23| The Whalien 52
The Apple of My Eye [COMPLETE]
Kaila mengerahkan pandangan ketika mendengar namanya dipanggil. Di tengah lapangan basket, terlihat Jake melambaikan tangan seraya tersenyum. Rambutnya tampak basah begitu juga dengan seragam putih yang sudah berganti kaos hitam polos.
Dari tempatnya berdiri, Kaila hanya menggeleng heran. Siapa yang akan kepikiran untuk bermain basket di tengah siang bolong?
Kaila pikir, pemuda tersebut akan menghampirinya. Namun nyatanya tidak sama sekali. Jake tampak asik men-drible bola bersama teman-temannya kemudian menembaknya ke dalam ring.
"Kamu emang nggak kepanasan?" teriak Kaila.
Senyum simpul Jake tampak dari kejauhan. "Tenang aja, aku nggak bakal item kok," katanya. "Kamu mau ke perpustakaan, ya?"
Tidak memberi balasan, Kaila hanya mengangguk.
"Ya udah, take your time, ya," ucap Jake dari jauh dengan sebelah tangan yang melambai singkat.
Tanpa sadar Kaila menghela napas berat, merasa sedikit kecewa akan ekspetasi dirinya sendiri. Dan sebelum ia benar-benar berlalu dari sana, Kaila menyempatkan untuk melemparkan seulas senyuman.
Kaki jenjang itu kembali menarik langkahnya untuk berlalu dari sana dan kini mulai menapaki anak tangga satu demi satu. Kalau boleh ia bercerita, entah kenapa sejak kejadian kemarinâ rasanya ada yang berbeda dari Jake. Hari ini mereka bahkan tidak pergi sekolah bersama lantaran pemuda itu beralasan baru bangun sehingga membuatnya datang sekolah kesiangan.
Mungkinkah ini hanya sekedar alasan?
Mungkinkah Jake tersinggung akan sikap Ibu kemarin?
Terlalu banyak pertanyaan yang berterbangan di dalam kepala Kaila, buru-buru ia enyahkan. Dan tepat saat itu, ia nyaris jatuh ke belakang kala menabrak seseorang yang berlawanan arah dengannya. Untung saja ia sigap memegang pembatas tanggaâ atau karena sebuah tangan yang juga turut menahan punggungnya.
Iris mata hazel itu bergerak, menatap penyebab ia nyaris terjatuh. Gadis itu seketika berdecak pelan sebelum menghela napas panjang. Kaila segera memposisikan tubuh agar tegak sempurna.
"Punya mata nggak sih, lo?" sentak Kaila.
Sudut bibir Agam tertarik. Netra hitam legam itu turut memanah matanya dalam. "Ini yang lagi lo tatap apaan?" katanya. "Jelas-jelas ini jalur buat turun ke bawah," lanjut Agam sambil menggeleng heran.
Sontak Kaila menelisik keadaan sekitar, barulah ia menyadari kesalahannya. Untung saja hanya ada mereka berdua di tangga ini, dan tanpa perlu repot-repot meminta maaf Kaila kembali melangkahkan kakinya ke lantai atas.
"Lecek amat tu muka," gumamnya sebelum langkah kaki itu membawanya untuk mengikuti Kaila.
Ada hal penting yang ingin ia sampaikan.
Ingatan Agam berkelana pada ucapan Rizal dan Ilham tempo hari. Hari di mana ia diajak bergabung untuk makan bersama oleh Kaila di rumahnya.
"Gue kalo jadi lo bakal ngerasa malu, sih. Tu anak masih ingat lo di momen kayak gini, padahal lo aja nggak pernah tergerak untuk minta maaf tentang kejadian yang udah berdebu itu," ujar Rizal dengan stik PS yang berada di tangan.
Seperti biasa, mereka sedang berada di ruang rahasia milik Ilham.
"Agam, punya malu? BHAKS! Yang bener aje." Ilham tergelak di tempatnya.
"Kampret," kesal Agam. Fokusnya sudah teralihkan berkat pernyataan Rizal. Pemuda itu meletakkan stik PS-nya begitu saja. "Ya terus gue harus gimana?"
Pandangan Ilham dan Rizal bertemu. Perlahan-lahan sudut bibir mereka tertarik ke atas, namun segera dialihkan agar sang lawan tidak menyadarinya.
"Peduli apa lo sama langkah kayak begitu? Biasanya juga bodo amatan," pancing Ilham.
Agam tidak menjawab, memilih untuk mengambil stik PS yang sempat ia abaikan beberapa saat.
"Gini ya, Gam. Kalau mau dianggap sebagai laki-laki gentle, tindakan yang harus lo lakukan di situasi sekarang ini cuma satu. Sederhana banget, tapi memang nggak semua orang bisa ngelakuinnya," terang Rizal dengan nada teramat tenang.
Walaupun tatapan Agam tampak fokus ke layar televisi, diam-diam ia melebarkan pendengarannya.
"Minta maaf," timpal Ilham.
Rizal menjentikan jarinya. "Tindakan sederhana yang nggak semua orang bisa ngelakuinnya."
Raut wajah Agam tampak serius bahkan kini ia hanya diam memandang ke depan tanpa melakukan apapun, membuat Rizal dan Ilham semakin gencar untuk menyadarkan makhluk satu ini.
"Perkara harga diri mah justru makin jatuh kalau lo nggak minta maaf, Gam. Toh saat itu posisinya emang lo yang salah, lagi juga kagak sesusah itu kok buat say sorry," sentil Ilham lagi.
"Ini lah akibat melihara gengsi. Mau sampai kapan coba lo bakal bersikap kayak gitu?" tanya Rizal.
Tidak seperti Rizal dan Ilham yang tampak menggebu-gebu dalam menyampaikan pernyataan. Agam justru semakin larut dalam keterdiamannya.
Agam memang mengakui bahwa kesalahan hari itu murni atas tindakannya, dan saat perasaan gengsi nyaris kembali menggerayangi puncak kepalaâ justru kalimat terakhir dari Rizal meleburkan segalanya.
Mau sampai kapan akan terus begitu...
Agam merapatkan bibirnya, menghela napas berat lalu menatap Rizal dan Ilham dengan seksama. "Gue bakal minta maaf ke Kaila."
Ilham menepuk lantai antusias. "Nah, dari dulu kek! Lagian lo aneh banget, Gam. Di mana-mana nih ya, orang kalo jatuh cinta itu berusaha luluhin hati lawannya, bukan malah dibikin sakit hati!"
"Jatuh... cinta apaan?"
Rizal mendelik kesal. "Cuih najis, denial mulu jadi manusia. Ayo lah, Gam, kita semua udah tahu lo suka sama Kaila bahkan sampe detik ini. Nggak perlu lo sembunyiin lagi, kagak guna di kita," ucap Rizal.
"Kalo pun gue tunjukin, nggak akan ada yang berubah," gumam Agam.
"Seenggaknya, nggak jadi pengecut!" balas Ilham menohok.
Percakapan tersebut berhasil menyadarkan isi hati dan kepala lelaki ini, Agam memberanikan diri untuk meminta maaf kepada Kaila sekarang.
Kaki itu tanpa sadar sudah berada di ambang pintu perpustakaan, tampak ia mengatur napas sebelum masuk ke dalam perpustakaan. Dirinya dengan sadar sudah siap untuk menerima segala macam respon dari lawannya nanti.
Iris mata hitam legam itu menjelajahi tiap sudut ruangan yang di dominasi oleh warna cokelat tua. Langkahnya juga dengan berani untuk terus maju. Sampai pada akhirnya, dunia seakan-akan membeku kala tatapan itu menangkap mahakarya Tuhan yang menurutnya kelewat sempurna.
Semburat cahaya dari luar jendela, serta sapuan angin yang turut menggerakkan dengan tipis beberapa helaian rambut Kaila mampu membuat Agam lupa akan daratan.
Sejak kapan dia tumbuh jadi gadis secantik itu?
Kharisma dan pesona Kaila berhasil membuat Agam pusing, bahkan pemuda ini tidak menyadari bahwa sedari tadi sudut bibirnya terangkat sempurna.
"Agam?"
Suara itu memecah fokus Agam. Tentu saja bukan berasal dari Kaila, melainkan dari Sekar yang muncul entah dari mana
"Ngapain lo?" tanya Sekar lagi.
Laki-laki itu tampak kelimpungan lalu berdehem pelan. "Ya menurut lo aja ngapain gue kemari?"
Sekar menghela napas. "Gam, kalau lo mau nyari buku siksa kubur, itu kagak ada dimari."
Mata Agam membelalak. "Sekate-kate kalo ngomong, gue masukin pondok baru kapok lu."
Mereka tampak gaduh di sana, sebelum pada akhirnya teguran dari penjaga perpustakaan menghentikan kebisingan mereka. Agam meringis pelanâ lebih tepatnya malu.
"Minggir," ucapnya sebelum berlalu dari hadapan Sekar. Pemuda tersebut erjalan cepat menelusup rak demi rak agar bisa bersembunyi dari rasa malu yang menggerayangi dirinya.
Agam menggaruk kepala frustasi. Rencananya kali iniâ gagal total.
ð¦
Malam jatuh sejak beberapa jam lalu. Kaila keluar kamar berjalan menuju kulkas, membuka pintunya tanpa benar-benar mencari sesuatu. Ratna yang tampak mengukur kain di ruang jahit itu, tak sengaja memperhatikan pergerakan anak gadisnya. Ratna meletakkan semua alat ukur lalu melangkah menuju ruang tengah.
"Kaila."
Gadis itu masih fokus dalam lamunannya di depan kulkas sana, ia baru menoleh pada panggilan yang kedua. "Ya, Bu?"
"Kamu kenapa?" tanya Ratna saat anak gadisnya sudah mengambil posisi duduk di sebelahnya. Bibir Kaila sengaja terkunci rapat. Tatapannya kini kosong menerawang entah kemana.
"Jake?"
Nama itu membuat Kaila mendongak menatap Ratna dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Tapi gadis tersebut tetap diam, takut untuk mengakui kebenarannya.
"Kaila, Ibu nggak pernah melarang kamu berteman dengan siapa saja. Tapi soal keputusan kamu kali ini..." Ratna menarik napas dalam berusaha memilih kata-kata yang tepat. "Ibu sudah bilang kemarin, Ibu pikir kamu akan mempertimbangkan ini lebih jauh."
"Bu, kita bisa sama-sama, dia bisa aku ajak masuk Islam," ucap Kaila impulsif.
Ratna menghela napas panjang. "Kaila, ini bukan persoalan yang mudah. Kamu sadar nggak tanggung jawab apa yang akan kamu ambil kalau itu terjadi? Apa kamu yakin kamu bisa menjadi penuntun yang baik? Dan kalaupun kamu bisaâ apa kamu rela mengambil dia dari Tuhannya?"
Kaila menggeleng pelan mencoba mencari kata-kata untuk memberikan solusi. Tapi apa yang keluar dari mulutnya justru terasa seperti pembelaan. "Atauâ kami bisa hidup dengan keyakinan masing-masing. Banyak kok Bu, yang berhasil."
"Kaila, itu bukan solusi, kamu tahu itu!" suara Ratna mengeras.
"Dengar nak," suara Ratna melembut lagi. "Ibu tahu kamu sayang sama dia. Tapi kamu juga harus bisa untuk melihat lebih jauh bahwa hubungan kalian ini tidak ada ujungnya. Kamu anak Ibu satu-satunya, Kaila. Ibu mau yang terbaik untuk kamu. Mau gimanapun pada akhirnya nanti semua akan bermuara pada agama, nak. Sudah sepantasnya laki-laki yang sekufu dengan kamu yang menjadi nahkoda keluarga kamu kelak. Bahkan antara penumpang kapal dan nahkoda saja harus punya tujuan yang sama. Kalau berbeda? Kamu pasti paham apa yang akan terjadi," suara Ratna bergetar.
Butuh waktu untuk Kaila mencerna setiap ucapan dari sang Ibu. Entah sejak kapan air matanya lolos begitu saja melewati pipi yang bahkan turut memerah.
"Ibu tahu perjalanan kamu masih sangat panjang, tapi mau sampai kapan hubungan yang abu-abu ini terombang ambing tanpa ada jaminan perubahan? Bahkan yang seiman saja kadang masih suka beda isi kepala. Ibu salah satu dari banyaknya contoh perempuan yang gagal dalam memilih nahkoda di dalam rumah tangga. Ibuâ nggak akan membiarkan hal itu terjadi sama kamu, nak. Tolong pahami maksud Ibu," jelas Ratna yang kini memeluk anak gadisnya dari samping.
Malam itu terasa amat panjang. Di antara air mata dan keheningan, ada keputusan besar yang mulai tumbuh di hati Kailaâ keputusan yang berhasil mengoyak dirinya sendiri tanpa ampun.
ð¦
Matahari dan bulan secara silih berganti menerangi bumi. Hari-hari Kaila kian terasa padat dengan persiapan ujian sekolah yang ternyata sudah semakin dekat, namun di tengah semua itu ada ruang kecil di hatinya yang selalu ia sisakan untuk memikirkan seseorangâ Jake.
Sejak kejadian hari itu, hubungan mereka tak lagi sama. Kaila tidak mengerti sejak kapan jarak mulai tumbuh di antara mereka. Setiap detik yang berlalu membawakan serpihan kecil dari hati yang sempat ia jaga dengan sepenuh jiwa.
Mereka berdua benar-benar kacau. Kini terhitung sudah satu bulan lebih mereka sudah tidak berkomunikasi sama sekali. Malam itu setelah dinasehati oleh Ratnaâ paginya ia berusaha menemui Jake di kelasnya. Akan tetapi hasil yang ia dapat hanya tangan kosong. Pemuda itu pergi tanpa meninggalkan jejak sedikitpun kepada Kaila.
Teman-teman satu kelasnya pun juga memberikan informasi yang kurang akurat. Seminggu penuh ia menyambangi kelas Jake hingga akhirnya Kaila menyerah. Gadis itu telah kehabisan banyak cara untuk mengajak sang kekasih berbicara secara langsung.
Namun secara tiba-tiba, setelah pesan panjang beruntun dari Kaila tidak berbalas. Tadi pagi Jake menghubunginya lebih dulu, pemuda itu mengajaknya untuk bertemu di rooftop sekolahâ dan di sinilah mereka sekarang.
"Kita perlu bicara, 'kan, Kai?"
Suara Jake membuyarkan lamunannya. Kaila menoleh dan di sana ia melihat Jake berdiri dengan wajah yang tampak lelah. Kaila menarik napas dalam mencoba untuk menyembunyikan getaran di suaranya.
"Bukannya seharusnya itu pertanyaan yang aku keluarin?"
"Kaila... maaf."
"Kita ini sebenarnya apa, Jake? Kenapa kamu belakangan ini selalu menghindar dari aku?"
Pemuda itu terdiam di tempatnya, menunduk sesaat lalu mengusap wajah. "My bad, mungkin karena aku kepikiran sama sikap Ibu kamu makanya aku jadi pengecut gini. Tapi sekarang, aku ngajak kamu bicara empat mata di sini, itu karena aku mau benerin semuanya, Kai."
Kaila terdiam di tempatnya. "Kita udah berjarak kayak orang asing terlalu lama, Jake. Kamu sadar, nggak?"
"Maaf, Kaila."
"Apa kamu tahu belakangan ini aku bener-bener nggak bisa tidur dengan tenang? Enggak bisa bernapas dengan lega. Enggak bisa berhenti nangis karena mikir aku harus apa. Kamu tahu itu, nggak?" tanya Kaila menuntut. "Kamu nggak tahu, Jake! Kamu nggak pernah tanya tentang keadaan aku," derunya melambat.
"I'm Ashole, I know that. Tapi asal kamu tau, aku pun juga ngerasain hal yang sama, Kaila. Sifat pengecut kemarin berhasil ngendaliin diri aku, itu sebabnya aku nggak berani untuk mendekat ke kamu dalam sementara waktu. Aku takutâ kalau akan bersikap impulsif ke kamu. Aku butuh space untuk berpikir dengan jernih."
Gadis itu mengigit pipi bagian dalam, menahan emosionalnya agar tidak meledak di atas rooftop sekolah siang ini. "Kamu ngilang gitu aja tanpa kasih aku aba-aba, itu yang kamu bilang space? Iya, Jake?"
"Maaf."
Kaila menunduk dengan bibir yang bergetar. Semakin ia mencoba untuk menghirup udara, semakin berat pula beban di dalam dadanya. "Jarak yang kamu kasih dalam jangka waktu yang nggak sebentar iniâ buat aku makin sadar akan satu hal," ucapan Kaila menggantung.
Sejak kejadian malam itu, malam di mana Ratna mengeluarkan semua pendapatnya, Kaila sadar bahwa ia nyaris menyakiti hati Ibunya, satu-satunya orang tua yang ia miliki. Namun di sisi lain Kaila juga tidak ingin menyakiti hati Jake, seseorang yang berhasil membuat Kaila mengerti apa arti dari timbal balik perasaan mencintai dan dicintai.
Akan tetapi, karena di hadapkan oleh dua pilihan. Maka ia harus bisa memilih salah satu dari dua pilihan tersebut, Kaila tidak bisa terus-terusan bersikap bagai seorang pengecut.
Bukankah isi kehidupan memang tentang sebuah pilihan?
Memilih dan memilah hal-hal yang selayaknya memang diizinkan untuk masuk ke dalam hidup kita lebih dalam.
Jake baik, sangat. Akan tetapi ia salah tempat.
Beberapa saat setelah sibuk dengan pikirannya sendiri. Mata hazel itu menatap Jake dengan sorot penuh luka. "Aku sadar bahwa kita nggak bisa terus kayak gini. Kita nggak bisa lanjut, Jake." Nada itu gemetar bersamaan dengan gumpalan abjad yang tersendat di lehernya. Kaila menengadah seolah tidak mengizinkan air matanya untuk turun.
"Kaila, maksud kamu apa? Aku nggak ngerti."
Kaila memberanikan diri untuk menghadap Jake seutuhnya. Sekuat apapun usahanya dalam menahan buliran air mata yang tertahan, nyatanya kini pipi itu sudah basah. "Kita udah melewati masa sulit selama beberapa waktu belakangan ini. Kamu dengan pikiran kamuâ dan akupun begitu. Aku pikir jalan terbaik untuk kita berdua adalah untuk nggak sama-sama lagi, Jake, we can't have a relationship that doesn't have an end goal."
Raut wajah Jake jelas tampak kaku mendengar kalimat Kaila. Bukan sebuah penjelasan yang ia dapatkan, melainkan sebuah penyelesaian. Jake memejamkan mata, mengeraskan rahangnya. "Kaila?" panggil Jake frustasi. Pemuda itu memegang kedua tangan Kaila. "Kaila, aku nggak mau. Aku ngajak kamu bicara sekarang karena aku mau benahin ini lagi dari awal dan aku bakal buktiin ke Ibu kamu kalau kita bisa sama-sama."
"Dengan cara apa, Jake?" Kaila menantangnya, suaranya kian gemetar.
Melihat laki-laki itu hanya terdiam. Ada perasaan yang perlahan namun pasti dapat ia rasakan. Perasaan ngilu yang menggerayangi hatinya. Ternyata benar, Jake bahkan tidak berani untuk bertindak lugas seperti apa yang dikatakan sang Ibu malam itu.
"Kamu bahkan nggak bisa jawab pertanyaan aku," lelah Kaila.
Jake menggelengkan kepalanya, mengamit erat kedua tangan Kaila. "Aku bisa masuk ke agama kamu, kita bisa sama-sama, Kaila. Ya? Please don't say that," katanya putus asa.
Iya. Kaila tahu, ini hanya satu-satunya yang akan pemuda itu ucapkan kala berdiri di tepi jurang. Tapi penilaian Kaila sudah mutlak jatuh pada saat respon Jake yang ragu di awal. Kaila sadar bahwa laki-laki di depannya ini melakukan hal besar atas dasar dirinya. Bukan atas diri sendiri.
"Jake, akan ada tanggung jawab besar yang akan kamu pikul seumur hidup. Apa jadinya kalau keputusan itu aja diambil dengan penuh keraguan? Perjalanan kita masih panjang, rasanya bakal buang-buang waktu kalau kita melakukan hal yang nggak ada ujungnya," terang Kaila.
Suara Kaila kini lebih lembut namun penuh kepastian. "Ini bukan soal aku aja, ini soal kamu juga. Aku nggak mau kamu menyesal karena merasa terpaksa di kemudian hari."
Jake menggenggam kedua tangan Kaila erat, mencoba menahan sesuatu yang perlahan terlepas. "But I can't without you, Kai. My life feels more alive when I'm with you. Aku sayang banget kamu, lebih dari yang kamu tau, Kaila."
Pecah sudah pertahanan kedua insan di bawah langit yang kini tampak mendung. Seandainya bisa, seandainya boleh untuk egois, ingin sekali rasanya Kaila melanjutkan ini tanpa harus memikirkan berbagai macam kosekuensi lainnya.
Dunia seolah berhenti berputar. Akhirnya Jake menarik Kaila ke dalam pelukan, memeluknya erat seakan-akan ini adalah yang terakhir. Kaila menangis tergugu di dadanya, membiarkan semua emosi mengalir keluar.
"Maaf, Kaila," bisik Jake parau. "Maaf karena ternyata aku nggak cukup kuat untuk pertahanin kamu."
Kaila menggeleng di pelukannya. "Aku yang salah, seharusnya dari awal aku nggak ngebiarin kamu masuk dan berakhir saling menyakiti kayak gini. Maaf, Jake."
Jake menatapnya untuk terakhir kali, wajah mereka sama-sama basah oleh air mata. "Aku sayang kamu, Kaila. Selalu."
Hubungan yang dimulai dengan baik itu, juga berakhir dengan baik pula. Meninggalkan jejak arti cinta bagi masing-masing keduanya.
ð¦
Angin malam menyapu kulitnya yang hanya berlapis seragam sekolah. Usai jam pulang tadi, ia tidak berniat pulang menggunakan kendaraan umum. Pilihannya jatuh untuk berjalan kaki. Itu juga tidak langsung ke rumah. Menghabiskan waktu berjam-jam di jalanan, dengan maksud untuk mengaluhkan isi pikiran.
Kini kaki jenjang itu telah membawa tubuhnya berjalan sampai pada sebuah taman di dekat rumah.
Dalam kesunyian, hanya berteman dengan lampu taman yang tampak remang. Kaila mendudukan diri di salah satu kursi taman.
Berusaha tenang sambil menarik napas dalam-dalam. Tampak lelah akibat terlalu banyak menangis hari ini.
Sejak kecil Kaila tidak pernah diajarkan dalam menyampaikan perasaan emosional ke orang sekitar. Tidak menyalahkan sang Ibu, karena ia juga sadar bahwa tidak mudah membesarkan anak seorang diri. Memang keadaan yang memaksa ia untuk menelan semuanya sendirian.
Hingga di saat ia dihadapkan dengan momen seperti ini. Di mana seharusnya emosi yang ia rasakan itu dikeluarkan dengan ungkapan, justru malah sengaja tertahan di dalam sana. Tidak ada penyampaian rasa sakit selain dari menangis.
Sekali lagi. Ia hanya bisa menangis.
Bagai whale 52 makhluk hidup yang paling kesepian. Yang mengeluarkan suara dengan frekuensi yang berbeda, membuat paus lain tidak dapat menerimanya bahkan untuk sekadar berkomunikasi. Sehingga nyanyian yang dikeluarkan whale 52 hanya seperti suara tanpa makna bagi paus lainnya.
Beberapa peneliti juga sempat berspekulasi bahwa whale 52 terlahir tuli sehingga tidak tahu bagaimana seharusnya ia bersuara.
Mengenaskan, bukan?
Kaila merasakan tubuhnya ditutup oleh jaket. Saat kepalanya mendongak dengan mata yang sembab. Ia tertegun kala mendapati Agam berdiri di dekatnya.
Angin malam yang cukup kencang, berhasil membawa aroma Agam ke dalam indra penciumannya. "Kok masih pakai seragam sekolah? Lo belum balik ke rumah? Terus ngapain malah duduk sendirian di sini?"
Iris mata hazel itu tidak lagi terarah ke laki-laki berkaos hitam yang sudah mengambil posisi di sebelahnya. Kaila memilih untuk menjatuhkan tatapan ke tanah. Bibirnya bungkam tidak memberi respon apapun.
"Kaila, gue lagi nanya."
Suara berat itu kembali terdengar di telinga Kaila. Ada hening yang cukup lama sebelum Kaila memilih untuk membalas ucapan Agam.
"Gue di sini karena emang lagi pengen aja."
Bukannya tidak mengerti, justru pemuda ini sangat memahami apa yang barusan gadis di sebelahnya alami. Tadi siang tanpa sengaja saat sedang merebahkan diri di salah satu meja di rooftop sekolah. Samar-samar telinganya menangkap keributan. Tidak bermaksud untuk menguping namun suara Kaila yang kelewat kencang berhasil masuk ke pendengaran Agam yang berniat ingin tidur.
Kemudian apakah kalian berpikir jika sekarang ini adalah sebuah kebetulan belaka? Agam tidak sengaja melihat Kaila di taman dekat rumah?
Tentu jawabannya tidak.
Setelah pulang sekolah Agam diam-diam mengikuti gadis ini. Memantau segala tindakan Kaila. Kalau-kalau ia bertindak gegabah dilihat dari kejadian yang cukup panas antara Jake dan Kaila siang tadi.
"Kenapa?"
"Enggak papa."
Agam berdecih. "Jawaban nggak masuk akal, nggak papa tapi mata lo sembab kayak disengat lebah begitu? Mang Asep di depan sono juga kagak bakal percaya kali."
Kaila tampak menghela napas lelah, memejamkan mata sejenak, menahan gejolak untuk mengungkapkan semua yang tertahan di dalam sana. Baru setelahnya iris mata itu kembali terlihat.
"Lo tau nggak sih, cara kerja granat tangan itu kayak gimana? Kebanyakan mereka bekerja dengan sistem pemantik time delay fuse atau jeda waktu. Begitu tuas pengaman dilepas maka granat tangan akan meledak dalam waktu sekitar 3 sampai 5 detik. Itu sebabnya harus segera dilempar agar nggak menyakiti siapapun, termasuk yang punya granat."
Ucapan yang terdengar dan suasana taman yang tampak remang semakin mengundang isi hati Kaila untuk dikeluarkan. Bibir itu tampak digigit, tangannya juga terkepal kuat di kedua sisi lutut. Tatapan tajam yang biasanya ditunjukan justru berganti dengan tatapan nanar.
Netra Agam menangkap pergerakan Kaila, menunggu ucapan yang akan terlontarkan dari gadis itu. "Kasih tau gue, lo kenapa?"
Usaha Agam ternyata tidak berhenti membuat Kaila termangu di tempat. Tegap bahunya mengendur seiring dengan tangisnya yang perlahan kembali pecah. "Gueâ gue putus sama, Jake." ujar Kaila sambil meremas roknya. "Dari awal gue yang salah. Seharusnya, saat gue tahu kalau kita nggak sama, yang gue pilih itu adalah nggak membiarkan dia masuk ke kehidupan gue lebih dalam. Harusnya gue pilih untuk nggak sama-sama dari awal."
Kaila semakin kian tersulut. Di setiap kalimat yang terlontar suaranya terdengar semakin bergetar. "Gue yang salah di sini, Gam."
Sekelebat rasa sakit justru juga Agam rasakan saat melihat Kaila menangis di dekatnya. Tangannya tergerak ingin membawa Kaila ke dalam dekapan, namun ia juga masih tahu batasan.
"Gue udah nyaris bikin nyokap kecewa. Dan di satu sisiâ gue juga udah nyakitin Jake. Hidup gue cuma bisa ngebebani orang lain."
Alhasil tangan itu hanya tergerak untuk menepuk bahu Kaila pelan. Berharap setidaknya sedikit saja kekuatan yang ia punya itu tersalurkan. "Nangis aja. Keluarin semuanya, ungkapin apa yang mau lo ungkapin, gue di sini selalu siap dengerin."
Ini yang Kaila butuhkan.
"Gue nggak pernah ngerasain yang namanya mencintai seseorang kemudian dicintai dengan perasaan yang setara. But he made it. Kita sama-sama berhasil memberikan perasaan murni dari hati masing-masing. Tapi kenapaâ kenapa gue nggak dikasih izin untuk ngerasain itu lebih lama?"
"Apa gue nggak pantes ngerasain hal kayak gitu?"
Lancang rasanya jika seseorang telah berani menumpahkan isi hati di situasi yang tidak mudah ini lalu kita malah memberikan respon yang tidak tepat.
Agam memperhatikan Kaila. "Nah, mulai dah ngalor ngidul begini. Ingat ya, Kai. Di dunia ini, nggak ada yang terjadi dengan cuma-cuma," tutur Agam serius.
"Bahkan sebuah kebetulan juga udah ditentuin sama yang di atas. Justru menurut gue kejadian ini adalah pelajaran hidup yang luar biasa buat lo. Coba deh kalau nggak ketemu? Atau nggak mencoba untuk maju selangkah? Lo pasti nggak akan bisa ngerasain perasaan yang lo rasain ituâ perasaan yang berhasil mengubah sudut pandang lo tentang cinta."
"Mungkin langkah yang lo pilih memang udah nge-stuck sampai di sini. Tapi bukan berarti lo nggak berhak buat ngerasain kebahagiaan kayak yang lo inginkan. Lo tinggal mundur, putar balik, dan cari jalan lain untuk sampai ke titik kebahagiaan itu. Lagian di dunia ini nggak ada manusia yang isi kehidupannya cuma kesedihan doang, Kai. Tuhan itu maha adil, itu yang harus lo tahu," terang Agam.
Ia mengamati Kaila sesaat. "Untuk liat pelangi kita harus lewatin badai dulu, 'kan? Bahkan mekarnya bunga sakura juga butuh musim gugur. Kita cuma butuh waktu dan usaha untuk sampai ke sana."
Tanpa sadar manik mata Kaila menatap Agam lekat.
"Gue berani jamin lo pasti akan sampai ke titik kebahagiaan itu, Kai. Lo pantes dan berhak buat ngerasain kebahagiaan," ucap Agam sambil membenarkan jaket di tubuh Kaila. "Sekarang mending kita pulang. Ini udah malem, kasian nyokap lo kepikiran kalo anak gadisnya jam segini masih belum keliatan batang hidungnya di rumah."
Kalimat dari Agam berhasil menghentikan air matanya untuk tidak kembali turun. Kini Agam juga turut menghunus tatapan tepat ke manik mata Kaila. Cukup lama kegiatan tatap menatap ini berlangsung hingga membuat sebelah alis Agam pada akhirnya terangkat. "Ada lagi yang mau lo omongin lagi? Keluarin aja semuanya. Biar lega tu batin lo," ucap Agam, di sebelahnya Kaila tampak menyapu jejak air mata di wajahnya.
"Kalo masih mau nangis, puas-puasin aja dulu di sini nggak papa, gue temenin sampe selesai."
"Baju lo... sini..."
Agam seketika melotot tidak percaya. "Loâ istighfar, Kaila! Gue tau lo patah hati, dan situasi di sini sepi, remang juga ni lampu taman. Tapi tetep harus ingat Allah!"
"... buat ngelap ingus."
Agam berdecak. "Yeeh, kocak! Jorok bet dah ah." Namun langkah yang selanjutnya pemuda itu lakukan malah membuat Kaila mengerjap pelan. "Nih, di bagian lengan gue aja."
Kaila menatapnya diam lalu kemudian mendengus pelan. "Gue tadi cuma bercanda. Makasih ya Gam, karena udah mau dengerin unek-unek gue."
Walaupun suasana di sini minim cahaya, bukan berarti Agam tidak melihat kejadian super langkah barusan. Dalam hati beristighfar dengan harapan agar imannya tidak goyah begitu saja hanya karena sebuah senyuman yang bahkan kelewat tipis itu.
Dan Kaila tidak menyadari, bahwa dalam banyaknya teori. Whale 52 kemungkinan masih bisa berkomunikasi dengan paus lainâ seperti paus biru. Hal ini mungkin juga membenarkan teori mengenai whale 52 yang terlahir dari paus biru.
Sehingga memang masih terdapat beberapa paus lain yang bisa menerima suara whale 52 untuk berkomunikasi.
Perasaan yang saling diutarakan itu bagai crown yang menarik detik jam untuk terus terputar tanpa henti. Menjadikan malam terasa begitu cepat dari biasanya. Mereka tidak sadar. Bahwa semakin dalam pembahasan yang diuntaikan, semakin goyah pula benteng pertahanan masing-masing.
____________________
Jujur eike akui, berat banget kalau ada di posisi Kaila. Hidup tanpa bapak~ dan ibu yang fokus kerja cari nafkah. Jadi memang gak ada yang bisa ngerti isi hati selain diri sendiri...
Mau numpahin ke ibunya juga mikir dua kali, say~ Takut nambah beban doang. Syukur-syukur kalau ketemu teman yang pengertianðð
Hiks pukpukð