Back
/ 37
Chapter 21

20| The Awkward Moment

The Apple of My Eye [COMPLETE]

09 Juli 2018

"Dor!"

Jake mengagetkan Kaila dari belakang. Gadis itu tampak memerah akibat sengatan dari sinar matahari yang rata membakar kulit putihnya.

Hari ini adalah hari terakhir ia bertugas sebagai panitia MPLS. Kaila telah resmi menjadi anak kelas dua belas. Kedudukan tertinggi siswa di sekolah. Gadis itu masuk ke dalam kelas XII IPA 3, yang akhirnya setelah penantian panjang berhasil membawanya satu kelas bersama dengan Sekar dan Hana.

Namun harus dipungkiri kala rasa sedih turut andil saat tau bahwa ia berpisah dengan sang pujaan hati. Tapi tak apa. Diluar itu mereka masih sering bertemu, bahkan untuk sekadar berangkat kemudian pulang mereka memilih untuk selalu bersama.

"Nih, buat redain tenggorokan." Jake memberikan botol mineral dingin.

Kaila mengambil tempat duduk di bawah pohon. "Thank you, wait—" Kaila melirik arloji tangannya. "Kamu kabur dari kelas, ya? Atau emang lagi jamkos?"

Laki-laki tersebut terkekeh. "Jamkos bebe, ya kali kabur dari kelas. Aku kesini cuma mau kasih minum aja, soalnya feelingku bilang kalo sayangku ini pasti lagi kehausan."

Walaupun belum menyentuh satu tahun menjalin hubungan. Tapi sudah terlalu banyak yang berubah di antara mereka, contoh kecil dari segi bahasa— sudah amat berbeda dari awal mereka jumpa.

Buru-buru Kaila mendekap mulut Jake. "Ih, udah dibilang jangan panggil kayak gitu kalo lagi di sekolah," bisik Kaila.

Kini Jake tertawa, dilepasnya dekapan tangan mungil Kaila. "Emang kenapa, sih? 'Kan aku ngomongnya sama pacar sendiri, masa nggak boleh?"

"Duh, kita itu masih di sekolah, Jake. Bisa kacau kalau didengar guru. Kamu tu nggak ada takut-takutnya emang."

"Ya 'kan emang takut itu cuma boleh sama Tuhan."

"Tuhan siapa?" tantang Kaila.

Jake terbahak mendengarnya, jokes-jokes seperti ini bahkan sudah biasa bagi mereka berdua.

"Nanti pulang tunggu aku, ya bebe. Aku mau ke kantin dulu, udah ditungguin sama yang lain." Jake mengusap puncak kepala Kaila.

Belum jauh sosok laki-laki jangkung tersebut melangkah. Kaila memanggilnya, membuat badannya berbalik.

"Kenapa? Mau nitip sesuatu?"

"Asyhadu.."

Lagi. Jake hanya bisa tertawa di sana seraya menggeleng pelan lalu meninggalkan Kaila. Di tempatnya Kaila juga hanya bisa menatap punggung Jake dengan senyum yang merekah.

Gadis itu lalu melihat jam tangannya, masih ada waktu sekitar 45 menit bagi Kaila untuk beristirahat. Jadi ia memilih untuk kembali ke dalam kelas karena kebetulan guru yang mengajar juga tidak hadir akibat sakit. Alhasil mereka hanya dibagi tugas oleh sang guru.

Saat Kaila membuka tas karena ingin mengambil buku yang akan dijadikan kipas. Ia malah mendengus geli karena mendapati sebuah susu kotak. Belakangan ini memang selalu ada-ada saja penemuan yang ia dapat setiap membuka tas. Kadang cokelat, kadang jajanan ringan, kadang juga seperti sekarang— susu kotak rasa cokelat.

"Uwih dari siapa tu?" tanya Hana yang posisi kursinya berada di depan meja Kaila.

"Ya dari ayang, lah. Ya kali dari ibu kantin," sahut Sekar yang duduk di sebelah Kaila.

"Ayang ayang teros," sungut Kaila menyindir.

Sekar dan Hana terbahak. "Kenapa ciii mayah-mayah mulu? Be happy dong sayangnya Jake." Sekar menyikut lengan Kaila.

"Ngomong noh sama tembok." Kaila memilih untuk merebahkan kepalanya di atas meja. Memejamkan mata, berharap rasa letihnya hilang.

Harapan tersebut mendadak lenyap saat suara dari speaker mini terdengar lantang. Di pojok kelas terdapat beberapa anak laki-laki sedang bergoyang mengikuti irama dari lagu berjudul ALAY. Batin Kaila mengeluh, ingin sekali rasanya membalik semua meja yang ada di kelas ini. Dengan malas Kaila membuka mata dan menegakkan kepala kembali.

"Tarik mang!"

"Tipis-tipis aja brader~" ucap salah satu siswa yang turut bergoyang.

Tampak juga sosok pria incaran guru BK sedang menyanyi sambil bergoyang paling heboh sendiri di sana. Kalau suara lantang itu terdengar merdu sih, tidak apa-apa. Masalahnya suara dengan cengkok yang mengalahkan guncangan gempa di Jepang itu nyelonong begitu saja ke pendengaran Kaila.

"Alig emang, ni kelas isinya biduan semua," celetuk salah satu siswi di dekat Kaila.

Ah iya— Kaila lupa memberi tahu. Di kelas dua belas ini ia juga kembali satu kelas dengan Agam.

Si pria jelmaan kuyang.

Kaila masih sangsi atas kejadian di mana seragamnya basah hingga tembus ke kaos dalamannya. Sampai detik ini tidak ada kata maaf yang terlontar dari Agam, yang lantas membuat Kaila juga jadi bersifat ogah-ogahan akan laki-laki tersebut.

Karena kali ini, bukan ia yang salah.

"Bisa suruh temen lo itu diem, nggak? Ketimbang gue lempar granat ke tenggorokannya," cibir Kaila.

Sekar yang sedang bermain ponsel pun meliriknya sekilas lalu berteriak lantang ke arah Agam. "Woi Agam! Kata Kaila diem! Dari pada leher lo dilempar granat."

"Udah," lapor Sekar kemudian.

Kaila memijat pelipis, salahnya memang karena tidak memberi instruksi dengan benar.

"Kagak denger~" sahut Agam dari tempatnya dengan posisi masih bergoyang di sana.

Jika saja gengsi Kaila tidak setinggi menara Eiffel. Sudah jelas ia akan langsung lompat dari kursinya dan membuat tatto keunguan di wajah Agam. Lain yang ada dipikiran, Kaila memilih meninggalkan kelas, berjalan menuju ruang sekretariat OSIS.

"Yah 'kan, elu sih, ah elah," Sekar menatap ke arah Agam.

Laki-laki itu lantas memilih untuk duduk di tepi meja. "Iya, gue aja terus yang salah," katanya hiperbola.

Sekar menatap Agam aneh. Bagaimana tidak, kalau saat ini saja penampilan laki-laki itu sangat mengkhawatirkan. Celana yang di gulung hingga lutut. Seragam dengan tiga kancing atas terbuka. Dasi yang sengaja di-stylist bentuk pita di leher. Lalu— apa itu? Kembang kamboja di telinga kanan?

Gadis tersebut bergidik jijik. "Amit-amit jabang bayi, Gam," ujar Sekar.

Pertikaian kali ini memang tanpa emosi, tanpa lemparan teriakan nyaring satu sama lain, namun ketegangan antar keduanya terasa lebih dingin dari sebelumnya. Tidak ada satupun yang mampu menyatukan dua bongkah es batu ini selain atas peleburannya sendiri.

Kapan pastinya, hanya waktu yang bisa menjawab.

🦋

"Kaila, bangun udah siang loh ini."

Semburat cahaya menyelinap kala Ratna menyibak tirai. Menyebar ke dalam ruangan membuat Kaila menggeliat ke kanan dan ke kiri. Berakhir dengan menutupi diri sepenuhnya dengan selimut.

"Kaila bangun, Nak. Masa anak perawan jam segini masih tidur," omel Ratna.

Walaupun akhir pekan, bukan alasan bagi Ratna untuk berleha-leha. Berbeda dengan Kaila yang kali ini tampak bertentangan dengan prinsip itu. Beberapa hari yang lalu akibat menjadi panitia MPLS tiga hari berturut-turut membuat ia harus menahan stamina agar tetap stabil, namun ternyata pada akhirnya ia tumbang juga di penghujung hari.

"Lho, panas ini badan kamu, kamu demam?" Ratna yang tidak sengaja menyentuh lengan Kaila saat menyibak selimut pun tampak khawatir.

Kaila menggeleng pelan. Tangan Ratna refleks memeriksa suhu di leher Kaila. "Demam ini, kamu tuh ya makanya jangan capek-capek. Keseringan main HP juga ini makanya sampai sakit."

Mungkin Kaila tidak memberi respon lebih. Tapi batinnya justru berargumen sendiri. Kenapa ya semua ibu-ibu itu selalu menyalahkan ponsel jika anaknya sakit? Bukan menyalahkan virus maupun bakteri yang masuk ke dalam tubuh.

"Ibu ambil sarapan dulu. Makan, baru minum obat," lanjut Ratna.

Situasi tampak hening saat Ratna keluar dari kamarnya. Mata yang kini tampak sayu itu mengerjap beberapa kali, diliriknya jam dinding yang menunjukan pukul sebelas siang.

Dengan kekuatan sebesar biji selasih. Ia mengetuk layar ponsel dan membuka room chat di sana. Niatnya ingin memberi tau Sekar agar besok menjadi lintas perizinan ke guru yang mengajar, namun ia malah mengirim pesan tersebut ke grup yang posisinya selalu disematkan.

Gadis itu menggeleng pelan, berusaha mengumpulkan kembali kesadarannya. Setelah merasa sedikit baik, ia juga mengirim pesan kepada Jake untuk memintanya agak tidak perlu menjemput esok hari.

Dengan lesu ia mematikan ponsel dan mengambil posisi duduk saat Ratna datang dengan membawa nampan yang kemudian diletakkan di meja kecil sebelah kasur. Mengambil posisi di tepi ranjang kasur Kaila.

"Ayo bangun dulu, Ibu suapin."

Kepala Kaila menggeleng. "Enggak usah Bu, aku bisa sendiri. Ibu jangan dekat-dekat nanti ketularan," ujar Kaila mengingatkan.

"Entar kalo nggak disuapin pasti nggak habis."

"Bakal aku habisin, Bu."

"Bener?"

"Iya, udah ih Ibu jangan deket-deket."

Ratna memandang putrinya skeptis lalu menghela napas pelan. "Ya udah kalo gitu Ibu mau belanja dulu ke supermarket. Isi kulkas udah nyaris kosong, ini Ibu tinggal nggak papa?"

Kaila terkekeh pelan. "Nggak papa lah, Bu. Orang cuma gini doang kok."

"Gini doang gini doang, ntar malam pasti bakal ngerengek."

"Udah sekarang mending Ibu belanja aja, jangan deket-deket aku nanti nular," katanya sambil mendorong pelan punggung Ratna.

Akhirnya wanita paruh baya itu pun memilih untuk keluar dari sana, meninggalkan gadis itu seorang diri. Kini Kaila berusaha makan walaupun nafsunya tidak ada sama sekali, bahkan untuk sekali suap ia perlu menghabiskan waktu bermenit-menit untuk menelannya.

Setelah menghabiskan makanannya, gadis itu beralih pada bungkus obat yang diberi oleh Ratna.

"Kebiasaan, kalo nggak bisa tuh harusnya minta tolong."

Suara dari ambang pintu membuat Kaila mendongak— Agam berdiri di sana dengan kaos kutang kebangsaannya. Laki-laki itu berjalan ke arahnya kemudian mengambil alih obat yang berada di genggaman Kaila. Dengan sekali gerak bungkusnya terbuka, pil yang sudah terbebas dari bungkusnya itu lantas diberikan kepada Kaila.

"Jangan salah paham dulu, tadi Tante Ratna yang minta gue nemenin lo."

Gadis itu menerima pil tanpa bersuara, membuat Agam berdehem pelan, sadar kalau gadis ini masih marah terhadapnya. Tapi, alih-alih menghilang dari pandangan Kaila, Agam justru mengambil tempat di kursi belajar Kaila untuk sekadar bermain ponsel di sana.

Tidak memperdulikan keberadaan pemuda tersebut, Kaila memilih untuk kembali menenggelamkan diri dari balik selimut. Saat nyaris terbawa arus alam mimpi, sebuah suara tiba-tiba menginterupsi kegiatannya.

"Loh, ada orang lain ternyata?"

Kaila menyibak selimut dan menoleh ke sumber suara. Jake berdiri dengan membawa se-plastik buah segar. Dari balik punggung Jake, sosok Sekar muncul memperlihatkan deretan giginya, lalu berucap sorry tanpa suara.

Gadis tersebut menghela napas berat. Dia lupa— seharusnya saat Ratna meninggalkan dirinya di rumah seorang diri, ia meminta untuk sekalian mengunci semua pintu yang ada. Kalau gini— Kaila harus apa?

____________________

Zaman telah membawa kemajuan yang amat pesat pada typing anak-anak alay itu😇🙏🏻

Isi hati Kaila  :

Share This Chapter