21| The Struggle
The Apple of My Eye [COMPLETE]
Entah kenapa atmosfer di dalam kamar ini terasa canggung. Padahal sederhananya ia tinggal mengenalkan satu sama lain saja. Namun lagi-lagi, tidak sengaja netranya menangkap raut Agam yang mendadak dingin dan tanpa diduga mengundang perasaan merinding di sekujur tubuh Kaila.
Sekar berdehem pelan, menetralkan tenggorokannya yang mendadak kering. "Jake, ini Agam, sahabat kita. Nah rumahnya juga cuma di depan. Agam, ini Jake, pacarnya Kaila," katanya memperkenalkan mereka. Sedikit merasa terseret atas kecanggungan situasi ini.
Jake berohria tanpa suara. Wajah tampan itu juga tidak setegang tadi saat penuturan Sekar terdengar. Jake berdehem pelan. "Salam kenal, ya, gue Jake pacarnya Kaila."
Agam tampak angkuh di kursinya. Kemudian membalas uluran tangan Jake singkat. Tidak bersuara sama sekali.
"Gue balik dulu, sama gue minta jajanan lo yang ini, karena pasti nggak akan lo makan juga. Leher lo bakal bengkak kalo makan makanan yang ada cuminya." Agam berdiri dari kursi sambil mengambil salah satu jajanan yang diberikan oleh Jake. Lalu setelahnya pergi meninggalkan mereka bertiga.
"Lagi PMS apa tu bocah? Sensi amat," gumam Sekar.
Memilih untuk tidak memikirkan aneh-aneh. Sekar pun kembali mencairkan suasana. Beramah tamah dan berbincang cukup lama. Mulai dari kenapa Kaila bisa sakit sampai ke ranah percintaan dua love bird ini. Sekar anak yang memang kelewat aktif. Tidak ada kata canggung dalam kamus hidupnya. Kalau kata Kailaâ Sekar itu seperti laut lepas.
Hidupnya tidak tunduk pada aturan manusia manapun. Semua dapat ditampung oleh wanita ini.
"Kamu punya alergi?" tanya Jake yang duduk di kursi. Sekar yang berada di tepi ranjang turut menatap Kaila.
Gadis itu mengangguk pelan. "Alergi cumi-cumi."
Jake terdiam sebentar. Menatap Kaila dengan raut bersalah. "Maaf ya, kalo aku belum tau tentang kamu sepenuhnya."
"Kamu kebiasaan deh, kenapa mesti minta maaf segala, sih? Lagian kalo aku kasih tau semua hal tentang aku, emang kamu bakal bisa langsung inget?"
"At least, aku tau tentang kamu."
Merasa terhimpit di situasi yang tegang. Sekar akhirnya berdehem keras. "Wets hop, perkara cumi juga napa tegang bener, dah. Nih ya Kai, belajar dari sakit lo hari ini. Jangan OSIS mulu yang diinget, kesehatan tetap yang utama," omel Sekar.
Kaila mendengus geli. "Kayaknya yang anaknya Ibu Ratna tu lo, deh."
"Terus aja terus, tiap dinasehatin begitu mulu heran gue." Sekar menggeleng pelan sambil mengelus dada sabar.
Kaila tersenyum. "Kalian ngapain malah pada kesini? Sorry, bukannya nggak menghargai usaha kalian. Tapi 'kan gue lagi sakit, mendingan pulang aja, ntar malah ketularan sakit," katanya khawatir.
"Tunggu Ibu kamu pulang," ucap Jake.
"Emang berani? Kamu 'kan belum pernah ketemu sama Ibu," ujar Kaila pada Jake. "Lagian Ibu tu kalau belanja lama. Udahlah, nggak papa, kalian pulang aja. Mau tidur nih," Kaila mendorong Sekar agar beranjak dari tepi kasur.
"Jake," panggil Kaila. Laki-laki itu menatapnya dengan tatapan bertanya. "Pulang," lanjut Kaila.
Jake melirik jam tangan. Sudah menunjukan pukul dua belas lewat. Berdiri dari kursinya dan hendak mendekat ke arah Kaila.
"Berhenti di sana. Udah dibilangin juga, jangan deket-deket nanti ketularan," ancam Kaila.
Jake terkekeh kemudian mundur selangkah. "Fine, kali ini aku ngalah."
"Etdah iya ini gue emang kagak kelihatan," sindir Sekar sambil berpura-pura batuk keras. "Kagak napa, anggep aja gue ini butiran debu di kolong kasur."
Sudut bibir Kaila berkedut menahan tawa. Kaila tahu bahwa sebetulnya Sekar pasti sedang batin maksimal. Lagian, salah sendiri siapa suruh bawa Jake masuk ke dalam rumahnya.
Jake juga begitu, ia tersenyum canggung mendengar sindiran Sekar. "Kalau gitu aku pulang ya, kabarin aku kalau udah baikan, tidur yang cukup ya, babe."
Senyuman hangat terbit di wajah pucat Kaila. Ia mengangguk samar. "Inget, jangan ngebut!"
Laki-laki bertubuh jangkung itu pun melangkah keluar. Perlahan hilang dari pandangan Kaila. Gadis itu memilih untuk merebahkan kembali tubuhnya, lalu menggeliat di balik selimut.
Sedangkan Sekar, alih-alih beranjak dari kasur. Ia malah turut ikut rebahan di bawah kaki Kaila. Mencari posisi ternyaman di sana.
"Lo kagak balik? Gue nggak mau tanggung jawab ya kalo sampe ketularan."
"Santai aja, imun gue kuat." pandangan gadis itu tertuju ke arah Kaila. "Gue penasaran deh sama ucapan lo tadi, Kai. Emang si Jake belum pernah ketemu nyokap lo, ya?"
Kaila berdehem. "Belum, karena tiap dia kesini pasti nyokap gue belum balik kerja. Pernah waktu itu gue ajak main ke rumah eh dianya yang malah nggak bisa. Ya gitu mulu deh siklusnya."
"Terus kalau jemput lo, si Jake kagak masuk dulu apa?"
"Dia mah jemput gue selalu mepet. Mana keburu buat masuk dan basa basi."
Sekar meringis pelan. "Gue pikir selama ini udah saling kenal. Tapi nyokap lo tau 'kan, kalau lo pacaran?"
Kaila diam, membuat Sekar bangkit dari tidurnya. "Jangan bilang..."
"Tau anjir, tapi emang belum kenalan aja. Udah ah balik sana gue mau tidur," usir Kaila.
Tangan Sekar tergerak untuk menarik selimut Kaila. Gadis tersebut lantas membuka mata, menatap malas ke arah Sekar yang kini menyengir lebar. "Bentar bentar, pertanyaan terakhir deh, tadi lo manggil Agam buat kesini?" kepo Sekar.
"Enggak lah, yakali," balas Kaila sambil menarik kembali selimutnya.
Hening menyelimuti mereka. Di tepi kasur, Sekar melebarkan senyumannya setelah mendengar fakta dari Kaila. Gadis itu menatap Kaila yang terpejam dengan tatapan yang penuh arti. "Lo mau tau nggak, beberapa kali gue ngumpul dan ngobrol bertiga bareng Rizal sama Ilham."
Mata yang terpejam perlahan terbuka. Sudut matanya menangkap Sekar di sana. "Lo bertiga ngadain konferensi meja bundar? Kok gue nggak diajak?"
Kepala Sekar tergerak untuk menggeleng pelan. Bibir gadis itu masih senantiasa merekah dengan sempurna. "Tidak semudah itu ferguso."
"Pada bahas apaan?"
Sekar berdehem, kemudian mengerutkan hidung sebelum mengusapnya. "Entar juga bakal kita kasih tau kok, tapi kalo buat sekarang belum tepat waktunya. Karena kita juga masih mau make sure sesuatu dulu."
Kaila hendak bangkit dari tidurnya, berniat ingin mencecar Sekar agar gadis itu memberitahu rahasia yang mereka sembunyikan. Namun belum sempat ia bangun, kegiatannya diinterupsi oleh Sekar. "Gue kilab dulu yak," ucap Sekar berdiri, sedetik kemudian lari begitu saja sambil tertawa puas. Meninggalkan Kaila yang tercengang dengan posisi setengah bangun.
"IH EMANG ANAK KURANG AJAR! PINTUNYA JANGAN LUPA DITUTUP SEKAR!!" teriak Kaila frustasi.
ð¦
Tidak banyak sahutan percakapan di sini. Perkenalan singkat siang tadi cukup menganggu pikirannya. Bahkan sekarang ia tampak tidak fokus kala namanya dipanggil beberapa kali oleh seseorang yang duduk di hadapannya.
Ia hanya menatap minuman yang sudah dipesan setengah jam lalu. Tatapan itu terlihat kosong seolah jiwanya sedang melalang buana ntah kemana.
"Agam."
Agam tersentak. "Ha? Kenapa?"
Laura berdecak. "Lo yang kenapa. Dipanggil-panggil dari tadi nggak nyaut."
Laki-laki itu mengusap tengkuk sambil meringis pelan. "Sorry sorry, lagi banyak pikiran soalnya."
"Mikirin apa emangnya?" tanya Laura penasaran. "Tugas? Ujian? Siapa tau gue bisa bantu."
Dengan kepala menggeleng, Agam mengambil minuman yang sudah tampak berembun di atas meja. "Bukan apa-apa," katanya sebelum menyeruput americano.
Laura berdecak prihatin. "Lo anggep gue kakak lo bukan, sih? Udah gue bilang kalo ada apa-apa tu cerita, muka lo sekarang nih, kayak lagi angkut globe universal asal lo tau," tuturnya sambil mengeluarkan lip product dari dalam tas.
Tidak banyak yang tahu memang, bahwa hubungan antara Agam dan Laura sejauh ini hanyalah sebatas rekan dalam berburu foto dan berbagi pengalaman saja.
Orang-orang yang melihat dari luar, pasti akan selalu mengira keduanya adalah sepasang kekasih karena mereka sering kedapatan menghabiskan waktu berdua. Baik Agam maupun Laura juga tidak pernah sekalipun menanggapi rumor tersebut. Selama rumor itu tidak mencemarkan nama baikâ mereka memilih untuk tidak ambil pusing. Itu sebabnya rumor itu beredar tanpa penyangkalan.
Setelah Laura lulus hingga menjadi mahasiswi di salah satu kampus di Jakarta pun, rumor ini masih senantiasa melekat di angkatan Agam. Bahkan angkatan baru yang tidak mengetahui sosok Laura, juga pasti akan mendengar berita ini setiap kali para cewek-cewek ini ingin mengetahui sosok Agam Pradana lebih jauh.
"Temen gue curhat ke gue."
Kalimat Agam menghentikan gerakan tangan Laura yang sedang memoles bibir dengan lipstik. Ia menatap Agam dengan raut penasaran. "Curhat? Tentang apa emangnya?"
"Jadi temen gue nih cerita, katanya dia tu bingung sama perasaan dia sendiri."
"Kok bisa?"
"Ya mana dia tau. Namanya juga orang bingung."
"Bercanda mulu. Terus gimana? Lanjutin cerita tentang teman lo itu."
"Menurut lo nih ya, Lau, sebagai perempuan. Kalau denger cerita temen gue yang tiba-tiba ngerasa dongkol karena habis liat sesuatu padahal sebelumnya biasa aja tu kenapa?"
Alis Laura terangkat, mengisyaratkan agar kalimatnya diperjelas. Agam berdehem. "As simple as, ngeliat temen ceweknya yang galak malah jadi adem ayem depan cowok lain, ehâ pacar, deng."
"Cemburu lah!" jawab Laura cepat.
Kening Agam mengerut. "Cemburu? What do you mean? Dengerin gue, hubungan temen gue ini yaâ just a friend. No more than that. Menurut gue sih emang dia lagi sensi aja."
Sementara itu, Laura menegapkan punggung. Mengatur napas lalu menatap Agam dengan seksama. Seolah-olah ucapan yang akan ia keluarkan adalah kalimat sakral yang tidak sembarang waktu dikeluarkan.
"Gini ya, makhluk Tuhan si paling main logika. Feelings can come at any time, bahkan dalam situasi yang nggak pernah kita duga sekalipun," katanya serius. "Justru situasi temen lo itu malah besar kemungkinan the feeling of falling in love will appear and grow. Gue tim orang yang nggak percaya laki-laki dan perempuan itu bisa berteman tanpa melibatkan perasaan."
"Kata siapa? Bisa-bisa aja, tuh."
"Oh, ya?" tantang Laura seketika. "Oke deh kalo sekadar temenan yangâ lo tau nama gue dan gue tau nama loâ bagi gue itu masih tahap aman. Tapi beda lagi dengan tipe yang bertemanâ gue tau seluk beluk lo dan lo tau seluk beluk gueâ karena kayak yang gue bilang tadi, Gam. Cinta itu tumbuh karena terbiasa. Biasa main bareng lah, biasa curhat barenglah, atau biasa nyelesain masalah bareng. Perasaan tertarik itu, bisa muncul dari hal-hal yang lo anggap biasa," tutur Laura.
"Dan temen lo ituâ he's not confused, he's denied the facts. Fakta kalau dia suka sama temen perempuannya. So, tell him to stop denial sebelum dia menyesal," ucap Laura serius.
Agam tidak berkutik, dalam kepalanya justru terputar beberapa peristiwa yang belakangan membuat ia merasa kehilangan jalur pacu. Bingung akan perasaannya sendiri. Dan kalimat terakhir dari Laura sukses membuat ia termenung beberapa lama.
"Who's that?" tanya Laura. Tidak ada jawaban dari Agam membuat Laura yang akhirnya tersenyum. "Kaila?"
Laki-laki tersebut tersedak salivanya sendiri. Mengambil minum lalu menyeruput hingga setengah. Melihat ini, membuat Laura melebarkan senyum. Yakin bahwa tebakannya tepat sasaran.
"Agam.. Agam.. dari pertama kali liat kalian berdua waktu MOS. Gue udah tau," katanya pelan. "Cowok itu paling gampang ditebak gerak geriknya kalau lagi jatuh cinta. Gestur tubuh dan rasa perhatian dari si cowok yang jatuh cinta, walaupun ibarat kata perasaannya sengaja disembunyiin di ruang bawah tanah sekalipun bakalan tetap keliatan," ucap Laura dengan penekanan kata sengaja di sana.
Agam ternyata sudah bersandar pada kursi dengan tangan bersedekap dada. Kini tampak terkekeh tidak percaya. Menyadari satu halâ perasaan yang telah ditutup kabut penyangkalan selama bertahun-tahun itu, ternyata masih senantiasa ada di tempatnya, tidak pernah bergeser, barang sedikitpun.
__________________
Ya salammmm.....
Satu wejangan buat ente Gam :
Minal minul semuaa... ðð»ââï¸ðð»
Dapat THR berapa? Atau cuma dapet pertanyaan-pertanyaan bodong dari sanak saudara?ð