19| The Unification
The Apple of My Eye [COMPLETE]
Dari sebuah persyaratan kini berubah menjadi rutinitas.
Kaila duduk di bangku penonton. Matanya tak pernah lepas dari Jake yang bergerak lincah di lapangan dengan percaya diri. Senyumnya kian lebar setiap kali bola oranye itu melesat mulus ke dalam ring. Kaila merasa senang setiap kali melihatnya, tanpa harus tahu persis alasan kenapa ia tersenyum. Mungkin karena setiap gerakan Jake terasa begitu luar biasa keren? Atau mungkin karena dia terlalu sering menyaksikan Jake menguasai lapangan?
Awalnnya Kaila hanya menemani Jake bermain basket di malam Minggu saja. Tapi entah kenapaâ lama kelamaan kegiatan ini menjadi rutinitas yang ia nikmati tanpa harus melihat hari. Karena setiap kali Jake mengajaknya untuk keluar menemani, Kaila selalu mengiyakan tanpa banyak alasan.
Gadis itu mengarahkan ponsel ke lapangan, siap memotret Jake tanpa merasa canggung sedikitpun. Kaila justru merasa bangga setiap kali melihat hasil jepretan yang ia ambil membuahkan gambar yang sempurna.
Suara sepatu Jake berdecit ketika berlari mendekat ke arah Kaila dengan keringat mengalir di pelipisnya. Tubuhnya basah tetapi entah kenapa malah terlihat semakin mempesona. "Habis ngapain?" tanya Jake sembari mengambil botol air yang Kaila berikan.
Kaila tersenyum. "Nih, habis motoin atlet kebanggaan Bekasi," jawabnya sambil menunjukkan hasil fotonya dengan semangat.
Jake memandang fotonya dengan serius sejenak lalu mendongak dan tersenyum lebar. "Keren! Kirim dong, nanti gue post di IG," pintanya santai.
Tanpa berpikir panjang Kaila langsung mengirimkan beberapa foto yang ia ambil malam ini. Pemuda itu duduk di samping Kaila, menarik napas dalam seraya meluruskan kakinya. Saat ponselnya bergetar tanda kiriman Kaila masuk, Jake segera memeriksa gambar-gambar itu satu per satu.
Hasilnya tak burukâ bahkan sangat bagus.
Jake bersandar pada bangku, melirik Kaila yang sedang asik bermain ponsel. Pemuda ini lantas menatap lapangan. Dalam hening, pikirannya melayang pada momen-momen kecil yang ia lalui bersama Kaila belakangan ini.
Bagaimana Kaila yang selalu bersedia menemaninya bermain tanpa banyak alasan. Bahkan ketika ia hanya sekadar ingin latihan sendiri, Kaila dengan sukarela menawarkan diri untuk menemani. Kehadirannya di lapangan tanpa sadar bagai hormon endorfin yang memacu rasa semangat pada tubuhnya.
Awalnya Jake berpikir ini semua hanyalah bagian dari kebiasaan. Terbiasa dengan sosok Kaila yang selalu adaâ baik di sekolah maupun di luar sekolah. Semakin sering mereka menghabiskan waktu bersama-sama tanpa sadar perasaan aneh mulai muncul dalam diri Jake.
Jake menyadari bahwa ia memang telah jatuh suka. Dan sekarang, saat Kaila duduk di sampingnya tanpa melakukan apa-apa, hatinya bisa berdebar bukan main.
Jake menoleh ke arah Kaila yang masih sibuk memeriksa ponselnya. Wajahnya terlihat begitu tenang di bawah cahaya lampu lapangan sementara rambutnya tergerai dengan sedikit berantakan akibat angin malam.
"By the way, gue pengen ngomong serius sama lo," ucap Jake tiba-tiba. Ia menarik napas sebentar sebelum melanjutkan. "Tapi nggak sekarang."
Kaila menoleh dengan kening mengerut samar. "Ngomong apa? Emang nggak bisa dibahas sekarang?" tanya Kaila pura-pura tidak peduli meskipun hatinya setengah mati ingin tahu.
Jake tersenyum, kini ia tampak menimbang sesuatu. "Gimana, ya?"
"Ya udah kalo emang nggak bisa bahas sekarang." Gadis tetsebut kembali memainkan ponsel karena ingin mengupload story di akun instragramnya.
Dalam keheningan yang menyelimuti mereka, bayang-bayang di kepala Jake beradu dengan suara gema di hatinya membuat ia menatap Kaila dalam diam. "Gue suka sama lo," ucap Jake.
Tiba-tiba semua terasa kaku. Kaila menatap Jake dengan tatapan terkejut, gadis itu tertegun dengan jantung berdebar tidak karuan. "Lo bilang apa barusan?" tanya Kaila memastikan pendengarannya.
Di sebelahnya Jake menatapnya intens, tidak berniat untuk menghindar sama sekali. "I said I like you, Kaila."
Suasana hening mengurung mereka di sini. Tiada kata yang keluar selain dari debaran dalam dada yang semakin mengetuk keras. Perasaan hangat menjalar dari ujung kaki Kaila dengan mata mengerjap perlahan seakan putaran rotasi bumi tengah melambat. Beberapa helai rambut Kaila ikut bergerak setiap angin malam menyapu wajahnya.
"Itu yang mau gue bilang ke lo, Kai." Jake bersuara lebih lembut kali ini.
Gadis tersebut refleks memalingkan wajah, berusaha tidak menunjukkan kalau pipinya kini sudah memerah. Tindakan Kaila yang mengelak barusan membuat Jake semakin tersenyum di tempatnya.
"Jadiâ gimana?"
"Gimana ya?" jawabnya menirukan Jake sebelumnya.
"Oke, gue anggap itu iya," katanya tenang.
Kaila kembali menatap Jake. "Mana bisa gitu."
Jake tertawa membuat matanya menyipit. "Jadi gue ditolak?"
"Enggak gitu juga," jawab Kaila cepat tetapi setelahnya ia tersadar akan ucapan yang baru saja terlontar dari bibirnya. "Curang banget lo!"
Jake tertawa lebih keras, dan Kaila yang awalnya kesal lambat laun malah ikut tertawa bersama. Meski merasa gugup dan tidak tahu harus berkata apa lagi, Kaila merasa ada sesuatu yang berbeda malam ini. Sesuatu yang membuat dirinya berada di atas kataâ pertama kaliâ merasakan sebuah kenyamanan dalam hubungan yang lebih dari sekadar teman biasa.
Februari 2018â Kaila tidak akan pernah melupakan momen bersejarah dalam hidupnya ini.
ð¦
"Demi apa kalian jadian?!" heboh Sekar.
Hana menggeleng kepala tak percaya. "Alig alig.." Gadis tersebut terpaku beberapa menit di depan layar ponsel milik Kaila. "Lo liat sendiri dah postingan si Jake!" kata Hana sambil menyerahkan ponsel Kaila kepada Sekar.
Dengan antusias gadis itu terima, selang beberapa detik kemudian Sekar ikut menggeleng tidak percaya.
Sebagai informasi tambahan. Jake memang cukup terkenal di dunia sosial media karena rupa bak pangeran kesasar tersebutâ makanya saat pindah kemarin ia sempat viral di sekolah. Ditambah aktifitas kesehariannya sebagai pemain basket membuat kesan macho melekat di mata para perempuan.
"Idih idih, emang boleh se-bunga itu emotnya?!" lanjut Sekar.
Kaila menggeleng heran melihat tingkah temannya. Untung saja suasana kantin sekolah tidak begitu ramai pada jam istirahat kedua ini. Jadi ia tidak begitu merasa malu. Mereka juga tidak perlu merasa takut untuk mengeluarkan ponsel.
"Kacau si lo Kai, mulus bet dah kisah lo. Enak dong tiap hari pacaran di kelas," cibir Hana.
Kaila yang bersadar pada kursi langsung menegakkan punggung. "Eh cabe Taman Lawang, lo pikir gue ABG norak? Ya kali pacaran di kelas, kagak lah!" protes Kaila.
Sekar menatapnya dengan tatapan menggoda. "Ututu... ternyata udah beneran gede temen gue."
"Nah, ini nih yang bikin gue males cerita. Bisa nggak sih reaksinya tu pada biasa aja?"
Hana dan Sekar saling pandang. Kemudian menggeleng polos. "Nggak bisa!" kompak mereka sambil cekikikan di seberang Kaila.
"Eh eh itu bubub dateng," bisik Hana.
"Bubub palelu," timpal Kaila.
Namun juga langsung turut memperhatikan Jake yang baru masuk ke kantin bersama beberapa temannya.
Dari jauh ia dapat melihat Jake melemparkan senyuman ke arahnya. Buru-buru Kaila membuang pandangan ke depan, ternyata Sekar dan Hana sudah menatapnya penuh kerlingan.
"Ck, tau ah nyebelin banget lo berdua," Kaila menyerah. Ia menumpukan kepala di atas meja sembari menutup wajahnya yang memanas akibat godaan dari Sekar dan Hana.
Mereka menyelesaikan kegiatan di kantin. Setelah selesai, ketiga perempuan itu kembali berjalan ke kelas, berpisah di pertengahan karena jalan kelas mereka yang berbeda. Saat ini Kaila berjalan seorang diri, di tengah perjalanan, tepatnya di tengah koridor sekolah, Kaila menghentikan langkah saat melihat sepasang sepatu berhenti di depannya.
Kepala gadis tersebut mendongak. Matanya langsung mendapati sosok Agam berdiri tegap dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana. Kaila memutar bola mata jengah melihat laki-laki satu ini, kemudian tanpa perlu basa basi ia bergerak ke kanan untuk melanjutkan perjalanan.
Ternyata tidak seperti apa yang ia harapkan. Sebab, Agam turut bergerak ke kiri menutup akses jalannya. Gadis itu kembali bergerak ke kiri, yang diikuti oleh Agam ke kanan.
"Minggir."
"Gue duluan yang mau lewat sini," balas Agam tenang.
"Ini jalan bukan punya nenek moyang lo."
"Bukan punya nenek moyang lo juga, 'kan?"
Malas maladeni lebih jauh, akhirnya gadis itu memijak keras kaki Agam dan berlalu dari sana. "Tuh, lo makan tuh nenek moyang," katanya datar. Lagi pula, jika ia tidak begitu pasti laki-laki itu tidak akan mau menghentikan aksi menyebalkan tersebut.
Agam refleks mundur dengan wajah yang meringis akibat merasakan nyeri hebat pada kakinya. "Bener-bener ya, lo. Dasar musang!" teriaknya, sedangkan Kaila tidak menggubris, bahkan langkahnya terlihat tenang tanpa repot-repot menoleh ke belakang.
ð¦
Setelah mandi dan berganti pakaian rumahan. Kaila berjalan menuju meja belajarnya. Membuka tas untuk membereskan barang bawaan. Keningnya mengerut saat mendapati dua batang cokelat di sana.
"Dari Jake?" tanyanya pada diri sendiri.
Masih terlalu dini untuk merasakan perasaan baper lebih dalam. Kaila menggeser kursi lalu duduk di sana, mengamati dua batang cokelat tersebut. Mendadak senyum Kaila terbit.
Saat sedang dihujani rasa bahagia. Netranya teralihkan kala ponsel menyala akibat sebuah notifikasi, memperlihatkan nama sang pengirim pesan.
Jadi, benar adanya.
Bahwa kini hubungan Jake dan Kaila bukan hanya sekadar teman satu meja ataupun teman satu kelas. Melainkan rekan dalam hubungan romantis anak muda yang hidupnya amat melankolis.
Kaila mengatupkan bibir dengan pipi yang mulai terasa panas. Kini, dunia seakan milik berdua, yang lain hanya numpang jalan-jalan.
Sedangkan di lain tempat, suasana ruang klub fotografi dipenuhi riuh rendah obrolan dan tawa kecil di tengah kesibukan mereka menyelesaikan tugas. Di pojok ruangan, beberapa anggota terlihat sibuk mengatur hasil jepretan di laptop, sementara yang lain asyik berdiskusi soal konsep foto berikutnya.
Laki-laki yang tengah memilah dan mengedit foto-foto dari kamera itu merenggangkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri. Badannya berbalik dan mendapati Brianâ salah satu teman klubnya sedang asik membersihkan lensa kamera.
"Yan, tolong ambilin kopi di tas gue, dong," ucapnya.
Brian mendongak. "Tas lo yang mana atu, nih?"
"Noh pas banget di belakang lo, yang warnanya item."
Menuruti permintaan, Brian pun memutar badannya dan membuka tas ransel tersebut. "Muke gile, ini tas apa toko kelontong? Banyak amat jajanan di mari."
Brian melempar minuman kaleng perisa kopi tersebut yang langsung ditangkap oleh Agam. "Sip makasih, bro."
"Gue minta ya atu," pinta Brian.
"Kagak, enak aje lo minta-minta!"
"Ya elah nyesel bat gue ambilin, medit lo medit," gumam Brian.
Melihat interaksi keduanya, suasana di klub fotografi mendadak riuh akibat gelak tawa dari beberapa anak klub. Sebagian besar anggota klub mengakui bahwa Agam selalu berhasil mencairkan suasana di sana, bahkan muncul istilah 'tidak ada Agam, klub jadi sepi' begitu besar memang pengaruh pemuda, yang kini tampak kembali tenggelam dalam layar laptopnya.
____________________
Kaila ke Jake : Finally officialy eað«¢