Back
/ 37
Chapter 5

4| Chitato; Life is Never Flat

The Apple of My Eye [COMPLETE]

Memasuki hari ketiga sekaligus hari terakhir masa pengenalan lingkungan sekolah, Kaila duduk di pinggir lapangan, mengistirahatkan punggungnya yang terasa pegal. Matahari siang yang terik membuat lapangan sekolah itu terasa semakin panas, sementara dapatbia lihat sekelompok siswa lain sibuk berlarian dari satu tempat ke tempat lain. Di sekelilingnya saat ini juga terdengar suara tawa dan teriakan teman-teman yang sedang berinteraksi dengan panitia MPLS.

"Tanda tangan lo udah lengkap?" tanya seorang laki-laki yang akrab dipanggil Ben, padahal nama aslinya Sabeni.

"Belom nih masih ada 4 lagi. Lo tau Kak Gisel, kagak?" Kaila menggaruk kepalanya bingung. Gadis tersebut melirik sekelilingnya, melihat teman-temannya yang tampaknya sibuk dan antusias mengikuti kegiatan, sementara dirinya justru merasa tersiksa akan tugas seperti ini.

Ben menunjuk sosok perempuan dengan tubuh tegap. "Noh, yang mukanya ganteng. Aneh bat dah, cewek kok bisa mukanya ganteng begitu."

Mata Kaila tertuju ke arah yang ditunjuk oleh Ben. "Lah iya yak, dominan ganteng gitu mukanya, manis juga kalo diliat-liat."

"Anak paskibra tuh setau gue, kagak heran sih kharismanya menyala."

"Ceileh tau bener, demen lo?"

Ben tertawa lepas. "Ora danta bat lo ege, tapi, ya gue mah demen-demen aja selama dia cewek."

"Sabi kali Ben buat mengisi masa-masa sekolah 3 tahun di sini."

"Yang bener aja lo, kagak mungkin lah. Mana demen dia sama modelan kayak gue begini."

"Idih si anjir, jangan merendah buat ditendang gitu lah. Lo cakep kok Ben, kalo diliat sambil merem gini." Kaila berucap sambil mempraktekkan. Ia tergelak saat Ben menjitak kepalanya.

"Udah sono, buruan minta tanda tangan. Waktu tinggal 10 menit lagi." Ben mengingatkan.

"Oh iya!" ucapnya tersadar. Gadis itu lantas berdiri dari duduknya, mengibas-ngibas rok saat melihat banyak rumput kering yang menempel di sana. "Duluan Ben, makasih yak infonya," ucap Kaila sebelum berjalan menuju wanita yang diketahui bernama Gisel tersebut.

"Permisi Kak, dengan Kak Gisel Lutfia, ya? Perkenalkan aku Kaila dari Kelompok 7 mau minta tanda tangannya, Kak." Kaila menyerahkan buku yang diberikan oleh panitia di hari pertama MPLS.

Gisel menerima buku tersebut. "Tau nama gue dari mana?"

Kaila berdehem pelan saat suara Gisel terdengar, ternyata tidak hanya memiliki wajah yang dominan ganteng, suara milik Gisel pun terdengar serak-serak berserakan— maksudnya, serak-serak basah.

"Kebetulan kemarin waktu pengenalan struktur jajaran aku ngeliat Kakak." Kaila tidak bohong, ya walaupun hanya memperhatikan sekilas.

"Kalo gitu, coba jawab, gue kelas berapa?"

"... kelas 12 IPS 4?" katanya penuh keraguan.

Gisel mengangguk. "Ya udah lanjutin sampai akhir, oh iya. Gue mau minta lo kasih ini ke Fadlan. Lo tau Fadlan, 'kan? Tau dong harusnya, nah waktu lo kasih ini jangan lupa bilang "semangat ya ganteng" tapi jangan bilang ini dari gue."

Mata Kaila mengerjap beberapa kali, yang benar saja? Masa dia harus ngasih bunga ke Fadlan sambil ngomong seperti itu? Mana bunganya, bunga kantil lagi. Mata Kaila seketika melihat sekitar barangkali ada kamera CCTV yang mengawasi mereka. Kaila ingin mengibarkan bendera putih saat ini juga.

"Kak, seriusan?"

"Cuma ngasih bunga doang kok, sama sedikit kalimat penyemangat. Lagian dia juga nggak bakal gigit orang." Gisel tersenyum jahil.

Enteng banget kalo ngomong.

Gisel melirik jam tangannya. "Buku lo gue tahan sampe lo berhasil ngasih bunga itu. Just reminder, sisa waktu yang dikasih panitia tinggal 7 menit, nih."

Muka Kaila semakin tertekan, dengan cekatan matanya langsung mencari keberadaan Fadlan. Pemuda  tersebut ternyata sedang duduk di bawah pohon pucuk merah bersama beberapa panitia lain di sekitarnya. "Mampus aja kalo gini ceritanya," gumamnya.

Gisel menepuk bahu Kaila beberapa kali. "Jangan buang-buang waktu yang tersisa, good luck, gue tunggu deket tiang bendera, ya," kemudian berlalu dari pandangan Kaila.

Sedangkan tangan Kaila sedikit gemetaran saat menggenggam bunga ini, ia bahkan tanpa sadar menggigit bibirnya gugup, merapalkan doa di sepanjang perjalanan menuju Fadlan. Pemuda yang sedang asik berbincang itupun seketika menatap perempuan yang kini berdiri kaku di hadapannya. "Kaila? Bukannya tadi udah minta tanda tangan?" tanya Fadlan heran.

"Ini— buat Kak Fadlan." Kaila menyodorkan bunga kantil tersebut. "Semangat ya ganteng!" ucapnya dengan sangat cepat, bahkan terdengar seperti dengungan nyamuk karena tak begitu jelas.

Raut wajah Fadlan jelas menunjukkan keheranan, tapi ia tetap menerima uluran bunga tersebut. "Lo ngomong apa? Ini buat gue?" tanyanya yang langsung dianggukkan cepat oleh Kaila. "Coba ulangi sekali lagi, tadi nggak kedengeran," pinta Fadlan.

Gadis ini tentu saja merutuk dalam hati akan tetapi mengingat waktu yang dimilikinya terbatas, Kaila menghela napas berat. "Semangat ya ganteng..." katanya lebih tenang dan pelan.

"Jiah!"

"Resep bat dah sama cewek kayak begini."

"Kacau Fad, gue juga kalo disemangatin gini beneran bakal semangat sampe tahun depan kayaknye."

Tolong selamatkan Kaila sekarang, ia yakin wajahnya kini telah merah padam akibat rasa malu. Kaila membuang pandangan ke sembarang arah, berharap agar momen ini cepat berakhir.

"Ngomong-ngomong, yang lo ajak komunikasi ada di depan lo." Suara Fadlan kembali terdengar.

Perasaan debaran yang sekarang Kaila rasakan lebih mengarah ke grogi. Rasanya ingin memaki dan mengumpati siapapun sekarang juga, ditatapnya Fadlan dengan seksama sebagaimana ucapan pemuda itu tadi. Ditatap lekat oleh Kaila seperti ini membuat Fadlan tiba-tiba merasa kikuk, ia berdehem pelan.

"Makasih ya bunganya, lo boleh balik."

Tanpa pikir panjang, Kaila bergegas menjauh dari sana dengan segala sumpah serapah ia teriakan dalam hatinya. Kalau bukan karena tugas MPLS, Kaila juga tidak sudi melakukan hal seperti ini.

🦋

Siswa/i baru diperbolehkan untuk membeli jajanan ringan atau minuman di kantin usai makan siang bersama kelompoknya. Awalnya, tentu saja peraturan ini tidak diperbolehkan. Fadlan selaku ketua OSIS berusaha menerapkan peraturan untuk membawa bekal dengan menu yang sama. Tujuannya agar semua siswa berada pada posisi yang setara, sehingga tidak ada kesenjangan sosial atau perbedaan mencolok antara mereka. Hal ini juga membantu menciptakan lingkungan yang inklusif.

Namun saat insiden atas tragedi tumbangnya salah satu siswi saat menjalani hukuman lari mengelilingi lapangan tempo hari, membuat Fadlan melonggarkan sedikit peraturan yang ada. Setidaknya, memberikan waktu sekurang-kurangnya 5 menit untuk siswa/i yang ingin beli sesuatu di kantin sekolah. Dan kini, di sinilah Kaila sekarang, tampak tidak fokus saat memilih minuman yang ada di dalam pendingin. Tidak ada nafsu, tidak ada gairah, yang Kaila mau sekarang hanya pulang ke rumah.

Sekar menyenggol lengan Kaila. "Udah tenang aja, Kai. Kak Fadlan nggak bakal ambil serius. Dia juga pasti tau kalo lo cuma disuruh."

"Enteng bat lo ngomong begitu, Kar! Gue nih, malu tujuh turunan! Mau taruh di mana muka gue coba?" kesalnya.

"Taruh di situ aja, ya kali dipindahin ke pantat."

Kaila membalikkan badan yang langsung memperlihatkan wajah tengil Agam di belakangnya bersama Rizal dan Ilham. Benar-benar seperti kuyang, makhluk ini selalu ada di mana-mana. "Bagen bae, Kai, abis energi yang ada kalo dijabanin mulu," sahut Ilham memberikan ketenangan saat melihat tatapan berapi-api dari Kaila.

Kaila langsung membalikkan badan kala netranya menangkap Fadlan beserta rombongan masuk ke kantin. "Ada Kak Fadlan!" ucapnya panik tanpa suara.

"Di mana?"

"Baru aja masuk kantin, ayo buru balik," bisiknya panik.

"Lah, terus ini kagak jadi beli minum?"

"Udah kagak haus, buruan, Sekar!"

"Etdah iya sabar napa."

Kaila berjalan cepat meninggalkan kantin, disusul oleh Sekar yang lari terbirit-birit di belakangnya. Tanpa Kaila sadari, karena style rambut anak-anak siswi baru itu ikonik, Fadlan jadi lebih dulu memperhatikannya. Pria tersebut diam-diam tersenyum sambil menggeleng heran kala melihat Kaila yang panik.

"Dih, si anjir malah senyum-senyum, kesambet pengikut bunga kantil beneran lo, Fad?"

Fadlan tak mengindahkan ucapan temannya. Laki-laki tersebut berjalan menuju kulkas kantin untuk mengambil satu minuman dingin. Tidak sengaja matanya berhenti tepat pada iris mata hitam legam yang menatapnya lekat dari jauh. Walaupun belum mengetahui namanya, namun Fadlan ingat kalau sosok tersebut adalah teman Kaila yang ia jumpai di halte. Tatapan yang terasa amat sengit itu terputus saat bahu Fadlan di tepuk seseorang.

"Kenapa?

Fadlan tersadar dan menggeleng. "Nggak papa, cepetan lo cari minumnya, bentar lagi anak-anak pada ngumpul."

Kepergian Fadlan dari kantin membuat Agam menghembuskan napas panjang, entah kenapa sejak mendengar Kaila mengungkit Fadlan tadi membuatnya merasa gerah. Ilham yang menyadari perubahan sikap Agam pun mengamati sekitar sesaat sebelum kembali melirik Agam.

"Napa lu?"

"Emang gue kenapa?"

"Lah bocah malah nanya balik, coba liat genggaman lo."

Agam yang merasa bingung pun turut mengikuti ucapan Ilham, dapat ia lihat kemasan botol air mineral di genggamannya sudah remuk tidak berbentuk. Pemuda tersebut lagi-lagi menghela napas pelan sebelum kembali menatap Ilham dan Rizal yang kini saling senggol dengan terkekeh.

"Panas, yak?" tanya Rizal.

"Iye, matahari lagi ada enam soalnya!" sembur Agam karena kesal diledek oleh mereka berdua.

Beberapa jam kemudian, aktivitas MPLS ditutup oleh kesan dan pesan perwakilan siswa/i dari angkatan baru. Kaila bernapas lega saat waktu bubar telah tiba. "Akhirnya selesai!" teriak Kaila di depan gerbang sekolah. Sekar di sebelahnya hanya meringis kesakitan saat suara nyaring tersebut lolos begitu saja di telinganya.

"Gue resmi jadi anak SMA!" teriak Kaila lagi.

"Malu ege diliatin orang," ucap Sekar.

Kaila hanya merespon dengan senyuman lebar. "Es krim yuk," ajaknya.

"Kagak liat ini kita kayak bocah TK?" Sekar menunjuk rambut mereka yang masih dikuncir pohon kelapa. "Lepek juga nih, besok aja lah. Mending sekarang kita balik duluan, tu bocah tiga kayaknya masih pada kelayapan."

"Janji ya lo, besok?"

"Iya, kapan sih gue ingkar janji." Mereka berdua kembali berjalan menuju halte, untuk menunggu angkot langganan mereka tiba.

🦋

Masuk hari pertama sebagai pelajar SMA, Kaila bangun lebih pagi dari biasanya. Suasana pagi di rumah terasa tenang, hanya terdengar suara gaduh dari dapur, tempat Ibu Kaila— Ratna, tengah menyiapkan sarapan mereka. Kaila berjalan melewati ruang tamu dengan langkah santai, suara langkahnya disadari Ratna yang sedang memotong kentang.

"Loh, sudah bangun?" tanya Ratna sambil mengerutkan dahi, sedikit terkejut. "Biasanya tuh harus disiram air dulu baru bangun," tambahnya sambil tersenyum.

Kaila membalas dengan tersenyum geli. "Enggak sampe disiram air kali, Bu," jawabnya.

Ratna hanya tertawa kecil dan melanjutkan pekerjaan. "Kamu mau bawa bekal nggak? Kalau mau biar Ibu siapin sekalian."

Kaila menggelengkan kepala pelan, matanya melirik jam di dinding. "Next time aja deh, Bu. Aku mau mandi dulu," ucapnya sambil mendekat, mencium pipi Ratna dengan lembut sebelum berjalan menuju kamar mandi.

Menjadi anak tunggal, terkadang membuat Kaila sedikit terketuk hatinya saat melihat Ibunya beraktivitas seorang diri. Kalau weekend maka Kaila yang menjadi teman sang Ibu, tetapi kalau lagi jadwal sekolah seperti ini, Ibunya melakukan kegiatan tanpa ada yang membantunya. Ibu dan Ayah Kaila sudah bercerai sejak 13 tahun yang lalu. Kaila tidak ingin mencari tahu apa penyebabnya karena sekarang ia hanya fokus untuk membahagiakan Ibunya dengan berbagai cara. Prinsipnya— tanpa sosok Ayah, Kaila tetap bisa menciptakan nuansa bahagia itu.

Menjadi ibu tunggal, menghidupi anak seorang diri, Kaila sadar bahwa itu bukanlah pekerjaan yang mudah. Setiap hari sang Ibu bekerja keras sebagai seorang desainer, menciptakan karya-karya yang meski tak seterkenal merek-merek fashion dunia, namun cukup memberikan penghidupan yang layak bagi mereka berdua.

Kaila sering kali melihat Ratna menghabiskan malam di depan meja desain dengan tangan yang cekatan di atas layar iPad. Kadang pula ketika Kaila terbangun untuk mengambil air, ia menemukan Ratna masih bekerja dengan mata yang fokus menatap layar laptop. Tapi entah kenapa, Ratna selalu terlihat tenang, tak pernah sekalipun menunjukkan keletihan di wajahnya selain senyuman yang selalu diperlihatkan.

Meskipun penghasilan ibunya tidak sebesar para pesohor fashion yang iklannya terpampang di mana-mana, Kaila tahu betul jika usaha keras ibunya telah membentuk hidup mereka yang nyaman, jauh dari kata kekurangan.

Siklus kehidupan mereka terulang setiap hari. Kaila berangkat sekolah, Ratna pun berangkat menuju butik, saat Kaila pulang sekolah, di rumah hanya ada sepi karena Ratna pulang malam hari. Rutinitas itu seperti putaran roda yang tidak pernah berhenti. Ada kalanya Kaila merasa sepi di rumah saat dirinya hanya disambut oleh suara detik jam yang tak terhitung. Semua cerita tentang keseharian pun kebanyakan terpendam di dalam hati karena tak sempat dibagi. Hal inilah yang membuat Kaila menghargai setiap detik yang mereka habiskan bersama.

Setelah beres memasak, Ratna juga ikut bergegas untuk bersiap berangkat ke Butik. Kaila kini berada di depan cermin untuk melihat pantulan dirinya di sana. Seragam putih biru kini sudah berganti menjadi putih abu. Senyumnya merekah saat melihat perubahan ini. Rambut panjang tersebut diikat setengah dengan pita merah jambu yang tersemat di sana. Antingnya juga matching dengan pita yang berada di rambutnya.

Semedar informasi, Kaila itu sangat memperhatikan penampilannya. Apapun itu ia harus merasa cocok, sedikit saja ada keraguan pada barang tertentu maka ia memilih untuk tidak memakainya. Terlebih ia juga seorang parfume collector, Kaila sangat suka sama hal-hal yang wangi. Maka dari itu, kriteria pasangannya di urutan pertama adalah harus wangi!

"Karena ini hari pertama kayaknya floral bakal lebih cocok sama suasananya," gumamnya sambil mengambil salah satu parfum di meja riasnya. Setelah dirinya siap, Kaila pun keluar dari kamar untuk sarapan bersama.

"Hari ini kamu naik angkot atau mau Ibu anterin?" tawar Ratna saat mereka tengah menyantap makanan.

"Naik angkot aja, Bu. Aku juga sudah janjian sama Sekar soalnya."

Ratna mengangguk mengerti. "Oh iya, kok Ibu sekarang jarang liat Agam mampir ke sini?"

"Agam? Kok tiba-tiba nanyain Agam. Kenapa, Bu?"

"Enggak papa, Ibu cuma kangen aja sama celotehan dia. Biasanya juga pagi-pagi buta kayak gini mampir, sarapan bareng di sini, padahal Bundanya juga masak tuh di rumah." Ratna tertawa saat mengingat kebiasaan Agam dulu.

Kaila berdehem pelan, bingung ingin merespon seperti apa. Seandainya saja Ratna tau kalau mereka sudah tidak seakur dulu sejak kejadian memalukan di masa putih biru itu, ah— Kaila bahkan enggan untuk mengingatnya. "Makin sibuk kali, Bu."

Ratna menatap Kaila. "Tapi kamu masih sering main sama Agam, 'kan?"

"Sama yang lain juga main."

"Dijaga ya pertemanannya. Kadang Ibu iri sama pertemanan kalian, udah kenal dari kecil, makan bareng, tidur bareng, sayang kalau tidak dijaga."

Kaila melahap makanannya tanpa merespon apapun, tetangga-tetangga itu tak hanya sekadar tinggal di sekitar Kaila. Mereka hadir menjadi sahabat karib yang senantiasa merangkul dirinya meskipun tidak selalu dalam keadaan baik. Mereka menutupi rasa sepi dengan hadirnya satu sama lain dan dari situ juga Kaila mulai menyadari bahwa hidupnya tak pernah datar. Tidak lagi. Mereka membuat hidup Kaila terasa lebih berwarna, meski terkadang berkelok dan penuh huru-hara. Tapi mungkin, justru itulah yang membuatnya merasa hidup, menjadikan hari-hari yang dilalui menjadi penuh arti.

____________________

Sampai sini ngerti ya kondisi background keluarga mereka yang jomplang...

After sesi curcol with ibu :

Share This Chapter