Back
/ 37
Chapter 23

22| Is Everything Fine?

The Apple of My Eye [COMPLETE]

Hal yang pertama kali Kaila lihat adalah penampakan segerombolan ibu-ibu komplek yang sedang melakukan senam aerobik— kegiatan yang memang rutin dilaksanakan pada Minggu pagi di kompleknya.

Kaila mengerahkan pandangan mencari keberadaan sang Ibu. Ingin bertanya di mana letak posisi garam yang biasa ada di rak dapur.

Saat tengah fokus mencari posisi Ratna. Mata Kaila menangkap sosok lelaki yang tubuhnya hanya berbalut singlet putih dan celana jersey kuning. Refleks gadis tersebut menutup mulut agar tawanya tidak meledak kala tubuh pemuda itu bergeol sesuai ritme.

Namun sedetik kemudian tawanya keluar saat lagu berganti menjadi DJ remix Mama Muda. Untung saja tawa itu tidak menarik perhatian mereka di sana, karena memang lagu yang diputar sangat keras.

"Aku suka body goyang mama muda~ mama muda~"

Kaila berbalik, mengatur napas sampai kemudian dirasa mampu untuk menahan tawanya ia kembali berbalik, berjalan mendekati sang Ibu yang sudah diketahui posisinya. "Ibu, garam di mana?" katanya setengah berteriak.

"Hah? Apa? Kamu ngomong apa?" balas Ratna keras dengan tubuh yang bergerak mengikuti instruktur.

"Garam, Bu. Garam!" bisik Kaila kencang.

"Oh, udah habis. Beli aja sana."

Kaila mendengus, lalu kembali berjalan menuju rumah. Sebelum benar-benar berlalu, sekali lagi ia melihat pemandangan yang cukup menggelitik perut. Posisi instruktur di depan sana tidak ada artinya karena pemuda itu bergoyang sesuai kehendaknya. Kaila menahan tawa lalu buru-buru masuk ke dalam rumah.

Butuh waktu beberapa detik bagi pemuda yang masih larut dalam gebrakan ibu-ibu komplek ini untuk turut memutar balikan tubuhnya. Ujung bibir tertarik sempurna. Kalau bukan karena mendengar gelak tawa yang ia hafal siapa pemiliknya— Agam pasti tidak akan sadar dengan kehadiran Kaila di sana.

"Tarik Agam, semongko!" ucap salah satu ibu yang ada di sebelahnya.

Tersadar, pemuda itu kembali bergoyang dan turut berteriak heboh meramaikan suasana di pagi minggu ini.

🦋

Terkadang di dalam pertemanan, kita membutuhkan manusia seperti Rizal yang tidak kenal kata tidak enakan dalam menasehati teman.

Siang ini Kaila berniat mengajak teman-temannya untuk makan di rumahnya. Entah dapat energi dari mana ia mampu memasak banyak makanan, bahkan Ratna pun sempat terheran-heran dengan sikap Kaila hari ini.

"Kenapa nggak lo aja yang ajak langsung? Barang tinggal ke depan juga," heran Rizal saat Kaila memintanya untuk mengundang Agam ke rumah. Laki-laki itu kini berbaring santai di sofa ruang tengah.

Kaila merapatkan bibirnya, diam-diam merutuk dalam hati. Kepala itu tampak menggeleng tegas. "Lo tau 'kan gue sama dia masih marahan?"

"Udahan ngapa? Udah pada gede kelakuan jangan kayak bocah. Lo berdua udah berbulu semua anjir. Malu ege sama umur, berantem mulu kerjaannye."

Tak lama Sekar dan Ilham masuk, menatap Rizal dan Kaila bergantian. "Kenapa lagi, nih?" heran Ilham kala mendapati wajah Kaila yang merah padam.

"Noh, bocah gengsinya selangit. Masa dia nyuruh gue yang manggil Agam, padahal yang punya inisiatif beginian dia sendiri," terang Rizal.

Sekar dan Ilham saling pandang kemudian turut mengambil posisi duduk di dekat Rizal. "Yang diomongin Rizal bener, kali Kai. Lebih etis kalo lo sendiri yang ajak dia kemari," ucap Ilham.

Bibir Kaila terkatup rapat. Ingin meminta bantuan kepada Sekar tapi gadis itu lebih dulu mengerahkan kepalanya ke arah pintu utama. "Sana buruan panggil orang depan. WA-nya kagak aktif."

Mendengar ucapan ketiga temannya membuat Kaila mengusap wajah frustasi lalu menghela napas pelan sebelum beranjak keluar dari rumah. Sepeninggalan Kaila, ketiga manusia ini langsung merapatkan diri dan bertos ria.

"Tuh 'kan, apa kata gue, semarah apapun Kaila, kalo urusan beginian mah dia mana bakal tega ninggalin salah satu dari kita gitu aja," cicit Sekar.

Ilham mengangguk. "Gengsi-gengsi gitu tu bocah masih punya hati," ujarnya. "Eh Zal, mau ngapain, lo? Awas ntar ketahuan ege," kata Ilham saat melihat Rizal yang mulai mengintip dari jendela.

"Aman, tenang aja kagak bakal keliatan."

Dengan gerakan cepat, Sekar dan Ilham pun turut mengikuti langkah Rizal. Mereka bertiga memantau diam-diam dari balik jendela. "Kok pintunya kagak dibuka-buka? Tu bocah sengaja kagak mau keluar apa, yak?" guman Rizal.

"Kagak mungkin lah, Agam kagak mungkin nolak apapun yang berkaitan dengan Kaila, kalaupun dia bilang kagak mau dateng— yang bakal dilakuin entar malah kebalikannya," ujar Ilham yang lantas terkikik bersama Rizal.

Rizal menggeleng dramastis. "Gara-gara kecintaan tu anak denial-nya bisa ampe begitu, ya? Bisa berlawanan gitu, heran bat gue liatnya."

"Stt, lu pada berisik bat dah, udah kayak genset bae. Entar kalo ketahuan mereka malah berabe nih posisi kita," tegur Sekar sambil menyentil Rizal dan Ilham bergantian.

Dari jauh, mereka dapat melihat pintu hitam itu terbuka. Menunjukan sosok Agam yang hanya mengenakan celana training abu tanpa atasan. Sontak mereka bertiga langsung mengambil ancang-ancang untuk menutup telinga.

Sedetik kemudian terdengar teriakan nyaring dari sana.

Kaila menutup wajahnya dengan tangan sedangkan Agam yang nyawanya belum terkumpul sempurna pun melebarkan mata.

"Apa sih, teriak-teriak?"

"Pakai baju nggak, lo?!" titahnya.

Agam menggaruk kepala bingung, menelisik diri sendiri. "Kan ini bukan aurat."

"Tetep aja!" balas Kaila dengan posisi wajah yang masih tertutupi oleh tangannya.

Rinai tawa halus terdengar. Tangan kekar itu bergerak untuk menyingkirkan tangan mungil Kaila dari wajahnya. "Kenapa, sih? Udah dikata bukan aurat juga, nggak kuat ya lo liat badan gue?"

Mata hazel itu mengerjap kikuk. "Apaan, sih?!"

Laki-laki itu kini bersadar di pintu dengan tangan yang dimasukan ke dalam saku celana. "Ya udah santai aja dong, enggak usah gugup apa lagi sampe nelen ludah gitu."

Sialan.

Tidak ingin berdiri lebih lama, Kaila membalas cepat. "Cepetan ke rumah, udah ditunggu sama yang lain," katanya lalu berlalu dari hadapan Agam. "PAKE BAJU YA LO!" teriak Kaila lagi tanpa menoleh ke belakang.

Ketiga manusia yang masih betah mengintip tadi buru-buru berlari menuju tempat awal. Berpura-pura tidak mengetahui kejadian di luar sana.

Kaila masuk rumah dengan wajah merah padam. Gadis itu berlalu menuju kamar, menutup pintu lalu berteriak tertahan dari balik bantal.

Dasar laki-laki kurang ajar! Laki-laki mesum! Laki-laki kardus!

Selama ini Kaila menjaga matanya agar tetap suci, bisa-bisanya hari ini dinodai oleh tubuh yang tidak seberapa itu. Kaila menghantam bantal berkali-kali sampai pada akhirnya pintu kamar terbuka dan langsung mendapati Sekar di sana.

"Lo, kenapa? Aman 'kan, tadi?"

Pertanyaan Sekar otomatis membuat Kaila mengerjap pelan. Ia lalu duduk bersimpuh dengan benar di atas kasurnya. "Ha? Aman kok," katanya gugup.

Sekar mengangguk kepalanya dengan suara hati terbahak-bahak karena mengetahui situasi yang sebenarnya. "Ya udah buru ke bawah. Jake juga udah dateng. Lo ngajak dia juga?"

Kali ini, senyuman terbit di wajahnya. Alih-alih menjawab ia malah melemparkan pertanyaan balik. "Dia udah sampe?"

"Iye, baru aja, noh."

Kaila melompat dari kasur dan berlalu dari hadapan Sekar secepat kilat. Sekar menggeleng kepala heran, turut menarik kaki dari sana.

🦋

Setelah makan dan membereskan piring serta meja, mereka semua berkumpul di ruang tengah dengan televisi yang menyala. Walaupun tidak satupun dari mereka yang tampak fokus memperhatikan tayangan.

Bersandar pada kepala sofa, Agam memperhatikan tanpa minat orang-orang di depannya yang sedang bermain UNO. Suara sahut menyahut terdengar sangat riuh, namun entah kenapa suara itu tidak mampu mengusir kesepian yang memenuhi ruang hatinya. Di antara tawa dan canda yang terpecah, hatinya tetap terasa hampa bagai sebuah ruang kosong tak terisi.

Dari tempatnya, manik mata hitam legam itu dapat memindai foto-foto yang terpampang di lemari hias. Kebanyakan menunjukkan pertumbuhan Kaila dari masa ke masa. Tanpa sadar sudut bibirnya tertarik ke atas, namun detik berikutnya rautnya kembali mengendur.

Jadi, adalah benar bahwasanya perasaan itu masih utuh. Tidak pernah berkurang barang sedikitpun.

Tetapi apalah arti jika tidak bisa memiliki jiwa dan raga sang perebut hati ini?

Sambil menghela napas panjang, Agam akhirnya memilih untuk memejamkan mata. Berharap bahwa saat terbangun nanti Tuhan akan segera memberikan apa yang ia butuhkan atau setidaknya memberikan jalan untuk perasaan gelisah ini. Mereka semua tidak menyadari, dari balik riuhnya permainan UNO ini ada salah satu dari mereka yang memperhatikan segala tindakan Agam dari awal hingga pemuda itu terpejam di sana.

Jake— secara diam-diam menatap Kaila dan Agam bergantian dengan tatapan yang tidak mudah diartikan.

"Assalamualaikum."

Semua mata tertuju pada pintu utama. Ratna kembali usai menyelesaikan kegiatan bulanan. Wanita paruh baya itu memasuki rumah dengan senyuman hangat.

"Waalaikumsalam, Tante."

"Waduh waduh ramai banget hari ini, gimana makanannya, enak?"

"Enak banget, Tan," sahut Rizal.

Senyum Ratna semakin melebar. "Masakan Kaila semua itu," ujar Ratna yang membuat mereka semua saling pandang.

"Etdah.. pantesan asin!" koreksi Rizal yang langsung mendapati gelak tawa dari mereka, kecuali Agam yang tertidur dan Kaila yang mulai naik pitam.

Rizal mengelak kala Kaila ingin menjambak rambutnya. Untung saja Jake dengan sigap menahan pergelangan tangan Kaila, pemuda itu memandangnya sambil menggeleng.

Ratna berdehem, menaikkan sudut bibir. "Ini Jake, ya?" tanya Ratna.

Jake berdiri lalu mencium tangan Ratna. "Iya, Tante. Salam kenal."

"Aduh gantengnya..." puji Ratna yang membuat Jake tersenyum kikuk. Diliriknya jam dinding yang sudah menunjukkan pukul setengah empat sore. "Udah pada ashar belum, nih? Ayo pada sholat dulu sana, baru dilanjut mainnya."

Ada keheningan panjang. Semua tertahan dalam waktu yang mendadak tak ingin bergerak. Jake tersenyum tipis, namun raut wajahnya tentu berbeda dari sebelumnya. Kaila yang duduk bersebelahan dengan Ilham, menaikkan pandangan dari sana. Dapat Kaila lihat pemuda itu tersenyum sebagai bentuk respon kepada Ratna yang membuat Kaila menggigit bibirnya gugup.

Ilham mengamati mereka dalam diam. Ia sangat tahu bahwa hubungan Kaila dan Jake memang terhalang oleh benang merah yang tidak mudah diputuskan begitu saja dengan sebuah gunting. Sejak awal, Ilham mempertanyakan kenapa gadis ini nekat untuk menjalankan hubungan dengan pemuda yang tidak satu jalur dengannya. Namun ia sadar, untuk masalah hati memang terlalu banyak filosofi hingga membuat anak muda malah kehilangan kendali atas hati.

Saat Ilham berdiri, Rizal dan Sekar pun turut berdiri. "Izin sholat ya, Tan," ucap Ilham yang memecah keheningan di antara mereka kemudian berlalu dari sana menuju kamar mandi tamu untuk berwudhu.

"Kai, kamu nggak sholat?" tegur Ratna saat melihat Kaila masih bersandar di sofa ruang tengah, tak jauh dari Agam yang masih tertidur.

Kaila menggeleng. "Enggak Bu, lagi haid," jawabnya pelan.

Kepala Ratna tergerak untuk mengangguk paham. "Jake? Ayo ikut sholat berjamaah," panggil Ratna.

Pemuda yang masih berdiri di hadapan Ratna ini tersenyum. "Maaf, Tante. Tapi saya nggak sholat," ucapnya.

Raut kaget jelas tercetak di wajah Ratna. Lagi. Hening menyelimuti mereka. Jawaban dari Jake terputar-putar di kepala Ratna, wanita paruh baya itu menyempatkan diri untuk tersenyum sambil menepuk bahu Jake beberapa kali. Kepergian Ratna ke kamar dengan keterdiaman seribu bahasa membuat suasana mendadak tegang seolah ada sesuatu yang membekap ruang antara mereka.

Tidak lama ketegangan itu teralihkan akibat suara rusuh dari mihrab kecil di dekat ruang tengah. Terlihat Ilham tersungkur ditimpa Rizal sedangkan Sekar menutup mulut agar teriakannya tidak ketahuan.

"Aduh! Goblok bener dah ah," ujar Ilham.

Usaha mereka dalam mengintai pun gagal. Sekarang mereka bagai mangsa yang terciduk langsung oleh pemburu, dengan cepat mereka bertiga berusaha mengalihkan kegiatan. Terutama Rizal, pemuda itu malah berlari kecil menuju ruang tengah. Lebih tepatnya ingin membangunkan Agam yang tertidur.

"Misi bentar ya guys," ucapnya pada Kaila dan Jake. Rizal menepuk bahu Agam dengan cukup keras, menggoyang-goyangkan tubuhnya yang terbaring di sofa. "Gam, bangun, sholat ege! Tidur mulu lo kayak habis dibius caesar bae," cicit Rizal.

Agam perlahan membuka matanya. Sorotannya tampak redup menatap langit-langit rumah Kaila sebelum pada akhirnya melirik lelah ke arah Rizal. Di balik raut wajah Agam yang tampak lelah— ada sesuatu yang tersimpan di kepalanya.

Sebenarnya, saat ia memejamkan mata tadi, ia tak benar-benar tertidur. Sepanjang waktu telinganya menangkap setiap nada, setiap kata yang diucapkan oleh mereka yang berada di ruangan itu. Dari suara Ratna yang menyapa dengan hangat, gelak tawa, hingga jawaban Jake yang membuat suasana mendadak hening. Semua itu terekam jelas di kepala Agam saat ia berusaha untuk masuk ke di dunia mimpi.

Pemuda itu akhirnya bangun dan berdiri kemudian melewati Rizal tanpa sepatah kata pun untuk menuju kamar mandi. Di ruang tengah, Rizal yang masih memandangi punggung Agam perlahan meringis karena terjebak di keheningan antara Kaila dan Jake. Hingga akhir pun, tak satu pun dari mereka menyadari bahwa Agam—  telah mendengar lebih banyak daripada yang mereka kira.

🦋

Udara malam terus menyapu kulitnya. Jaket kulit yang dikenakan bahkan tidak mempu menutup dari rasa dingin. Sudah satu jam lebih Jake berkeliling menggunakan motor tanpa tujuan yang pasti.

Sejak kepulangannya dari rumah Kaila. Isi kepala Jake dipenuhi rasa penasaran yang luar biasa kala mendapati perempuannya keluar kamar sang Ibu dengan mata yang memerah.

Ingin bertanya namun ia mengerti bahwa waktunya tidak tepat. Lantas ia membiarkan keheningan menyelimuti mereka berdua untuk beberapa saat sebelum yang lain nenyelesaikan ibadahnya.

Satu yang pasti— Jake meyakini bahwa situasinya sedang tidak baik-baik saja.

Motor tersebut memasuki garasi rumah yang masih tampak sepi. Jake melangkahkan kaki menuju dalam rumah. Melepas jaket kemudian menghempaskan diri di atas sofa panjang dengan tatapan menerawang ke arah langit-langit rumah.

Jake tidak sebodoh itu, diamnya Ibu Kaila adalah jawaban atas kerisauan ia malam ini. Nada yang tidak terasa sehangat awal juga ia tangkap kala berpamitan tadi.

Getaran ponsel yang ada di saku celana membuat atensi Jake teralihkan. Saat mengetuk layar, terlihat pesan masuk dari perempuannya.

Pesannya langsung dibaca oleh Kaila, namun tidak langsung dibalas oleh gadis tersebut. Hal ini membuat Jake semakin yakin atas dugaannya.

Kepala Jake terasa pening. Ia bangkit dari tidur dan melangkah menuju kamar dengan senyuman getir yang menjadi penutup malamnya hari ini.

Malam yang terasa amat dingin dan sunyi— seperti malam biasanya.

___________________

Tarik nafas, tahan, jangan dibuang..

Untuk mereka yang terlalu berani mengambil kosekuensi jatuh hati : 🤭🤭🤭

Share This Chapter