi heroiknya dalam menolong Kaila tadi siang. Bahkan Sekar pun kini diam-diam turut terkesima mengamati Fadlan yang tampak 1000 kali lebih menawan dengan jaket kulit hitam yang melekat di tubuh tingginya.
Kaila meringis dalam hati, sekelebat bayangan tentang kejadian memalukan tadi siang kembali terputar. Gadis ini sungguh ingin menghilang sekarang juga.
"Mau pulang naik angkot?"
"Iya, Kak."
"Bareng gue aja gimana? Muka lo keliatan masih pucet soalnya, gue anter biar cepet sampai rumah, mau?"
Sekar langsung menyenggol bahu Kaila. "Iyain aja sono, kapan lagi lo dianter balik sama Kak Fadlan," bisiknya.
"Buset, nyambi ojek ya, Ngab?"
Kaila langsung memijak kaki Agam yang entah sejak kapan sudah berdiri di sebelahnya, membuat pemuda itu meringis kesakitan. "Kenapa, sih? Orang cuma nanya doang yeeeh," protesnya.
Gadis tersebut menggeleng pelan tanpa menggubris ucapan Agam. "Makasih, Kak. Tapi gue naik angkot aja deh sama yang lain, rumah gue juga nggak jauh-jauh banget kok."
"Beneran?"
"Gue aja apa ya, yang ikut pulang bareng?" Agam tampak berbisik pada Ilham. Tapi masalahnya, bisikan Agam bukan tergolong bisikan karena nyatanya ia berucap dengan amat keras sambil mencengkram bahu kanan Ilham.
"Sakit ege," keluh Ilham tertahan.
"Maaf ya, Kak," ucap Kaila tidak enak.
Fadlan melirik mereka bergantian, kemudian menatap Kaila lagi. "Serius nggak mau pulang bareng?"
"Ngebet amat, minta diseriusin."
Bugh.
Kaila refleks meninju perut Agam, lalu menutup mulut lemes pemuda tersebut dengan telapak tangannya. Gadis itu tidak peduli akan ringisan laki-laki yang kini ia dekap erat. "Maaf ya, Kak, ini anaknya memang suka nggak liat orang dulu kalo mau bercanda," ujar Kaila tidak enak hati.
Laki-laki yang ada di depannya hanya terkekeh pelan dari balik helmnya. "Ya udah, kalo gitu gue duluan ya, Kai. Besok jangan lupa sarapan dan jangan sampai dihukum lagi," katanya yang membuat Kaila meringis malu.
"Sekali lagi makasih udah nawarin, Kak."
"Khap khun khrap, hati-hati di jalan khrap," ujar Agam dengan suara yang terdengar tidak jelas. Tentunya membuat Kaila lagi dan lagi menginjak kaki Agam agar pemuda tersebut diam.
Untung saja Fadlan tidak mendegarnya. Laki-laki itu melambaikan tangannya sesaat sebelum motornya berlalu dari pandangan mereka berlima, berganti dengan kehadiran angkot jurusan rumah mereka. Ilham, Rizal dan Sekar sudah lebih dulu naik ke dalam angkot, berbeda dengan Kaila yang malah melemparkan tatapan sengit ke arah Agam.
"Lo tu kenapa, sih?! Bikin malu tau, nggak!"
"Lah, emang kenapa? Orang gue nggak ngapa-ngapain juga."
"Terserah! Makin pusing kepala gue karena ngomong ama monyet ragunan kayak lo."
Suara Pak Sopir berhasil menghentikan mereka yang tengah berdebat. "Woi lu berdua mau balik apa kagak?"
ð¦
Ruang tengah rumah ini lebih mirip markas pribadi Agam ketimbang ruang keluarga. Sofa dengan sarung bercorak bunga terletak di depan TV layar datar yang suaranya cukup nyaring, menampilkan game online penuh aksi tembak-tembakan. Di atas meja kecil di depan sofa, ada botol minuman soda dan tumpukan bungkus snack yang berserakan, menjadi saksi bisu atas kegiatan santainya. Air conditioner di dinding sebelah kiri menderu lembut, menyebarkan hawa sejuk yang membuat suasana semakin nyaman untuk bermalas-malasan.
Agam menyandarkan diri di sofa, hanya mengenakan boxer hitam dan singlet abu, tangannya terlihat sibuk memencet joystick dengan ekspresi tegang seakan tengah menyelamatkan dunia. Dari arah dapur, terdengar suara spatula beradu dengan panci, diselingi aroma bawang goreng yang menguar, menggoda perut siapa saja yang lewat.
"Dek, tolong anterin ini ke rumah Bu Ratna, ya," seru Desiâ Bundanya dari balik pintu dapur.
"Mager ih, Bun," jawab Agam tanpa berpaling sedikit pun dari layar TV.
Tak sampai dua detik, plak! Spatula mendarat sempurna di pahanya. "Aduh, Bun!" protes Agam tangannya refleks mengelus bagian yang perih.
"Kamu itu kenapa sih, kok sekarang jadi pemales banget kalau disuruh anter begitu?" Desi berdiri di belakang sofa dengan genggaman spatula yang terlihat seperti tongkat komando. "Punya anak laki malesan begini, cuma nganter ke depan, lho! Enggak sampai satu menit!" tukas Desi sambil menunjuk arah pagar dengan spatula.
Agam menggaruk kepala, tampak ragu sebelum akhirnya bangkit dari duduknya. "Adek tuh males ketemu nenek sihir, Bun," keluhnya serius.
Mata Desi langsung membulat. "Mulutnya itu, ya! Siapa yang kamu sebut nenek sihir?"
Refleks Agam mundur selangkah sambil melirik spatula itu dengan ngeri. "Siapa lagi kalau bukan Kaila," jawabnya.
Desi menarik napas panjang, menurunkan spatula dengan dramatis, tidak habis pikir dengan ucapan anaknya. "Bener-bener mulut kamu itu enggak ada remnya, Agam."
"Bun, sumpah! Dia tuh cewek titisan Titan, Bun," seru Agam mengitari sofa dengan langkah hati-hati. Memastikan ada jarak aman antara dirinya dan spatula maut. "Kaila itu nggak kayak yang Bunda bayangkan. Dia beda banget sama cewek-cewek lain, makanya Agam berani ngomong kayak gini."
"Titisan Titan? Hei, kamu pernah bayangin nggak kalau anaknya denger kamu ngomong begitu? Apa nanti dia enggak sakit hati?"
"Udah biasa, Bun," balasnya santai dengan kaki yang terus melangkah mundur. Tangannya memegang sandaran sofa seakan bersiap jika Desi melancarkan serangan lagi.
"Agam!"
Dan benar saja, suasana jadi tegang karena spatula di tangan Desi kembali terayun ke arahnya. Agam berlari mengitari sofa lain. Televisi di dekat Agam tiba-tiba berbunyi, suara karakter game berteriak. "Run! They're coming!" seolah ikut memberi peringatan pada Agam. Namun, sebelum spatula itu sempat mendarat lagi, suara bel rumah terdengar nyaring.
"Iya, sebentar," ujar Desi melirik anaknya yang masih bersembunyi di balik sofa. Desi membuka pintu dan sosok Kaila berdiri di sana mengenakan kaus santai dan celana jeans. Senyum sumringah tersungging di wajah Desi. "Eh, Kaila! Pas banget ini. Ayo, sini masuk dulu," ajak Desi mengubah nadanya menjadi ramah dalam sekejap seolah barusan tak ada insiden kejar-kejaran.
Mendengar nama sosok yang ia sebut sebagai nenek sihir tadi, kepala Agam sedikit tergerak untuk melihat gadis yang membuat dirinya dipukul pakai spatula.
"Kaila cuma mau ngasih ini, Tan. Ada bolu marmer buatan Ibu."
"Limbad kali ah, makan marmer," gumam Agam dari tempatnya yang tidak terdengar seperti gumaman, karena faktanya Kaila dan Desi mendengar ucapan tersebut.
Selang beberapa detik, lagi-lagi suara keluhan terdengar kala tempat tisu melayang ke kepalanya. "Agam! Mulutnya beneran Bunda cabai ya lama-lama. Enggak sopan tau, nggak!" ucap Desi sambil melotot.
Desi kembali menatap Kaila sambil tersenyum. "Sebentar ya, Kaila, jangan pulang dulu. Barusan Tante juga mau ngasih sop iga nih, baru aja selesai masak. Tante ambilin bentar, ya," Desi berlalu menuju dapur meninggalkan Kaila yang duduk di sofa ruang tamu.
"Ayah, ada Kaila, nih," teriak Desi memanggil Bambangâ suaminya. Hubungan kedua keluarga ini memang terjalin sangat baik, kelewat baik bahkan. Mengingat anaknya semua laki-laki, tanpa sungkan Bambang menganggap Kaila sebagai putrinya.
Di ruang tamu ini dapat Kaila lihat tatanan yang rapi. Karpet tebal berwarna krem membentang di tengah ruangan, memberikan kesan hangat dan nyaman. Di sudut dekat jendela, sebuah sofa kulit berwarna cokelat tua tampak begitu mewah dengan bantal-bantal empuk yang tertata rapi di atasnya. Meja kaca dengan vas bunga segar di atasnya akan menjadi titik perhatian para tamu.
Namun yang paling mencolok di ruang tamu ini adalah lemari kolase besar yang terletak di dekat dinding sebelah kanan. Lemari kayu dengan kaca bening itu berisi koleksi foto-foto kecil yang tersusun dengan rapi, menggambarkan momen-momen penuh kenangan dari kehidupan keluarga Agam. Foto-foto itu tersusun dalam urutan yang tak hanya menunjukkan waktu, tetapi juga perasaan dari potret keluarga Agam. Mulai dari foto bayi, foto masa kecil, foto libur keluarga, hingga momen-momen bersejarah seperti kelulusan sekolah.
Setiap foto di lemari itu berbicara tentang sejarah keluarga yang hangat dan penuh ikatan. Dari tempat Kaila duduk, tampak potret Agam kecil yang sedang memegang piala lomba balap karung dihiasi oleh senyum bangga di wajah yang masih polos. Di sampingnya ada foto pernikahan orang tua Agam, Desi yang tampak anggun dalam gaun pengantin putih serta Bambang yang tersenyum lebar dengan jas hitamnya. Foto-foto tersebut tersusun dalam bingkai-bingkai kayu.
Pandangan Kaila terhenti pada sebuah foto lama di pojok kanan lemari, foto saat mereka merayakan ulang tahun Agam yang ke-10. Desi terlihat tengah memegang kue ulang tahun dan Bambang berdiri di sampingnya dengan ekspresi yang tampak penuh kebanggaan. Di sana, juga ada Kaila, Rizal, Sekar dan Ilham yang masih kecil. Di rak bawah, terdapat beberapa barang seperti piala dan piagam. Setiap barang di ruangan ini tidak hanya berfungsi sebagai pajangan, tetapi juga sebagai saksi bisu dari perjalanan hidup keluarga Agam yang penuh warna.
"Ngedekem bae di sono, ngeram telur lo?" sindir Agam yang kini duduk lesehan di depan TV.
Kaila tersadar dari lamunannya, ia memilih untuk tidak menggubris dengan memainkan ponselnya di sana. Hal ini membuat Agam mencebikkan bibirnya kesal, pemuda kemudian itu kembali melanjutkan kegiatan bermain game-nya.
Meong..
Tatapan Kaila teralihkan saat seekor kucing berwarna putih mendekat ke arahnya. "Miki! Kok kamu jadi gembrot gini," katanya sambil mengangkat kucing tersebut ke dalam pangkuan.
"Bono ya, namanya Bono," sahut Agam dari tempatnya.
Kaila mendelik. "Suka-suka gue, mulut-mulut gue, kok lo yang ngatur," sewotnya pada Agam. Gadis tersebut balik memeluk Miki dengan gemas.
Tidak lama kemudian terdengar langkah berat menuruni tangga. Pria paruh baya muncul dengan kaus oblong dan sarung kotak-kotak. "Anak gadisku!" serunya sambil membuka kedua tangan, berlagak ingin memeluk Kaila.
"Padahal anak kandungnya di mari," gumam Agam.
Kaila pun berjalan mendekat membalas pelukan Bambang. "Kok kamu jarang main ke rumah? Banyak tugas, ya? Apa karena dijahilin Agam? Bilang aja biar dia Om sunat lagi."
"Yah?" protes Agam di tempat.
Gadis itu lantas menatap penuh kemenangan ke arah Agam. "Iya, Om! Tiap hari bikin Kaila nangis di sekolah, terus suka ngerjain Kaila lagi. Padahal Kaila nggak ngapa-ngapain! Diem aja kadang masih kena."
Bambang membalik tubuh, memandang sangsi putranya. "Kamu bikin Kaila nangis?"
Saat ini Agam kembali merasa dipojokkan. Terlebih melihat Bambang berjalan ke arahnya sambil membawa sapu yang ada di dekat tangga. Laki-laki itu lantas berdiri, kedua tangannya mengibas seolah menolak tuduhan. "Ya Allah fitnah, Yah. Fitnah lebih kejam daripada nggak fitnah! Kaila tuh yang sering mancing perkara," ujarnya sambil berjalan mundur. "Lagian siapa sih sebenernya yang anak kandung di sini?" tanyanya dari pojok ruang.
"Bohong, tadi aja gue kena hukum gara-gara lo."
Agam menatap tidak percaya. "Gara-gara gue? Eh lo janganâ"
"Kamu dihukum?" potong Bambang yang kini mengeluarkan raut kaget.
Dari tempatnya, Kaila mengangguk lugu. "Iya Om, Kaila disuruh lari lapangan 25 kali."
"Agam..." geram Bambang pelan.
Merasa tidak punya celah untuk membela diri, Agam buru-buru melangkah mundur, berlari cepat menuju balik punggung Kaila. Ia berusaha menjadikan gadis itu sebagai tameng hidup untuk menghindari sapu yang dipegang Bambang. "Sini kamu Agam! Bisa-bisanya jadi laki nggak gentleman, bikin anak gadis orang nangis, terus kena hukum, laki-laki macam apa kamu!" ucap Bambang tegas, matanya memancarkan amarah.
Tubuh Kaila bergerak saat Agam berusaha berlindung. "Mau aja dibohongin sama Kaila, Yah," kekehnya.
"Sini nggak kamu!"
"Enggak mau."
"Agam."
Tubuh Kaila semakin tidak terkendali karena Agam menguncinya dari belakang, membuat tubuh mungil itu terangkat ke kanan dan ke kiri dengan ritme yang lebih kencang dari sebelumnya.
"Om tolongin!" teriak Kaila.
Melihat kejadian yang ada di depannya, Bambang menepuk dahi heran, tangannya terangkat menyerah melihat kelakuan Agam yang jauh dari kata gentleman. Wajahnya yang biasanya tenang kini tampak benar-benar kesal. "Agam Pradana!" tegur Bambang keras membuat Agam yang tengah berusaha berlindung di balik Kaila langsung menghentikan aksinya. "Menjauh dari situ sebelum sapu ini bener-bener melayang ke paha kamu," ujar Bambang tegas.
Tanpa berpikir panjang Agam langsung berlari menjauh meninggalkan Kaila yang kini tengah merapikan rambutnya. Bambang yang tampak sedikit lelah, memijat pelipisnya dengan tangan kiri, sementara tangan kanan masih setia memegang sapu. "Pokoknya kalau kamu dijahilin Agam, langsung pitting aja lehernya, ya. Enggak usah takut, oke? Ini amanah yang harus kamu pegang," tegas Bambang memberikan mandat resmi kepada Kaila yang kini mengangguk mantap.
Bambang melirik jam dinding, baru sadar waktu sudah menunjukkan pukul setengah tujuh malam. "Ya udah, kalau gitu Om mau keluar dulu, ya. Seperti biasa, ada tugas negara di pos ronda," ujar Bambang sambil berjalan menuju pintu dengan langkah cepat. "Bun, izin keluar bentar, ya," pamit Bambang.
Desi yang sedang sibuk di dapur berteriak. "Catur lagi? Itu P2B2C (Perserikatan Pria Botak Bermain Catur) ngasih benefit apa sih buat negara? Nggak Bapaknya nggak anaknya sama aja."
Kaila menahan tawa dengan susah payah sedangkan Agam yang mendengar sindiran itu melontarkan senyum puas karena sang Ayah akhirnya turut kena semprot sang Bunda. Sebelum kembali duduk, gadis tersebut menyempatkan untuk menjulurkan lidah ke arah Agam yang menatapnya sinis sambil menunjukan kedua jari ke arahnya. Kaila melanjutkan aktivitasnya dengan bermain bersama Miki, sementara Agam lagi-lagi mencibir kesal. Tak lama, suara dentingan notifikasi ponsel mengalihkan perhatian Kaila.
"Iya-iya yang punya handphone lo doang," sindir Agam dengan nada jengkel.
Fadlanddy_ mulai mengikuti anda.
"Aku chat ada yang marah nggak, nih?"
"Aku chat kayak gini cuma sama kamu doang kok."
Tembakan sorot tajam mengarah ke Agam, untung saja Desi datang dengan semangkuk sop iga. "Semoga suka, ya. Bilang juga sama Ibu, makasih bolunya, boleh lah nanti bagi-bagi resep."
Kaila langsung memasukkan ponselnya ke dalam saku dengan gerakan cepat, dan memindahkan Miki yang sempat berada di pangkuannya. Ia menerima mangkuk dengan senyum manis. "Oke Tante, makasih ya, nanti Kaila sampein. Kalo gitu Kaila pamit pulang dulu, assalamualaikum."
"Waalaikumsalam, hati-hati, sayang," ucap Desi sambil mengantar Kaila hingga teras depan.
"Dadah, Miki."
"Bono woi!"
ð¦
Jeritan histeris terdengar menggema dari kamar Kaila hingga keluar ruangan. Di dalam kamar, tercium aroma manis candle beraroma vanila bercampur dengan wangi bunga kering yang tergantung di dinding, menciptakan suasana yang nyaman. Terlihat Sekar heboh sendiri kala mendengar cerita dari Kaila yang kini tengah bersandar santai di tumpukan bantal empuk. Saat ini di hadapan mereka ada laptop yang menyala, menampilkan adegan dari serial drama Korea Selatan yang lagi mereka ikuti dengan antusias.
"Baru juga sehari lo sekolah di mari, sat set bener Kak Fadlan," ucap Sekar.
Kaila berdecak pelan. "Playboy sih kayaknya, kebaca banget."
Sekar menyentil dahi Kaila, ekspresinya mendadak serius. "Eh, jangan suka nyimpulin sesuatu yang bahkan lo aja kagak tau dia itu gimana."
"Ya terus apa, dong? Masa penasaran sama cewek kayak gue?"
"Maksudnya apa cewek kayak lo? Lo mah cantik, badannya bagus," ujar Sekar memuji, lalu kepalanya mendekat ke arah ponsel Kaila. "Belum lo follback?"
Kaila mendengus kecil lalu menyingkirkan tangan Sekar dari ponselnya. "Gampang lah, entar aja, biar enggak keliatan banget kalo kita ini cewek yang fast respon."
Sekar menggeleng heran sambil mengunyah keripik kentang. Pandangannya kemudian beralih ke Kaila yang mulai serius menatap layar laptop. "Menurut lo, Kak Fadlan tuh gimana?"
"Gimana apanya?"
"Ya orangnya gimana? Berhasil bikin lo deg-degkan, nggak?" tanya Sekar hiperbola.
"Ya deg-degkan lah, Kar, orang jantung gue masih berfungsi dengan baik. Gimana, dah?"
"Ish bukan itu! Maksudnya deg-degkan yang mengarah ke falling in loveâ"
Kaila refleks memotong ucapan Sekar. "Otak lo kejauhan. Gue sama dia belum juga kenal sehari, nih pasti akibat sering baca novel-novel romance, kecuci tu otak lo."
Bahu Sekar terangkat. "Who knows, darling? Kita 'kan harus punya planning buat ke depan. Siapa tau emang jodoh," katanya dengan nada jenaka seraya mengedipkan mata.
"Segala pake planning-planning. Udah lah, lo ngapain sih mikir begituan? Sadar Sekar, sadar!" Telapak tangannya bergerak untuk menekan ubun-ubun kepala Sekar, berharap agar isi kepala gadis ini kembali normal.
Sekar tertawa kemudian merapikan rambutnya yang berantakan. "Emangnya kenapa sih kalo punya pemikiran kayak gitu? Nih ya gue kasih tau, Kak Fadlan tampan, itu mah nggak perlu diraguin lagi! Mapan juga, karena yang gue denger-denger nih dari anak kelompok gue, katanya dia punya bistro sendiri di dekat GMM. Ya walaupun itu punya keluarga, tetep aja dong masa depan dia terjamin? Yang terpenting, beriman! Noh, apa lagi alasan yang nggak bikin kaum hawa jadi klepek-klepek coba!" tuturnya panjang lebar.
"Sttt, berisik Kar, gue jadi nggak fokus, nih," ucap Kaila.
Sekar hanya diam, matanya mengamati Kaila yang serius dengan layar laptopnya. Gadis ini tahu bahwa teman baiknya ini masih tertutup perihal asmara, tapi Sekar merasa yakin bahwa suatu saat nanti, setelah kejadian hari ini, akan muncul kemungkinan yang baru.
Tak ada kata yang perlu diucapkan, karena Sekar tahuâ bahwa setiap pertemuan tak hanya tentang kebetulan. Mungkin ini terdengar klise, namun siapa yang bisa menampik bahwa terkadang hal-hal seperti ini memang hanya terjadi dalam kehidupan nyata?
____________________
Hari-hari Kaila :